Total Tayangan Halaman

Jumat, 11 Februari 2011

Praktek Manipulatif Pasca G30S


Oleh: Damar Fery Ardiyan

Kebanyakan dari kita yang lahir pasca 1965, tentu mengenal sejarah Gerakan 30 September 1965 melalui institusi pendidikan, selaku aparatur yang sangat massif untuk membangun ideologi mayoritas agar kita kemudian dapat menilai sebuah peristiwa, tidak terkecuali G30S. Bahkan perkenalan itu pun diperkuat oleh buku-buku, artikel-artikel, surat kabar, televisi yang sepertinya ingin membangun citra dalam kesemuan, sehingga kita dapat mengenali peristiwa dan latarbelakangnya, serta orang-orang yang terlibat di dalamnya. Padahal, peristiwa dan orang-orangnya tidak pernah kita jumpai seumur hidup kita, apalagi mengenalnya.
            Mungkin di sinilah kekuatan dari ulasan sejarah, di mana ceceran fakta, baik lisan maupun tulisan dapat dikumpulkan kembali menjadi suatu peristiwa yang utuh dan dapat kita percayai kemudian sebagai kerangka gagasan. Sehingga, kita yang lahir dalam rentang tahun cukup jauh setelah peristiwa lampau dapat mengetahui dan sekaligus mengerti mengenai peritiwa berdarah pada 1965 atau setidaknya kita akan dapat menjawab pertanyaan guru di sekolah mengenai siapa dalang dari G30S yang ‘sadis’ itu.
Dalam hal ini, sistem diskursif melalui simbol-simbol yang di mediasi melalui buku, surat kabar dan televisi memberikan pengaruh yang besar untuk memobilisasi pendapat umum mengenai suatu peristiwa. Tengok saja pada sejarah G30S yang lahir dari rahim Orde Baru telah banyak dipercaya oleh masyarakat sebagai fakta. Sehingga kemudian anggapan tersebut menjadi sebuah kebenaran dan menjadi landasan seseorang untuk mencerca bahwa gerakan itu gerakan yang tidak manusiawi, sadistis, anti Tuhan, dll.
Persepsi seperti itu mungkin wajar, karena perkembangan sejarah G30S ini tak lepas dari sistem diskursif melalui simbol-simbol yang di mediasi buku sejarah, monumen Pancasila Sakti, museum peringatan dan pemutaran film G30S yang dipraktekan oleh kekuasaan Orba. Namun, sistem simbol ini tidak diciptakan tanpa perencanaan dan tujuan. Karena melaluinya, Orba ingin membentuk suatu persepsi bahwa Soeharto adalah penyelamat bangsa dari serangan berdarah yang (katanya) dilakukan salah satu partai besar ketika itu, sehingga dirinya dapat menaiki tahta eksekutif. Seperti yang dikatakan John Roosa bahwa “dalam membangun ideologi pembenaran bagi kediktatorannya, Soeharto menampilkan diri sebagai juru selamat bangsa dengan menumpas G30S. Rezim Soeharto terus menanamkan peristiwa itu dalam pikiran masyarakat melalui semua alat propaganda Negara..,” (Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto).  
Dengan demikian, pembangunan sistem simbol menjadi penting adanya bagi tiang kebenaran Soeharto dalam menghancurkan PKI sebagai partai dan PKI sebagai ideologi. Sehingga, hal ini menjadi pembenar bagi rezim untuk memenjarakan serta membunuh banyak orang yang terlibat maupun tidak. Dan ironisnya kejadian pasca gerakan ini tidak diberitakan oleh surat kabar ketika itu, karena Angkatan Darat memberangus hampir semua surat kabar dalam pekan pertama Oktober 1965 dan menerapkan sensor. Bahkan koran-koran independen, seperti Kompas ikut ambil bagian dalam kampanye militer untuk menggalakan histeria anti-PKI (baca Roosa: 26-30).
Oleh karena itu, media komunikasi apapun memilik peran sentral dalam memunculkan suatu wacana dan juga menenggelamkan banyak wacana dari peristiwa G30S ini. Apalagi jika media tersebut telah dikuasai dan dibentuk oleh seorang yang memiliki kekuasaan penuh terhadap aparatur represi maupun ideologi seperti Seoharto ketika hidup. Seperti yang dikatakan Daniel Dhakidae bahwa “dengan menguasai media, Orde Baru menguasai bahasa dan sekaligus mejadi produsen bahasa paling utama sehingga bahasa menjadi teknologi kekuasaan yang efektif,” (dalam Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru).
Tetapi bagaimanapun, sebagaimana sentralnya media dalam menciptakan dan mempertahankan stigma Orde Baru terhadap PKI/Komunisme, media pun dapat dijadikan sarana untuk meresistensi hegemoni Soeharto dalam persoalan G30S ini dengan mengungkapkan fakta-fakta sejarah baru yang dapat mendelegitimasi fakta sebelumnya yang pernah digembar-gemborkan rezim militer Soeharto melalui institusi pendidikan, buku-buku, televisi, surat kabar, monumen dan museum peringatan. Dengan kata lain, media dapat dijadikan sarana bagi pertarungan simbolik antara perspektif yang mapan dan perspektif yang muncul belakangan. Tetapi, suatu bentuk resistensi seperti itu agaknya sulit dilakukan, karena produk hukum Orde Baru seperti TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 masih bertahan hingga saat ini. Tengok saja dalam kasus pelarangan beredar bagi buku John Roosa oleh Kejaksaan Agung pada Desember 2009, padahal Roosa ingin mengungkap fakta baru mengenai G30S melalui bukti-bukti baru yang dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya secara ilmiah.  
Melihat fenomena itu sepertinya ketakutan Soeharto terhadap kumpulan kertas yang dapat membuka kedok mengenai kudeta tanggal 1 Oktober 1965 sebagai suatu kudeta militer terhadap para jenderal senior dalam Angkatan Darat (bukan kudeta Partai Komunis Indonesia) masih dipertahankan hingga saat ini. Entah untuk apa. Tetapi yang jelas, hal ini seolah menjadi sejarah mutlak yang tidak dapat berubah. Padahal, tidak sedikit buku yang mengungkapkan bahwa Orde Baru lah yang telah membangun sistem simbol melalui kekuasaan, baik represi maupun ideologi. Sehingga, fakta tersebut dapat diragukan kesahihannya, karena dekat dengan praktek manipulatif sebuah kekuasaan yang ingin selalu menjaga hegemoni dan mendisiplinkan masyarakat sebagai warga Negara untuk tidak mempelajari ajaran yang dapat merongrong kekuasaan, lebih-lebih untuk mempelajari karya-karya Karl Marx yang menentang pemiskinan oleh kapitalisme itu.
Lantas untuk apa hakikatnya sejarah seperti ini dipertahankan? Jika sejarawan telah berhasil merelasikan fakta-fakta yang telah tercecer dan memperjelas jalan mengenai G30S yang telah lama berada dalam sebuah labirin ini tidak dianggap, bahkan dilarang. Apa sejarah hanya dijadikan instrument bagi legitimasi sebuah kekuasaan untuk memberikan kesadaran palsu kepada masyarakat mengenai suatu peristiwa? Ataukah sejarah dapat dijadikan pijakan bagi bangsa untuk memperbaiki kesalahan dan berpijak lebih tegas untuk menyongsong masa depan?
Bagi saya, sejarah tidak akan berarti apa-apa jika tidak dapat mengubah perspektif kita dalam melihat, seperti ketika kita melihat G30S ini. Bahkan ulasan sejarah akan sangat berarti jika dapat merangsang kekuasaan, cendekiawan, masyarakat untuk menghancurkan sama sekali sistem gagasan yang telah dibangun oleh Orba, baik itu berupa buku, monumen peringatan, maupun hukum-hukum yang masih berlaku hingga saat ini. Karena sarana-sarana represi dan idelogis seperti ini dapat menyesatkan jika digunakan penguasa yang hanya ingin mengukuhkan rasa takut semu bagi masyarakat untuk mengartikan paham tertentu secara dangkal, sebatas paham yang dapat mendorong aksi G30S terulang.     
Mengenai hal ini, menarik untuk menutup tulisan ini dengan ungkapan Dhakidae mengenai sejarah. Katanya, “sejarah bukan masa lalu akan tetapi juga masa depan dengan menggenggam kuat kekinian sambil memproyeksikan dirinya ke masa lalu. Warisan tentu saja menjadi penting terutama warisan yang menentukan relevansi kekinian. Apa yang dibuat di sini adalah melepaskan penjajahan masa kini terhadap masa lalu dengan memeriksa kembali masa lalu itu dan dengan demikian membuka suatu kemungkinan menghadirkan masa lalu dan masa depan dalam kekinian.”     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar