Total Tayangan Halaman

Jumat, 11 Februari 2011

Merdeka Itu Aksi


Oleh: Damar Fery Ardiyan
Berbagai cara kita dapat memeringati kemerdekaan bangsa kita; Indonesia yang telah berumur 65 tahun ini. Di antara rutinitas yang kerap kita lakukan pasca kemerdekaan 1945 ini adalah mengenang simbol-simbol kemerdekaan juga tokohnya, mengibarkan bendera dwi warna, maupun memberi kritik juga pengertian baru bagi kemerdekaan bangsa yang lebih kontekstual dengan masa kini. Pengertian baru ini tentunya di luar distribusi sarana represif untuk perebutan kekuasaan terhadap tanah, air dan juga mahluk hidup yang berada di dalamnya. Melainkan meneruskan cita-cita proklamasi untuk menjadi Negara merdeka yang dapat menentukan nasib bangsa secara pribadi, dapat memenuhi kebutuhan rakyat atas sandang, pangan, papan dan untuk membuat sesuatu yang tidak sulit, yakni membuat senyum semua rakyat Indonesia, tanpa terpaku pada sekat-sekat mayoritas yang identik dengan pemilihan kepala lima tahunan.
            Alankah merdekanya kita jika semua rakyat di atas tanah dan air yang dulu diperebutkan ini dapat tersenyum karena berlimpahnya pangan, sandang yang layak dan papan kokoh yang dapat menyembunyikan raga kita dari debu, hujan, dingin dan panas.           Alangkah merdekanya kita jika semua rakyat di atas tanah dan air yang penuh dongeng ini dapat mendengar kebijakan yang tidak menyengsarakan rakyat sang pemilik kuasa. Alangkah merdekanya demikian, jika penguasa tak hanya mementingkan citra dan betapa bahagianya kita jika lembaga yang merealisasikan kebijakan publik tidak bertindak sebagai pahlawan kesiangan. 
Lantas, dengan cara apa kita mengisi kemerdekaan yang telah susah diperoleh ini? Apakah hanya dengan mengusung rasa nasionalisme yang saat ini seperti hidup segan mati pun tak mau. Karena pada kenyataan, nasionalisme kita seperti dirongrong oleh negara tetangga yang dipisahkan oleh batas laut darat dan nasionalisme kita banyak dipertanyakan dewasa ini. Tengok saja pada waktu dekat ini, ketika beberapa petugas yang tengah memantau batas perairan Bintan Indonesia di kepulauan Riau ditangkap oleh polisi laut Malaysia padahal mereka bermaksud melaksanakan tugas untuk menjaga perairan Indonesia, perairan mereka sendiri! Lucunya pemerintah Indonesia seperti tidak melakukan apa-apa selain mengomunikasikan masalah ini secara intensif agar tidak mengganggu hubungan bilateral Indonesia - Malaysia. Dengan demikian, saya merasa tidak melihat jelas batas subjek dan objek dalam kasus ini. Siapa yang ingin merusak hubungan bilateral dan siapa yang ingin memperbaiki hubungan tersebut. Apalagi, saya cukup muak dengan alasan “hubungan bilateral” seperti ini, karena faktanya mereka (Malaysia) pun seperti enggan untuk menjaga hubungan ini.  
Dengan demikian, apakah saya berlebihan jika berkata bahwa mereka, Malaysia lebih berani untuk melindungi warga mereka, bahkan melindungi dengan senjata tanpa melihat alasan-alasan normatif seperti itu. Bahkan, ketika melihat kenyataan nelayan mereka lah yang bersalah karena telah masuk wilayah Indonesia, mereka tetap membela dan melindungi.
Lantas pelajaran apa yang dapat diambil dari kasus ini? Seperti yang telah saya kemukakan sebelumnya mengenai aparat represi Malaysia karena telah berani dan berkomitmen untuk melindungi tanah, air dan warga negara yang hidup di dalamnya, inilah yang dapat diambil. Mereka seolah mendapat dorongan keberanian karena mungkin mereka sadar bahwa mereka lebih kuat dari kita. Apalagi jika bukan begitu? Karena secara sederhana, negara lemah tidak akan berani melawan negara kuat, meskipun berani mereka pasti memunyai senjata rahasia di balik kelemahannya itu.
            Oleh karena itu, saya mengharapkan agar pemerintah lebih tegas, tidak terpaku dengan penyelesaian secara birokratik, diplomasi dan terpatri pada hitung-hitungan rugi karena banyak warga kita yang bekerja di sana. Dalam hal ini bukan berarti saya membesar-besarkan atau hanya reaktif saja, karena pada faktanya masalah mengenai batas negara sudah berlarut-larut, sudah demikian usang tanpa ketegasan. Oleh karena itu, dengan dorongan kemerdekaan negara kita yang telah menjamin semua tanah, air dan masyarakat sebagai warga negara untuk hidup secara merdeka tanpa intimidasi, kita wajib menjadi masyarakat aksi. Karena reaktif bukan hanya berarti tindakan banal, merusak dan memperkeruh masalah ini. Melainkan dapat diartikan sebagai tindakan yang setidaknya dapat melahirkan ketegasan agar kita tidak diinjak jari kemudian kepala, agar mereka tahu kita tidak diam.
Apalagi, reaksi tersebut bukan lah reaksi kosong tanpa basis data atau informasi yang jelas mengenai kasus ini. Karena berdasarkan keterangan dari media yang mereka ulang fakta lapangan pada saat penangkapan dan penembakan itu terjadi, kita dapat menyimpulkan bahwa petugas kita tidak salah. Dengan demikian, mengapa mereka mesti ditangkap dan diintimidasi oleh senjata oleh aparat laut Malaysia. Apakah kebenaran tidak lagi menunjukan dirinya sebagai kebenaran dewasa ini? Sungguh ironis bukan? Siapa maling, siapa tertangkap.     
Atas fenomena yang terjadi jelang perayaan kemerdekaan bangsa kita ini, tentu kita semua mengharapkan bahwa kasus ini tidak terjadi lagi dikemudian hari. Dengan cara apa? Itu menjadi pekerjaan rumah kita semua sebagai bangsa dan warga negara Indonesia. Tetapi menurut saya, dalam waktu dekat ini pemerintah mesti lebih reaktif dan tegas terhadap persoalan yang sudah usang seperti kapal-kapal laut penjaga batas negara kita ini. Walaupun kita belum punya penyelesaian jelas secara tertulis: MOU dan hukum misalnya. Namun, tidak ada salahnya jika kita mengalihkan pandangan dari fantasi atau ilusi yang selalu mengonotasikan tindakan reaktif sebagai tindakan yang tergesa-gesa dan bernada negatif. Karena tentu kita wajib untuk bereaksi terhadap masalah-masalah seperti ini.
Bahkan saya pikir presiden sebagai tiang tertinggi di negara kita mesti mengomentari masalah ini, karena masalah bukan hanya mengenai nota keuangan dan RAPBN walaupun hal ini begitu penting kadarnya. Oleh karena itu, sebagai warga negara kita tentu ingin mendengar pemimpin kita sang pemegang tongkat komando atas aparatur negara berkata. Sehingga kita tidak mengidentikan beliau sebagai seorang yang diam. Apalagi dengan mengingat bahwa terkadang mata tak mengetahui apa yang dilakukan tangan dan kaki kita untuk bangsa ini, jika kita tidak berbicara. Lalu, saya mengakhiri catatan ini dengan seruan seperti yang tertulis pada salah satu bait lagu kebangsaan Indonesia Raya: “…..marilah kita berseru, Indonesia bersatu.”  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar