Total Tayangan Halaman

Jumat, 11 Februari 2011

Demonstrasi Sebagai Upaya Komunikasi


Oleh: Damar Fery Ardiyan

Berlari dalam seratus hari tentu bukan usaha yang gampang, apalagi mesti menuntaskan agenda pemerintahan yang digodok pada salah satu rumah di jalan Jambu, Menteng, Jakarta Pusat itu. Seperti yang ditulis salah satu majalah berita Mingguan, ada 45 program pokok dan 129 rencana aksi yang diadopsi oleh SBY sebagai kunci keberhasilan kabinet Indonesia Bersatu II pada penghujung kepemimpinannya. Tetapi, belum usai seratus hari berlalu (versi pemerintah) telah banyak aksi jalanan yang bersuara lantang bahwa kepemimpinan SBY telah gagal dalam seratus hari ini ini.
            Program seratus hari boleh jadi menjadi pesan atau isyarat mengenai sepak terjang pemerintah kepada rakyatnya. Walaupun seratus hari bukan waktu yang cukup untuk menuntaskan semua permasalah yang ada di negeri kita ini. Tetapi setidaknya memberikan gambaran kecil kepada rakyat untuk memberi pertimbangan atau mengukuhkan kepercayaan kepada pemerintah. Dan pada penghujung seratus hari kinerja SBY - Boediono, ternyata tidak sedikit orang yang kecewa terhadap kinerja mereka. Oleh karenanya, kekecewaan ini mendorong mereka untuk meneriakan tuntutan dari atas mimbar rakyat, yakni jalanan.
            Mungkin, bagi demonstran jalanan menjadi sarana efektif untuk menyampaikan pesan kepada pemerintah, maupun khalayak yang lebih luas. Karena selain dapat “memaksa” untuk melahirkan proses komunikasi antara demonstran dan pemerintah, aksi mereka pun dapat ditangkap oleh media untuk kemudian pesan mereka disebarkan secara lebih luas. Dengan begitu, akan semakin terbuka bagi penggiringan opini yang dapat menggerakan masyarakat secara sadar untuk mendukung maupun menolak. Oleh karena itu, pergerakan rakyat melalui jalanan dapat dimaknai sebagai upaya komunikasi rakyat kepada pemerintahnya.
            Tetapi terkadang, proses komunikasi ini terhambat. Karena pihak pemerintah seperti memberikan kesan negatif terhadap para demonstran. Sehingga memunculkan pernyataan seperti lakukan demonstrasi dengan aman – tertib, pemerintah menghimbau bahwa mengkomunikasikan pesan tidak melulu melalui demonstrasi massal yang dalam persepsi pemerintah akan mudah terprovokasi. Memang benar seperti itu, tetapi terkadang mengkomunikasikan pesan dalam perwakilan dirasa kurang efektif dan tidak mewakili. Oleh karenanya mereka lakukan dijalanan.
Hambatan Bagi Pesan Jalanan
Stereotip seperti ini mungkin “wajar,” karena penguasa selalu ingin mempertahankan hegemoninya baik dengan cara persuasif maupun juga represif. Keamanan dalam negeri menjadi tolok ukur yang juga penting untuk selalu dijaga, karena keamanan lah sebuah kepercayaan akan terbangun. Apalagi, jika Negara telah terkoneksi dengan Negara lain.
Oleh karena itu, pemerintah dalam ucapan yang santun selalu mengingatkan demonstran untuk menyuarakan pendapat dengan tertib, etis, berbudaya, bernilai dan tidak mudah terprovokasi. Walaupun terlihat seperti himbauan yang wajar, tetapi pernyataan seperti ini dapat dimaknai sebagai suatu ketakutan pemerintah atas tekanan dari luar yang tidak dapat dikendalikan. Maka, selalu saja kita lihat pada berita televisi maupun foto jurnalistik dimana jika ada demonstrasi selalu saja ada polisi maupun tentara yang berjaga-jaga sebagai implementasi dari ketakutan tersebut.
Mengapa? Secara sederhana kita akan menjawab bahwa tugas mereka memang menjaga keamanan. Tetapi, pertanyaan selanjutnya adalah: keamanan bagi siapa? keamanan bagi masyarakat yang menuntut ataukah penguasa yang dituntut. Atas pertanyaan ini kita dapat melihat dari pesan-pesan yang lahir secara tersirat maupun tersurat dari proses demonstrasi. Misalnya, ada ratusan mahasiswa yang berdemo di depan istana Negara dan ingin berusaha masuk ke dalam istana dengan maksud untuk mengkomunikasikan pesan secara langsung kepada presiden. Tetapi niatan mereka ini terhalang karena ada barisan polisi berseragam lengkap dengan tameng dan pentungan. Mahasiswa yang merasa niatnya terhalangi, dengan serentak memaksa untuk masuk dan seketika terjadi bentrokan fisik antara mahasiswa dan aparat. Atau contoh yang lebih sederhana adalah ketika aparat diposisikan selalu menghadap para demonstran dan membelakangi simbol dari kekuasaan Negara, yakni Istana Negara.
Dari ilustrasi tersebut, kita dapat mengambil pemaknaan bahwa hadirnya aparat memang untuk menjaga keamanan versi pemerintah. Aparat tidak hadir untuk masyarakat yang merasa tidak aman mengenai kualitas hidupnya. Aparat tidak hadir untuk masyarakat yang dirugikan oleh sebuah kebijakan penguasa. Aparat hadir untuk berhadapan dengan simpul massa yang bergejolak. Jika aparat berpihak pada rakyat, tentu saja aparat akan memposisikan diri membelakangi demonstran, apalagi jika mereka tahu bahwa kebijakan pemerintah merugikan rakyat kebanyakan, juga mungkin dirinya sendiri.
Melalui alasan ini lah, saya rasa bentrokan akan selalu terjadi. Karena ada stereotip yang seolah mengkonotasikan bahwa demonstrasi adalah revolusi. Maka, demonstrasi akan berjalan ricuh karena ada pertentangan antar kekuatan. Padahal, mereka hanya ingin berkomunikasi dengan pemimpin yang mereka pilih sebagai warga. Sebagai warga yang merasa bertanggungjawab atas semua yang dilakukan pemerintah, karena atas sebagaian besar pilihan warga lah penguasa tercipta. Oleh karenanya, warga pun punya hak untuk mencabut kepercayaan yang diberikan dalam pemilu, jika memang kebijakan pemerintah yang ia pilih tidak memberikan kualitas hidup yang diharapkan. Itulah konsekuensi jika penguasa tertinggi adalah rakyat. Jika pemerintah takut untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah ia lakukan, maka tidak lah perlu berani mencalonkan dan menerima mandat rakyat untuk memimpin bangsa ini.   
Untuk itu, pemerintah berkenanlah untuk membuka keran bagi proses komunikatif seluas-luasnya karena dengan begitu akan tercipta sebuah konsensus. Tekanlah sekecil-kecilnya sesuatu yang dapat menghambat proses komunikasi dan yang dapat menyulut bentrokan, seperti kata-kata abstrak: moral, etis, budaya, peradaban yang baik, juga mengenai penempatan aparatus represif (polisi dan tentara).
Maka, berilah tempat tertinggi jika masyarakat berunjuk rasa dan meminta untuk berbicara langsung kepada pemerintah. Hanya saja, masyarakat perlu tertib dan mengorganisir diri dengan baik. Seperti mempersiapkan perwakilan untuk dapat menyampaikan tuntutannya kepada pemerintah. Dengan kata lain, demonstrasi massal adalah kekuatan penekan atau pengantar perwakilan untuk menyuarakan pendapat kepada pemerintah yang terkadang tidak mau mendengar jika hanya melalui perorangan.
Jika pesan sudah disampaikan, maka kita hanya perlu menunggu sambil mempelajari watak kekuasaannya dan selalu memantau gerak-gerik pemerintah. Jika belum juga terealisasikan, maka tuntutlah kembali dengan gelombang lebih besar. Hantarkanlah pesan melalui demonstrasi jalanan, karena cara seperti itu terkadang membuat pesan lebih cepat sampai menembus telinga penguasa. Dan terakhir, lakukan itu dengan alasan yang dimengerti secara pribadi. Karena pada hakikatnya kita selalu mempunyai alasan untuk melakukan komunikasi dan alasan inilah yang menggerakan manusia untuk berbuat sesuatu bagi dirinya, maupun bagi orang lain. Karena dasar atau niat mulia ini lah masyarakat mengerakan langkah untuk menuntut pemerintah dari balik pagar istana dan barisan polisi maupun tentara. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar