Pertumbuhan ekonomi berkaitan langsung dengan pertumbuhan produktifitas, dan dalam kaca mata modernitas, kenaikannya sangat dipengaruhi oleh perubahan teknologi (rate of technological change). Dimana teknologi dapat melahirkan proses produksi yang lebih cepat dan juga lebih banyak, sehingga segelintir manusia yang menguasai teknologi tidak perlu membayar tenaga manusia lebih banyak. Karena dengan mempekerjakan sedikit orang, akan menghasilkan komoditas yang lebih banyak maupun sama kuantitasnya dengan mempekerjakan banyak orang. Dan dalam hal ini, berarti jumlah manusia lah yang ditekan oleh lahirnya bermacam teknologi. Dengan begitu, akan semakin kecil peluang bagi masyarakat produktif untuk mendapatkan pekerjaan.
Tetapi, mungkin hikmahnya adalah ketika manusia sadar mengenai lahan sebagai pekerja akan semakin sempit seiring dengan lahirnya teknologi. Manusia dapat lebih menggunakan rasio, bahwa dalam bekerja manusia tidak melulu bergantung pada industri. Karena manusia memiliki lebih banyak potensi, ketimbang jumlah struktur yang telah tersertifikasi dalam tatanan pendidikan. Dan jangan karena struktur tersebut, manusia tidak mengembangkan potensi lain di dalam dirinya. Walaupun banyak pembatasan mengenai otoritas, bahwa yang tersertifikasi dalam intitusi A tidak boleh menempati institusi B dan ini merupakan pengamanan peluang bagi institusi pendidikan tertentu. Namun, saya tidak akan banyak berbicara mengenai ini, saya akan lebih memfokuskan fungsi tulisan ini mengenai hakikat lahirnya teknologi dalam industri pers. Yang mana prakteknya, sama-sama memakai asumsi dasar dengan industri lainnya, yakni; menekan ongkos produksi dengan mendapatkan nilai lebih, sebanyak-banyaknya bagi pemilik modal.
Praktek sepeti ini dapat di lihat dari industri pers yang mempekerjakan sedikit “buruh tinta” atau wartawan dengan mewajibkan wartawan tersebut memperoleh tiga buah berita setiap harinya dalam koridor pers yang telah berjaringan (korporasi): Jawa Pos dan Trans misalnya. Mengapa demikian? Karena dalam satu penerbitan pers lokal, informasi yang mana sebagai komoditi tersebut disebarluaskan secara sosial atau disebarkan ke tempat yang berbeda, dimana satu perusahaan pers dengan perusahaan lainnya saling terhubung melalui sistem jaringan yang dimungkinkan oleh terciptanya teknologi: komputer – internet.
Walalupun demikian, saya tidak memungkiri bahwa kehadiran komputer - internet tidak memberikan manfaat positif bagi manusia. Tetapi, ketika ini telah dimanfaatkan oleh kaum pengusaha, sebagai sarana (hanya) untuk proses yang berkaitan satu sama lain. Dalam arti, pemenuhan bagi satu penerbitan harian yang menghadirkan beragam informasi dari banyak sumber, yakni informasi yang didapatkan dari perusahaan pers lain (koorporasi) dijadikan sebagai produksi informasi bagi satu penerbitan itu.
Sederhannya, dari beragam penerbitan pers yang berjaringan, ada berita-berita yang identik dari satu sumber/ wartawan dan proses demikian dimanfaatkan agar ongkos yang dikeluarkan pengusaha pers lebih sedikit, ketimbang mengongkosi satu wartawan ke lokasi liputan yang berbeda kota. Tetapi, dari praktek seperti ini memberikan nilai lebih kepada pemilik media secara besar-besaran. Karena untuk pemenuhan rasa haus manusia akan informasi, pemilik media tidak perlu memerlukan ongkos yang begitu besar, selama dalam satu hari penerbitan surat kabar tersebut semua halaman terisi.
Dan untuk mendukung praktek seperti itu, banyak media yang memenggal rubrik dan membaginya dalam rubrik-rubrik daerah atau kota, padahal sebenarnya media tersebut adalah media lokal. Jadi, proporsi untuk informasi lokal sebenarnya telah ditekan secara sengaja. Karena jika media berbasis lokal memenuhi semua halaman dengan informasi lokal, otomatis akan diperlukan waktu yang lama bagi wartawan dan juga mengeluarkan ongkos yang tidak sedikit untuk membiayai wartawan tersebut. Wartawan yang kalau dalam asumsi Karl Mark sebagai capital variabel, tentu saja perlu dibayar untuk kerja yang mereka curahkan dalam komoditi; informasi. Oleh karenanya, para pemilik media tidak mau pendapatannya berkurang karena membayar lebih wartawannya. Maka, secara asumtif saya beranggapan bahwa penciptaan rubrik daerah atau kota adalah untuk menekan ongkos tersebut. Padahal jika ditelisik dengan dua pertanyaan: apakah masyarakat/konsumen media lokal tersebut butuh akan informasi dari luar daerahnya? Ataukah itu hanya bentukan semata, yang
Karena melalui penciptaan teknologi, akan lahir suatu tatanan, yakni; masyarakat pekerja (buruh) yang tidak perlu bekerja dalam waktu yang sangat lama. Karena asumsi sederhananya adalah dimana dengan hadirnya teknologi, pekerjaan manusia akan lebih ringan. Tetapi, bagaimana saat ini? Di saat teknologi membuat pekerjaan lebih mudah, tetapi pekerja tetap memerlukan waktu yang sangat lama untuk berkerja: lebih dari delapan jam. Sehingga, para pekerja lebih banyak bekerja dan tidak banyak waktu untuk berinteraksi dengan keluarga terdekat. Kemudian melahirkan masyarakat yang berjarak, karena pada setengah waktu (siang), dipergunakan untuk bekerja dan bekerja. Ketika pekerjaan terselesaikan, pulang ke rumah dengan lelah hingga tidak banyak waktu yang tertuangkan untuk keluarga, maupun manusia lain. Karena waktu yang tersisa (malam) dipergunakan untuk memulihkan tenaga untuk melanjutkan pekerjaan esok hari dan ini akan terus terulang.
Dengan demikian, tidak banyak waktu pekerja digunakan untuk mengasah potensi lain di dalam dirinya. Karena lahirnya teknologi pun tidak lantas membuat pekerjaan buruh lebih ringan dan lebih pendek dalam hal waktu, untuk kemudian dapa melakukan hal lain. Padahal, semestinya dengan bantun mesin atau teknologi, waktu kerja dapat ditekan. Tetapi, para pengusaha tidak memakai logika seperti ini, pengusaha melihatnya dengan cara: apabila mesin ini digunakan lebih panjang, akan menghasilkan produk yang lebih banyak. Karena yang dihasilkan mesin lebih cepat, ketimbang memakai alat sederhana maupun hanya tenaga manusia. Bahkan, pekerjaan seminggu dapat dikerjakan beberapa jam saja menggunakan mesin produksi modern.
Oleh karena itu, bukannya teknologi membantu menekan jumlah waktu manusia dalam bekerja. Malah teknologi dijadikan sebagai alat untuk melipatgandakan komoditi dan untuk proses ini, tenaga buruh sangat dibutuhkan untuk menjaga mesin tetap bekerja. Saat ada proses pelipatgandaan ini, akan terjadi apa yang disebut penggandaan komoditi yang jumlahnya tidak terbatas. Sehingga dengan banyaknya komoditi yang diproduksi, maka diharapkan akan menghasilkan nilai tukar yang juga berlimpah. Serta dari setiap komoditi tersebut, tentunya sudah ada nilai lebih ghaib yang terkandung di dalamnya ketika dipertukarkan.
Lalu, saat teknologi tercipta untuk menekan waktu kerja, ternyata dalam prakteknya masih ada tenaga lebih yang mesti dikeluarkan oleh para pekerja. Sebab, jika tidak demikian, tidak akan terwujud sebuah akumulasi nilai. Dengan kata lain, pemilik teknologi ataupun para pengusaha ingin mendapatkan keutungan yang sebesar-besarnya dari suatu proses produksi yang tidak perlu membayar banyak para pekerja untuk membuat produksi dalam skala massal. Untuk itu, para pekerja diwajibkan untuk memproduksi sebuah komoditi menggunakan mesin dengaa waktu yang panjang, yakni delapan jam hingga dua belas jam untuk kemudian apat menghasilkan nilai lebih yang berlimpah.
Seperti yang dikatakan Karl Marx dalam “Kapital” mengenai nilai lebih relatif, bahwa akan terciptanya pemendekan kerja perlu, sehingga akan lebih panjang kerja waktu secara fisik atau kerja lebih absolut. Pemendekan kerja perlu ini dapat terealisasikan setelah ada proses produksi yang memakai teknologi modern. Kerja perlu sendiri diartikan Marx sebagai kerja yang dilakukan berdasarkan pemenuhan atas modal atau ongkos yang sebelumnya dikeluarkan. Kemudian, setelah terpenuhinya kerja perlu ini, para pekerja akan bekerja berdasarkan kerja lebih dan jika melalmpaui batas waktu kerja lebih, maka akan terjadinya suatu kerja yang dinamainya sebagai kerja lebih absolut.
Kerja lebih relatif ini dapat diukur melalui jumlah waktu bekerja. Misalnya, dalam satu hari pekerja diwajibkan untuk bekerja selama delapan jam. Dalam proses waktu delapan jam ini, ada pemengalan waktu, yakni: 1 – 4 jam merupakan waktu kerja perlu, 4 – 8 jam adalah kerja lebih, sedangkan jika melewati waktu kerja delapan jam berati sudah memasuki kerja lebih absolut. Lalu, dimana letak kerja lebih relatif? Letaknya adalah pemendekan waktu kerja perlu, yang sebelumnya memakan waktu empat jam (1 ke 4 jam waktu bekerja), kemudian dipendekan menjadi hanya dua jam saja misalnya. Jadi, waktu kerja perlu semakain pendek (1 ke 2 jam) yang menyebabkan waktu untuk kerja lebih semakin panjang (2 ke 8 jam) dan hal ini ditentukan oleh bagaimana kekuatan dari proses produksi yang memakai teknologi modern.
Karena itu lah, keuntungan yang dihasilkan oleh proses produksi massal melalui peralatan modern dapat memberikan keuntungan yang tinggi. Karena, waktu proses produksi dapat lebih ditekan dengan menghasilkan komoditi yang lebih banyak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penciptaan teknologi bukanlah untuk meringankan kerja manusia dan juga menekan waktu bekerja. Tetapi, teknologi diciptakan untuk kegiatan akumulasi komoditi pada saat proses produksi dan ketika dipertukarkan akan menghasilkan banyak nilai lebih sesuai dengan jumlah komoditi yang dihasilkan.
Al hasil, kehadiran teknologi tidak juga meringankan kerja manusia/buruh, karena manusia tetap bekerja selama delapan jam bahkan lebih. Oleh karenanya, tidak ada waktu lebih bagi manusia pekerja untuk menggunakan waktu yang lebih banyak untuk mengasah potensi diri yang lain atau sekedar merekatkan persaudaraan bersama keluarga, maupun manusia lain. Karena waktu yang seharusnya diberikan kepada pekerja setelah ada peralatan modern itu sangat berarti bagi pemilik teknologi/pengusaha untuk proses produksi yang akan menghasilkan nilai lebih bagi dirinya secara masif.
Walaupun tidak terjadi demikian, alankah adilnya seorang tuan, jika saja waktu dan tenaga yang tersyurahkan melalui kerja para pekerja ini dibalas dengan upah yang setimpal, yang layak untuk mengembangkan potensi pribadi atau potensi orang-orang terdekatnya. Sehingga, tidak terjadi kesenjangan yang begitu jauh antara kelas pekerja dan pengusaha. Atau jika tidak mau demikian, maka pekerjakanlah sebanyak-banyaknya orang-orang yang belum mendapatkan pekerjaan di tanah ini. Sehingga paling tidak ada keselarasan antara pendapatan yang masuk secara pribadi dengan pemberian upah kepada jumlah pekerja yang banyak dan agar tidak terjadi banyaknya penganguran. Karena jika tidak memilih dua pilihan tersebut, maka akan tercerminkan ketidakadilan jika hanya “tuan” yang mendapatkan keuntungan dari kemajuan teknologi modern dan juga berarti “tuan” tengah mendorong terjadi pemiskinan kelas yang berarti menginjak-injak harkat dan martabat manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar