Total Tayangan Halaman

Jumat, 11 Februari 2011

Guru: Pendorong Kesadaran Kelas


Oleh: Damar Fery Ardiyan

Sistem pendidikan memikul beban yang sangat berat bagi terciptanya manusia Indonesia yang mampu belajar seumur hidup. Bukan hanya belajar, tetapi menerapkan ilmunya itu untuk penerang bangsa ini, agar dapat mengisi ketiadaan dalam persaingan dunia di kemudian hari. Oleh karenanya, akhir-akhir ini cukup santer diberitakan media cetak mengenai penghapusan UN untuk tidak lagi menjadi alat ukur  bagi kelulusan siswa dan Mahkamah Agung telah merespon dengan memberi setidaknya lima putusan, yakni: (1) mengabulkan gangguan subsider dari para penggugat yakni memberi keadilan seadil-adilnya, (2) pemerintah telah lalai memenuhi hak warga dalam pendidikan, (3) meningkatkan kualitas guru, (4) pemerintah meninjau kembali sistem pendidikan, serta (5) mengambil langkah konkret mengatasi gangguan psikologi.
            Di luar putusan tersebut, tentu saja saya mendudukung agar UN tidak lagi dijadikan patokan bagi kelulusan. Karena kecenderungannya hanya sebagai alat evaluasi akhir tuntutan modernitas, yang menilai sesuatu itu dari efisiensi dan efektifitas, karena mudah untuk mengklasifikasikan siswa pintar, dan kurang pintar. Dan seiring dengan putusan MA, saya masih yakin bahwa sistem pendidikan bangsa ini dengan guru di dalamnya akan menemukan titik sempurnanya. Hanya saja diperlukan kesadaran untuk bergerak aktif dan kreatif, khususnya untuk point 2, 3 dan 4 dari putusan MA, sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang. Dalam pemikiran Paulo Friere,  aktif di sini berpengertian sebagai penolakan atas  “kesadaran palsu” atau penumpulan kesadaran kritis yang disebabkan oleh hubungan-hubungan antara manusia, struktur masyarakat, lembaga dan ideologi yang digalakan oleh kelas dominan (Pendidikan Alat Perlawanan, Siti Murtiningsih).
            Oleh karenanya, sistem pendidikan di negara kita pun mesti terbuka untuk memberikan kesadaran kelas. Saya rasa guru yang tak lain berperan sebagai subjek untuk memberikan didikan, mesti paham betul mengenai hal ini. Sehingga pelajaran tidak lantas diberikan begitu saja, tetapi ada proses seleksi dan mengedepankan ilmu-ilmu yang berorientasi untuk perjuangan kelas, bukan ilmu-ilmu yang memberikan pengukuhan bagi kelas dominan. Guru pun mesti memberi penyadaran kepada peserta didiknya, kalau saat ini kita hanyalah makhluk yang terdominasi, kelompok subordinat yang tidak lepas dari hegemoni kekuasaan yang ada.
            Oleh karena itu Friere mengatakan, dunia pendidikan itu sebagai alat perlawanan! Karena hakikatnya adalah untuk membebaskan manusia. Maka, pendidikan harus mengambil posisi kritis terhadap tatanan sosial yang tak berkeadilan. Pendidikan adalah sistem yang dapat menguji dan mengintegrasikan semua nilai dalam kehidupan manusia serta membinanya ke dalam kepribadian peserta didik. Sehingga peserta didik dipupuk tumbuh kesadarannya, supaya kemudian dapat bersikap kritis terhadap realitas yang dihadapinya.
            Karena alasan inilah, peran guru begitu besar untuk mendidik manusia yang tidak sekedar cerdas, tetapi peka, juga kritis terhadap realitasnya masing-masing. Guru pun jangan terjebak dengan kata profesionalisme, yang menurut saya tak lain sebagai alasan bagi terciptanya sekat-sekat pembatas bagi guru untuk tidak melakukan hal yang lebih besar di luar sertifikasi. Guru seolah terjebak oleh kategori-kategori, yang sebetulnya membatasi guru untuk melakukan sesuatu yang lebih. Dengan begitu, guru bisa lebih bebas untuk menuangkan ide-idenya bagi realitas di luar kelas dan untuk mengajar juga diajar dalam ruang kelas.
            Sebagai sebuah pendidikan yang berkemanusiaan dan memerdekakan, pendidikan kelompok subordinat mempunyai dua pembedaan tingkatan. Pertama, kaum suborinat membuka selubung dunia yang menindas dan mereka sampai pada komitmen praksis untuk transformasi yang mengubah. Kedua, pendidikan ini tidak hanya dimiliki oleh kelompok subordinat, namun menjadi proses pendidikan bagi semua orang dalam perjuangan mewujudkan kemerdekaan secara permanen. Dan kemerdekaan ini bisa di lihat baik dari kacamata ekonomi, maupun kacamata hubungan sosial yang lebih luas.
           
            Konsientisasi
            Lebih lanjut, metode pendidikan yang bersifat aktif dan secara terus menerus mereflesikan apa yang terjadi dalam dunia nyata ini disebut sebagai “konsientisasi.” Oleh Friere konsientisasi ini di definisikan sebagai proses dimana manusia mendapatkan kesadaran yang terus semakin mendalam mengenai realitas kultural yang melingkupi hidupnya dan akan kemampuannya untuk mengubah realitas itu. 
            Proses konsientisasi ini terjadi dengan membuka realitas yang mengungkung manusia dalam keterasingannya, sehingga dapat mencerminakan kebangkitan bagi kesadaran. Pada tahap kesadaran inilah, manusia mampu melontarkan kritik terhadap realitasnya sendiri dan melakukan perjuangan terhadapnya. Dengan begitu pembebasan yang dialami ini adalah pembebasan dari kesadaran naif menuju kesadaran kritis. Dengan merombak realitas statis tempat manusia hanya beradaptasi, kemudian dikembalikan pada proposisi yang seharusnya, yaitu realitas yang selalu dinamis, tempat manusia mengintegrasikan dirinya.
            Sederhananya, konsientisasi adalah proses dialektika antara aksi dan refleksi, juga sekaligus metode aksi untuk melibatkan diri dalam sistem pendidikan yang membebaskan, karena memuat harapan yang konkret dan terorganisir. Ketika manusia masuk dalam proses konsientisasi, ia tidak saja dituntut untuk mempersoalkan keterlibatan sosialnya. Tetapi juga perihal eksistensinya, bahkan tata sosial yang semula didukung dan dibentuknya sendiri. Inilah kiranya yang merupakan taruhan paling besar yang harus diterima jikalau seseorang menginginkan pembebasan.
            Mengapa? Karena kelompok dominan mustahil memberikan pembebasan. Apalagi, karena mereka punya kuasa dan selalu menyiapkan pembenaran-pembenaran atas realitas yang terjadi. Maka, yang mampu mengatasi penindasan adalah kelompok subordinat sendiri, dengan menjadi subjek-subjek yang bereksistensi bagi dirinya sendiri. Oleh karenanya, pendidikan lah yang dapat merangsang kesadaran ini dapat terwujud, baik bagi perserta didik maupun pendidiknya sendiri (guru). Tetapi pendidikan tersebut mesti menerapkan unsur dialogis antara peserta didik dan pendidik, juga keduanya diusahakan untuk menjadi subjek juga objek sekaligus, dalam kegiatan belajar yang menerapkan model hadap masalah dan sama sekali menghapus sitem bank dalam pendidikan di negeri yang sama-sama kita cintai ini. Karena pengetahuan menurut pendidikan gaya bank ialah hasil penerimaan pasif oleh peserta didik. Sedangkan berdasarkan sistem pendidikan hadap masalah, pengetahuan adalah kegiatan aktif peserta didik dalam memandang realitas diri dan lingkungannya.

            Orientasi Pendidikan
            Karena itu lah, orientasi pendidikan pun tidak terhenti pada suatu usaha mewujudkan peserta didik yang cedas dalam ilmu yang ia pilih, juga unggul hanya dalam komunitas keilmuannya saja. Tetapi, basis keilmuaannya mesti mencakupi masyarakat di luar bidang keilmuanya. Sehingga bisa mendorong gerakan massa untuk bersama-sama melakukan perubahan atas hegemoni kekuasaan. 
            Seorang guru atau guru besar katakanlah, bukan hanya milik sekolah atau kampus dan tidak hanya bekerja di dalam sekolah. Laboratorium guru, adalah di luar sekolahnya. Karena dengan pengetahuan yang ia dapat di luar sekolah, seorang guru dapat memberi pengetahuan, analisa, bahkan penyadaran atas kondisi masyarakat kepada peserta didik dan kemudian mendorong peserta didik agar melakukan perubahan.
            Dalam konsepsi Friere, ada dua titik orientasi yang dinamakan sebagai child-centered dan community-centered. Child-centered adalah dasar kurikulum karena azas pendidikan untuk membimbing watak dan perkembangan kepribadian peserta didik. Kurikulum dirancang dengan maksud agar pendidikan berjalan efektif dalam mengembangkan kepribadian peserta didik yang total. Kurikulum mesti mencakup unsur-unsur yang menumbuhkan prakasa, emosi, improvisasi dan kreativitas, ekspresif, sikap sosial dan sikap kritis. Sedangkan, community-centered adalah dasar kurikulum kerena azas pendidian menumbuhkan kesadaran peserta didik akan realitas diri dan lingkungan sosialnya.  
            Dengan begitu, kurikulum pun merupakan muatan pengajaran yang mampu menumbuhkan kesadaran kritis. Artinya, kurikulum yang dapat mendorong berkembangnya pola pikir dan kemampuan refleksi peserta didik atas realitas. Baik sekolah, maupun universitas, bukan berfungsi untuk membentuk peserta didik yang hanya mampu menyesuaikan diri dengan pola dalam dunia kerja. Tetapi juga mampu mengubah pola relasi peserta didik dengan alam dan semua  kelas sosial tertentu. Apalagi, untuk mengubah relasi terhadap kelas-kelas tertentu yang hanya mengisap keuntungan dari keringat mantan peserta didik untuk kebesarannya sendiri.   

Merdeka Itu Aksi


Oleh: Damar Fery Ardiyan
Berbagai cara kita dapat memeringati kemerdekaan bangsa kita; Indonesia yang telah berumur 65 tahun ini. Di antara rutinitas yang kerap kita lakukan pasca kemerdekaan 1945 ini adalah mengenang simbol-simbol kemerdekaan juga tokohnya, mengibarkan bendera dwi warna, maupun memberi kritik juga pengertian baru bagi kemerdekaan bangsa yang lebih kontekstual dengan masa kini. Pengertian baru ini tentunya di luar distribusi sarana represif untuk perebutan kekuasaan terhadap tanah, air dan juga mahluk hidup yang berada di dalamnya. Melainkan meneruskan cita-cita proklamasi untuk menjadi Negara merdeka yang dapat menentukan nasib bangsa secara pribadi, dapat memenuhi kebutuhan rakyat atas sandang, pangan, papan dan untuk membuat sesuatu yang tidak sulit, yakni membuat senyum semua rakyat Indonesia, tanpa terpaku pada sekat-sekat mayoritas yang identik dengan pemilihan kepala lima tahunan.
            Alankah merdekanya kita jika semua rakyat di atas tanah dan air yang dulu diperebutkan ini dapat tersenyum karena berlimpahnya pangan, sandang yang layak dan papan kokoh yang dapat menyembunyikan raga kita dari debu, hujan, dingin dan panas.           Alangkah merdekanya kita jika semua rakyat di atas tanah dan air yang penuh dongeng ini dapat mendengar kebijakan yang tidak menyengsarakan rakyat sang pemilik kuasa. Alangkah merdekanya demikian, jika penguasa tak hanya mementingkan citra dan betapa bahagianya kita jika lembaga yang merealisasikan kebijakan publik tidak bertindak sebagai pahlawan kesiangan. 
Lantas, dengan cara apa kita mengisi kemerdekaan yang telah susah diperoleh ini? Apakah hanya dengan mengusung rasa nasionalisme yang saat ini seperti hidup segan mati pun tak mau. Karena pada kenyataan, nasionalisme kita seperti dirongrong oleh negara tetangga yang dipisahkan oleh batas laut darat dan nasionalisme kita banyak dipertanyakan dewasa ini. Tengok saja pada waktu dekat ini, ketika beberapa petugas yang tengah memantau batas perairan Bintan Indonesia di kepulauan Riau ditangkap oleh polisi laut Malaysia padahal mereka bermaksud melaksanakan tugas untuk menjaga perairan Indonesia, perairan mereka sendiri! Lucunya pemerintah Indonesia seperti tidak melakukan apa-apa selain mengomunikasikan masalah ini secara intensif agar tidak mengganggu hubungan bilateral Indonesia - Malaysia. Dengan demikian, saya merasa tidak melihat jelas batas subjek dan objek dalam kasus ini. Siapa yang ingin merusak hubungan bilateral dan siapa yang ingin memperbaiki hubungan tersebut. Apalagi, saya cukup muak dengan alasan “hubungan bilateral” seperti ini, karena faktanya mereka (Malaysia) pun seperti enggan untuk menjaga hubungan ini.  
Dengan demikian, apakah saya berlebihan jika berkata bahwa mereka, Malaysia lebih berani untuk melindungi warga mereka, bahkan melindungi dengan senjata tanpa melihat alasan-alasan normatif seperti itu. Bahkan, ketika melihat kenyataan nelayan mereka lah yang bersalah karena telah masuk wilayah Indonesia, mereka tetap membela dan melindungi.
Lantas pelajaran apa yang dapat diambil dari kasus ini? Seperti yang telah saya kemukakan sebelumnya mengenai aparat represi Malaysia karena telah berani dan berkomitmen untuk melindungi tanah, air dan warga negara yang hidup di dalamnya, inilah yang dapat diambil. Mereka seolah mendapat dorongan keberanian karena mungkin mereka sadar bahwa mereka lebih kuat dari kita. Apalagi jika bukan begitu? Karena secara sederhana, negara lemah tidak akan berani melawan negara kuat, meskipun berani mereka pasti memunyai senjata rahasia di balik kelemahannya itu.
            Oleh karena itu, saya mengharapkan agar pemerintah lebih tegas, tidak terpaku dengan penyelesaian secara birokratik, diplomasi dan terpatri pada hitung-hitungan rugi karena banyak warga kita yang bekerja di sana. Dalam hal ini bukan berarti saya membesar-besarkan atau hanya reaktif saja, karena pada faktanya masalah mengenai batas negara sudah berlarut-larut, sudah demikian usang tanpa ketegasan. Oleh karena itu, dengan dorongan kemerdekaan negara kita yang telah menjamin semua tanah, air dan masyarakat sebagai warga negara untuk hidup secara merdeka tanpa intimidasi, kita wajib menjadi masyarakat aksi. Karena reaktif bukan hanya berarti tindakan banal, merusak dan memperkeruh masalah ini. Melainkan dapat diartikan sebagai tindakan yang setidaknya dapat melahirkan ketegasan agar kita tidak diinjak jari kemudian kepala, agar mereka tahu kita tidak diam.
Apalagi, reaksi tersebut bukan lah reaksi kosong tanpa basis data atau informasi yang jelas mengenai kasus ini. Karena berdasarkan keterangan dari media yang mereka ulang fakta lapangan pada saat penangkapan dan penembakan itu terjadi, kita dapat menyimpulkan bahwa petugas kita tidak salah. Dengan demikian, mengapa mereka mesti ditangkap dan diintimidasi oleh senjata oleh aparat laut Malaysia. Apakah kebenaran tidak lagi menunjukan dirinya sebagai kebenaran dewasa ini? Sungguh ironis bukan? Siapa maling, siapa tertangkap.     
Atas fenomena yang terjadi jelang perayaan kemerdekaan bangsa kita ini, tentu kita semua mengharapkan bahwa kasus ini tidak terjadi lagi dikemudian hari. Dengan cara apa? Itu menjadi pekerjaan rumah kita semua sebagai bangsa dan warga negara Indonesia. Tetapi menurut saya, dalam waktu dekat ini pemerintah mesti lebih reaktif dan tegas terhadap persoalan yang sudah usang seperti kapal-kapal laut penjaga batas negara kita ini. Walaupun kita belum punya penyelesaian jelas secara tertulis: MOU dan hukum misalnya. Namun, tidak ada salahnya jika kita mengalihkan pandangan dari fantasi atau ilusi yang selalu mengonotasikan tindakan reaktif sebagai tindakan yang tergesa-gesa dan bernada negatif. Karena tentu kita wajib untuk bereaksi terhadap masalah-masalah seperti ini.
Bahkan saya pikir presiden sebagai tiang tertinggi di negara kita mesti mengomentari masalah ini, karena masalah bukan hanya mengenai nota keuangan dan RAPBN walaupun hal ini begitu penting kadarnya. Oleh karena itu, sebagai warga negara kita tentu ingin mendengar pemimpin kita sang pemegang tongkat komando atas aparatur negara berkata. Sehingga kita tidak mengidentikan beliau sebagai seorang yang diam. Apalagi dengan mengingat bahwa terkadang mata tak mengetahui apa yang dilakukan tangan dan kaki kita untuk bangsa ini, jika kita tidak berbicara. Lalu, saya mengakhiri catatan ini dengan seruan seperti yang tertulis pada salah satu bait lagu kebangsaan Indonesia Raya: “…..marilah kita berseru, Indonesia bersatu.”  

Praktek Manipulatif Pasca G30S


Oleh: Damar Fery Ardiyan

Kebanyakan dari kita yang lahir pasca 1965, tentu mengenal sejarah Gerakan 30 September 1965 melalui institusi pendidikan, selaku aparatur yang sangat massif untuk membangun ideologi mayoritas agar kita kemudian dapat menilai sebuah peristiwa, tidak terkecuali G30S. Bahkan perkenalan itu pun diperkuat oleh buku-buku, artikel-artikel, surat kabar, televisi yang sepertinya ingin membangun citra dalam kesemuan, sehingga kita dapat mengenali peristiwa dan latarbelakangnya, serta orang-orang yang terlibat di dalamnya. Padahal, peristiwa dan orang-orangnya tidak pernah kita jumpai seumur hidup kita, apalagi mengenalnya.
            Mungkin di sinilah kekuatan dari ulasan sejarah, di mana ceceran fakta, baik lisan maupun tulisan dapat dikumpulkan kembali menjadi suatu peristiwa yang utuh dan dapat kita percayai kemudian sebagai kerangka gagasan. Sehingga, kita yang lahir dalam rentang tahun cukup jauh setelah peristiwa lampau dapat mengetahui dan sekaligus mengerti mengenai peritiwa berdarah pada 1965 atau setidaknya kita akan dapat menjawab pertanyaan guru di sekolah mengenai siapa dalang dari G30S yang ‘sadis’ itu.
Dalam hal ini, sistem diskursif melalui simbol-simbol yang di mediasi melalui buku, surat kabar dan televisi memberikan pengaruh yang besar untuk memobilisasi pendapat umum mengenai suatu peristiwa. Tengok saja pada sejarah G30S yang lahir dari rahim Orde Baru telah banyak dipercaya oleh masyarakat sebagai fakta. Sehingga kemudian anggapan tersebut menjadi sebuah kebenaran dan menjadi landasan seseorang untuk mencerca bahwa gerakan itu gerakan yang tidak manusiawi, sadistis, anti Tuhan, dll.
Persepsi seperti itu mungkin wajar, karena perkembangan sejarah G30S ini tak lepas dari sistem diskursif melalui simbol-simbol yang di mediasi buku sejarah, monumen Pancasila Sakti, museum peringatan dan pemutaran film G30S yang dipraktekan oleh kekuasaan Orba. Namun, sistem simbol ini tidak diciptakan tanpa perencanaan dan tujuan. Karena melaluinya, Orba ingin membentuk suatu persepsi bahwa Soeharto adalah penyelamat bangsa dari serangan berdarah yang (katanya) dilakukan salah satu partai besar ketika itu, sehingga dirinya dapat menaiki tahta eksekutif. Seperti yang dikatakan John Roosa bahwa “dalam membangun ideologi pembenaran bagi kediktatorannya, Soeharto menampilkan diri sebagai juru selamat bangsa dengan menumpas G30S. Rezim Soeharto terus menanamkan peristiwa itu dalam pikiran masyarakat melalui semua alat propaganda Negara..,” (Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto).  
Dengan demikian, pembangunan sistem simbol menjadi penting adanya bagi tiang kebenaran Soeharto dalam menghancurkan PKI sebagai partai dan PKI sebagai ideologi. Sehingga, hal ini menjadi pembenar bagi rezim untuk memenjarakan serta membunuh banyak orang yang terlibat maupun tidak. Dan ironisnya kejadian pasca gerakan ini tidak diberitakan oleh surat kabar ketika itu, karena Angkatan Darat memberangus hampir semua surat kabar dalam pekan pertama Oktober 1965 dan menerapkan sensor. Bahkan koran-koran independen, seperti Kompas ikut ambil bagian dalam kampanye militer untuk menggalakan histeria anti-PKI (baca Roosa: 26-30).
Oleh karena itu, media komunikasi apapun memilik peran sentral dalam memunculkan suatu wacana dan juga menenggelamkan banyak wacana dari peristiwa G30S ini. Apalagi jika media tersebut telah dikuasai dan dibentuk oleh seorang yang memiliki kekuasaan penuh terhadap aparatur represi maupun ideologi seperti Seoharto ketika hidup. Seperti yang dikatakan Daniel Dhakidae bahwa “dengan menguasai media, Orde Baru menguasai bahasa dan sekaligus mejadi produsen bahasa paling utama sehingga bahasa menjadi teknologi kekuasaan yang efektif,” (dalam Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru).
Tetapi bagaimanapun, sebagaimana sentralnya media dalam menciptakan dan mempertahankan stigma Orde Baru terhadap PKI/Komunisme, media pun dapat dijadikan sarana untuk meresistensi hegemoni Soeharto dalam persoalan G30S ini dengan mengungkapkan fakta-fakta sejarah baru yang dapat mendelegitimasi fakta sebelumnya yang pernah digembar-gemborkan rezim militer Soeharto melalui institusi pendidikan, buku-buku, televisi, surat kabar, monumen dan museum peringatan. Dengan kata lain, media dapat dijadikan sarana bagi pertarungan simbolik antara perspektif yang mapan dan perspektif yang muncul belakangan. Tetapi, suatu bentuk resistensi seperti itu agaknya sulit dilakukan, karena produk hukum Orde Baru seperti TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 masih bertahan hingga saat ini. Tengok saja dalam kasus pelarangan beredar bagi buku John Roosa oleh Kejaksaan Agung pada Desember 2009, padahal Roosa ingin mengungkap fakta baru mengenai G30S melalui bukti-bukti baru yang dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya secara ilmiah.  
Melihat fenomena itu sepertinya ketakutan Soeharto terhadap kumpulan kertas yang dapat membuka kedok mengenai kudeta tanggal 1 Oktober 1965 sebagai suatu kudeta militer terhadap para jenderal senior dalam Angkatan Darat (bukan kudeta Partai Komunis Indonesia) masih dipertahankan hingga saat ini. Entah untuk apa. Tetapi yang jelas, hal ini seolah menjadi sejarah mutlak yang tidak dapat berubah. Padahal, tidak sedikit buku yang mengungkapkan bahwa Orde Baru lah yang telah membangun sistem simbol melalui kekuasaan, baik represi maupun ideologi. Sehingga, fakta tersebut dapat diragukan kesahihannya, karena dekat dengan praktek manipulatif sebuah kekuasaan yang ingin selalu menjaga hegemoni dan mendisiplinkan masyarakat sebagai warga Negara untuk tidak mempelajari ajaran yang dapat merongrong kekuasaan, lebih-lebih untuk mempelajari karya-karya Karl Marx yang menentang pemiskinan oleh kapitalisme itu.
Lantas untuk apa hakikatnya sejarah seperti ini dipertahankan? Jika sejarawan telah berhasil merelasikan fakta-fakta yang telah tercecer dan memperjelas jalan mengenai G30S yang telah lama berada dalam sebuah labirin ini tidak dianggap, bahkan dilarang. Apa sejarah hanya dijadikan instrument bagi legitimasi sebuah kekuasaan untuk memberikan kesadaran palsu kepada masyarakat mengenai suatu peristiwa? Ataukah sejarah dapat dijadikan pijakan bagi bangsa untuk memperbaiki kesalahan dan berpijak lebih tegas untuk menyongsong masa depan?
Bagi saya, sejarah tidak akan berarti apa-apa jika tidak dapat mengubah perspektif kita dalam melihat, seperti ketika kita melihat G30S ini. Bahkan ulasan sejarah akan sangat berarti jika dapat merangsang kekuasaan, cendekiawan, masyarakat untuk menghancurkan sama sekali sistem gagasan yang telah dibangun oleh Orba, baik itu berupa buku, monumen peringatan, maupun hukum-hukum yang masih berlaku hingga saat ini. Karena sarana-sarana represi dan idelogis seperti ini dapat menyesatkan jika digunakan penguasa yang hanya ingin mengukuhkan rasa takut semu bagi masyarakat untuk mengartikan paham tertentu secara dangkal, sebatas paham yang dapat mendorong aksi G30S terulang.     
Mengenai hal ini, menarik untuk menutup tulisan ini dengan ungkapan Dhakidae mengenai sejarah. Katanya, “sejarah bukan masa lalu akan tetapi juga masa depan dengan menggenggam kuat kekinian sambil memproyeksikan dirinya ke masa lalu. Warisan tentu saja menjadi penting terutama warisan yang menentukan relevansi kekinian. Apa yang dibuat di sini adalah melepaskan penjajahan masa kini terhadap masa lalu dengan memeriksa kembali masa lalu itu dan dengan demikian membuka suatu kemungkinan menghadirkan masa lalu dan masa depan dalam kekinian.”     

Demonstrasi Sebagai Upaya Komunikasi


Oleh: Damar Fery Ardiyan

Berlari dalam seratus hari tentu bukan usaha yang gampang, apalagi mesti menuntaskan agenda pemerintahan yang digodok pada salah satu rumah di jalan Jambu, Menteng, Jakarta Pusat itu. Seperti yang ditulis salah satu majalah berita Mingguan, ada 45 program pokok dan 129 rencana aksi yang diadopsi oleh SBY sebagai kunci keberhasilan kabinet Indonesia Bersatu II pada penghujung kepemimpinannya. Tetapi, belum usai seratus hari berlalu (versi pemerintah) telah banyak aksi jalanan yang bersuara lantang bahwa kepemimpinan SBY telah gagal dalam seratus hari ini ini.
            Program seratus hari boleh jadi menjadi pesan atau isyarat mengenai sepak terjang pemerintah kepada rakyatnya. Walaupun seratus hari bukan waktu yang cukup untuk menuntaskan semua permasalah yang ada di negeri kita ini. Tetapi setidaknya memberikan gambaran kecil kepada rakyat untuk memberi pertimbangan atau mengukuhkan kepercayaan kepada pemerintah. Dan pada penghujung seratus hari kinerja SBY - Boediono, ternyata tidak sedikit orang yang kecewa terhadap kinerja mereka. Oleh karenanya, kekecewaan ini mendorong mereka untuk meneriakan tuntutan dari atas mimbar rakyat, yakni jalanan.
            Mungkin, bagi demonstran jalanan menjadi sarana efektif untuk menyampaikan pesan kepada pemerintah, maupun khalayak yang lebih luas. Karena selain dapat “memaksa” untuk melahirkan proses komunikasi antara demonstran dan pemerintah, aksi mereka pun dapat ditangkap oleh media untuk kemudian pesan mereka disebarkan secara lebih luas. Dengan begitu, akan semakin terbuka bagi penggiringan opini yang dapat menggerakan masyarakat secara sadar untuk mendukung maupun menolak. Oleh karena itu, pergerakan rakyat melalui jalanan dapat dimaknai sebagai upaya komunikasi rakyat kepada pemerintahnya.
            Tetapi terkadang, proses komunikasi ini terhambat. Karena pihak pemerintah seperti memberikan kesan negatif terhadap para demonstran. Sehingga memunculkan pernyataan seperti lakukan demonstrasi dengan aman – tertib, pemerintah menghimbau bahwa mengkomunikasikan pesan tidak melulu melalui demonstrasi massal yang dalam persepsi pemerintah akan mudah terprovokasi. Memang benar seperti itu, tetapi terkadang mengkomunikasikan pesan dalam perwakilan dirasa kurang efektif dan tidak mewakili. Oleh karenanya mereka lakukan dijalanan.
Hambatan Bagi Pesan Jalanan
Stereotip seperti ini mungkin “wajar,” karena penguasa selalu ingin mempertahankan hegemoninya baik dengan cara persuasif maupun juga represif. Keamanan dalam negeri menjadi tolok ukur yang juga penting untuk selalu dijaga, karena keamanan lah sebuah kepercayaan akan terbangun. Apalagi, jika Negara telah terkoneksi dengan Negara lain.
Oleh karena itu, pemerintah dalam ucapan yang santun selalu mengingatkan demonstran untuk menyuarakan pendapat dengan tertib, etis, berbudaya, bernilai dan tidak mudah terprovokasi. Walaupun terlihat seperti himbauan yang wajar, tetapi pernyataan seperti ini dapat dimaknai sebagai suatu ketakutan pemerintah atas tekanan dari luar yang tidak dapat dikendalikan. Maka, selalu saja kita lihat pada berita televisi maupun foto jurnalistik dimana jika ada demonstrasi selalu saja ada polisi maupun tentara yang berjaga-jaga sebagai implementasi dari ketakutan tersebut.
Mengapa? Secara sederhana kita akan menjawab bahwa tugas mereka memang menjaga keamanan. Tetapi, pertanyaan selanjutnya adalah: keamanan bagi siapa? keamanan bagi masyarakat yang menuntut ataukah penguasa yang dituntut. Atas pertanyaan ini kita dapat melihat dari pesan-pesan yang lahir secara tersirat maupun tersurat dari proses demonstrasi. Misalnya, ada ratusan mahasiswa yang berdemo di depan istana Negara dan ingin berusaha masuk ke dalam istana dengan maksud untuk mengkomunikasikan pesan secara langsung kepada presiden. Tetapi niatan mereka ini terhalang karena ada barisan polisi berseragam lengkap dengan tameng dan pentungan. Mahasiswa yang merasa niatnya terhalangi, dengan serentak memaksa untuk masuk dan seketika terjadi bentrokan fisik antara mahasiswa dan aparat. Atau contoh yang lebih sederhana adalah ketika aparat diposisikan selalu menghadap para demonstran dan membelakangi simbol dari kekuasaan Negara, yakni Istana Negara.
Dari ilustrasi tersebut, kita dapat mengambil pemaknaan bahwa hadirnya aparat memang untuk menjaga keamanan versi pemerintah. Aparat tidak hadir untuk masyarakat yang merasa tidak aman mengenai kualitas hidupnya. Aparat tidak hadir untuk masyarakat yang dirugikan oleh sebuah kebijakan penguasa. Aparat hadir untuk berhadapan dengan simpul massa yang bergejolak. Jika aparat berpihak pada rakyat, tentu saja aparat akan memposisikan diri membelakangi demonstran, apalagi jika mereka tahu bahwa kebijakan pemerintah merugikan rakyat kebanyakan, juga mungkin dirinya sendiri.
Melalui alasan ini lah, saya rasa bentrokan akan selalu terjadi. Karena ada stereotip yang seolah mengkonotasikan bahwa demonstrasi adalah revolusi. Maka, demonstrasi akan berjalan ricuh karena ada pertentangan antar kekuatan. Padahal, mereka hanya ingin berkomunikasi dengan pemimpin yang mereka pilih sebagai warga. Sebagai warga yang merasa bertanggungjawab atas semua yang dilakukan pemerintah, karena atas sebagaian besar pilihan warga lah penguasa tercipta. Oleh karenanya, warga pun punya hak untuk mencabut kepercayaan yang diberikan dalam pemilu, jika memang kebijakan pemerintah yang ia pilih tidak memberikan kualitas hidup yang diharapkan. Itulah konsekuensi jika penguasa tertinggi adalah rakyat. Jika pemerintah takut untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah ia lakukan, maka tidak lah perlu berani mencalonkan dan menerima mandat rakyat untuk memimpin bangsa ini.   
Untuk itu, pemerintah berkenanlah untuk membuka keran bagi proses komunikatif seluas-luasnya karena dengan begitu akan tercipta sebuah konsensus. Tekanlah sekecil-kecilnya sesuatu yang dapat menghambat proses komunikasi dan yang dapat menyulut bentrokan, seperti kata-kata abstrak: moral, etis, budaya, peradaban yang baik, juga mengenai penempatan aparatus represif (polisi dan tentara).
Maka, berilah tempat tertinggi jika masyarakat berunjuk rasa dan meminta untuk berbicara langsung kepada pemerintah. Hanya saja, masyarakat perlu tertib dan mengorganisir diri dengan baik. Seperti mempersiapkan perwakilan untuk dapat menyampaikan tuntutannya kepada pemerintah. Dengan kata lain, demonstrasi massal adalah kekuatan penekan atau pengantar perwakilan untuk menyuarakan pendapat kepada pemerintah yang terkadang tidak mau mendengar jika hanya melalui perorangan.
Jika pesan sudah disampaikan, maka kita hanya perlu menunggu sambil mempelajari watak kekuasaannya dan selalu memantau gerak-gerik pemerintah. Jika belum juga terealisasikan, maka tuntutlah kembali dengan gelombang lebih besar. Hantarkanlah pesan melalui demonstrasi jalanan, karena cara seperti itu terkadang membuat pesan lebih cepat sampai menembus telinga penguasa. Dan terakhir, lakukan itu dengan alasan yang dimengerti secara pribadi. Karena pada hakikatnya kita selalu mempunyai alasan untuk melakukan komunikasi dan alasan inilah yang menggerakan manusia untuk berbuat sesuatu bagi dirinya, maupun bagi orang lain. Karena dasar atau niat mulia ini lah masyarakat mengerakan langkah untuk menuntut pemerintah dari balik pagar istana dan barisan polisi maupun tentara.