Untuk menghormati hari proklamasi kita, Indonesia: 17 Agustus 1945.
Oleh: Damar Fery Ardiyan
Satu hari besar akan sama-sama kita peringati pada 17 Agustus nanti, sebagai rasa penghormatan atas keberanian bersuara dalam perwakilan untuk menyatakan “merdeka” pada 64 tahun yang lalu, melalui Proklamasi. Di bacakan oleh Ir. Soekarno, momen tersebut seakan menjadi kunci awal bagi gembok-gembok penjajah yang telah banyak terpasang pada sendi-sendi kehidupan nusantara untuk menyatakan sebagai bangsa yang satu dan merdeka: Indonesia. Kemudian, kemerdekaan pun dipertahankan dengan banyak cara pada hari-hari selanjutnya, dari mulai perundingan untuk merumuskan dasar negara, sampai perundingan strategi peperangan untuk menjaga kedaulatan.
Tentu saja, jerih payah untuk memerdekakan diri ini mesti dijaga oleh setiap warga negara dalam bentuk apapun. Apalagi bagi negara yang secara legitimasi diberi hak untuk menjaga tanah tumpah darah. Tidak hanya “tanah tumpah darah,” negara pun wajib menjaga warga negara agar tak “berdarah” dan negara pun berhak menjaga kekuasaan beserta ideologi penguasanya.
Salah satu tindakan untuk memertahankan satu ideologi dalam satu tatanan bernegara di Indonesia adalah dengan mengadakan upacara bendera dengan seperangkat tata cara yang tidak berubah hingga kini. Dari mulai pembina upacara memasuki lapangan upacara sampai kemudian pembina meninggalkan lapangan upacara. Upacara sendiri adalah penggabungan kata “upa” dan “cara,” yang berarti “rangkaian” dan “tindakan.” Oleh karena itu, pada proses kegiatan khidmat ini banyak tata cara yang mesti di lakukan dalam satu rangkaian di hari yang telah ditentukan.
Setiap Senin, seperti yang pernah sama-sama kita lakukan sewaktu sekolah dulu, rangkaian upacara menjadi simbol kecintaan terhadap tanah air: Indonesia. Tetapi, secara sadar maupun tidak, kita pasti pernah merasakan lelah untuk melakukan upacara dengan khidmat tanpa bergerak sedikitpun walaupun saat melihat bendera Merah Putih dinaikan panas yang begitu kuat akan menghantam wajah kita tanpa perantara.
Upacara bendera seolah menjadi ritual wajib dalam sebuah institusi pendidikan, yang mana akan melatih kedisiplinan dan kecintaan untuk bela negara dengan selalu meletakan bendera merah Putih pada tiang yang tertinggi dalam ruang apapun. Mungkin itu esensinya, karena saya sendiri tidak pernah dikasih tahu mengenai kegunaan Upacara Bendera ini secara benar dan resmi ketika menginjak bangku sekolah dan mungkin juga upacara adalah sebagai bentuk ruang bagi terciptanya suatu komuikasi satu arah antara pembina upacara kepada siswa-siswa yang heterogen. Jadi, upacara berfungsi sebagai sarana untuk menyampaikan pesan kepada khalayak luas dalam perspektif komunikasi massa. Dua kemungkinan ini mungkin saja bisa benar, karena setiap orang diberikan kebebasan untuk memaknai dan memberikan definisi atas apa yang hadir dalam hidupnya, tidak terkecuali pada upacara. Apalagi, untuk suatu hal yang memiliki sifat ambigu.
Tetapi, saya yakini bahwa “Upacara Bendera” yang hadir dalam institusi pendidikan maupun dalam institusi negara lainnya adalah sebagai dorongan bagi kelanggengan suatu kemauan negara: ideologi dan ada relasinya dengan konsepsi Louis Althusser mengenai kuasa negara dan aparatus negara.
Filusuf yang menyelesaikan studi filsafatnya di Perancis ini mengatakan kalau dalam sebuah negara ada dua perangkat negara, yakni yang represif (represive state apparatus- RSA) dan perangkat negara yang ideologis (ideological state apparatus- ISA), sebagai seperangkat aturan yang memungkinkan warga untuk menjalankan aturan negara. Walaupun, hal itu tidak sesuai dengan kepentingan warga negara. Dengan kata lain, keduanya berfungsi sama: untuk melanggengkan kekuasaaan maupun penindasan.
Menurutnya, Repressive State Apparatus, adalah aparatur yang dapat memaksakan kepatuhan secara langsung, seperti polisi, pengadilan serta sistem penjara. Melalui aparatus-aparatus ini, Negara memiliki kekuasaan untuk memaksa warga negara untuk berkelakuan “baik” secara fisik. Sifat kerja RSA terutama adalah menindas. Penindasan yang dilakukan ini selanjutnya diberi arti ideologis, bernilai dan sah legal formal. RSA berada di bawah kendali kelas penguasa yang ada dalam satu komando yang terlembagakan dalam tugas-tugas resmi.
Sedangkan Ideological State Apparatus adalah bentuk yang berbeda dengan bentuk-bentuk formal aparatus yang dimiliki negara. Bentuk bentuk aparatus formal dari negara antara lain; pemerintah, administrasi/birokrasi, militer, polisi, pengadilan, penjara dan lainnya, intitusi formal ini dikategorikan oleh Althusser sebagai aparatus negara represif (RSA). Sebaliknya, ISA, berada di dalam ranah publik (civil society). Aparatus ini meliputi institusi seperti; gereja atau lembaga agama, sekolah, keluarga, partai politik, serikat buruh, media massa dan kebudayaan. Dengan begitu, upacara bendera yang dilakukan di institusi pendidikan tergolong dalam ISA. Lantas bagaimana relasinya dengan upacara bendera?
Upacara Bendera Hanyalah ISA
Sebagaimana yang dikatakan Althusser bahwa ISA memiliki prinsip-prinsip yang selalu bergerak dalam tatanan ideologis dan melalui institusi yang tergolong dalam ISA lah ideologi-ideologi akan terinternalisasikan kepada warga negara, sehingga kemudian akan menghasilkan sistem pemikiran dan nilai-nilai untuk menggerakan warga negara sesuai ideologi negara. Walaupun demikian ISA pun termasuk dalam tindakan refresif dari negara. Tetapi, mempunyai peran fungsional yang berbeda yakni menciptakan kondisi politik dengan memanipulasi kesadaran warga. Kemudian melalui jasa ISA ini lah RSA seolah diberi legitimasi untuk bertindak secara langsung dan masyarakat memahaminya sebagai tindakan yang wajar atau taat hukum. Karena ISA telah membuat kerangka legitimasi tersendiri kepada warga negara bahwa jika tidak begini berarti akan begitu, jika tidak nurut berarti ada hukumanya.
Oleh karena itu, institusi pendidikan merupakan wadah yang fungsional untuk menjalankan keinginan negara dalam hal penyaluran ideologi. Dan ini dapat dilihat tidak hanya dari tata cara upacara bendera, tetapi juga dari silabus pengajaran yang menerapakan pelajaran pendidikan kewarganegaraan dan pancasila. Untuk upacara bendera sangat jelas, dimana dalam tatanannya terdapat begitu banyak nilai yang ingin diberikan. Seperti, kedisiplinan cara militer, meneriakan Pancasila dengan lantang, menunduk ketika lagu “Syukur” dikumandangkan, memberi hormat ketika bendera dikibarkan dsb. Hal ini dilakukan adalah tak lain sebagai dorongan untuk mencintai, menghormati negara dan tak lain menghormati sebuah kekuasaan atau tata cara seperti itu diciptakan hanyalah untuk sebuah pengamalan.
Dengan begitu, sebuah kecintaan dan penghormatan adalah sesuatu yang diciptakan. Warga negara bukanlah sebagai pembuat rasa cinta dan rasa hormat tersebut atau bukan suatu yang natural dicerminkan dari dalam diri sebagai pribadi yang merdeka, melainkan sebagai objek dari para pencipta, yakni kekuasaan dominan. Jika bukan karena itu, akan setiap pria dan wanita akan merasa cinta dan hormat ketika negara memberikan sesuatu kepadanya, karena erat kaitannya penerimaan dan pemberian saya kira. Tetapi melalui ISA, pria dan wanita akan tetap cinta terhadap negara walaupun kekuasaan tidak berbuat banyak untuknya karena landasan kecintaan dan penghormatan mereka begitu lekat.
Althusser berpandangan bahwa semua individu, terbentuk menjadi subjek-subjek dalam ideologi melalui aparatus ideologis, yang mana norma-norma ideologis yang terjadi dalam praktek-prakteknya tidak hanya membentuk pandangan dunia manusia, tetapi juga membentuk perasaan (sense) manusia mengenai dirinya, identitas dan hubungan-hubungan dengan orang lain dan dengan masyarakat secara umum.
Jadi, upacara bendera dalam institusi pendidikan merupakan suatu yang dibentuk sebagai aparatus yang bertugas untuk mengamankan negara. Apalagi dengan mengingat bahwa kuasa negara sebesar apapun kekuatan represifnya, tanpa ideologi akan mudah dihancurkan. Karena sebagaimana pandangan Althusser, keduanya (RSA & ISA) memiliki ketergantungan masing-masing. Walalupun demikian, saya pun percaya bahwa hidup tidak akan pernah lepas dari pengaruh ideologi, apalagi karena kita sebagai makhluk sosial. Hanya saja, kita mesti sama-sama sadar bahwa kita itu terdominasi dan tidak ada ke-aku-an kita itu sebagai pribadi yang otonom. Lalu, ketika sadar akan fungsi ideologi yang untuk mengamankan “negara,” kita mesti terikan secara terang-terangan, bahwa: “ideologi tak sekedar alat pengaman kekuasaan!”
**Terbit di Tribun Jabar, Edisi 19 Agustus 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar