Oleh: Damar Fery Ardiyan
Sistem pendidikan memikul beban yang sangat berat bagi terciptanya manusia Indonesia yang mampu belajar seumur hidup. Bukan hanya belajar, tetapi menerapkan ilmunya itu untuk penerang bangsa ini, agar dapat mengisi ketiadaan dalam persaingan dunia di kemudian hari. Oleh karenanya, akhir-akhir ini cukup santer diberitakan media cetak mengenai penghapusan UN untuk tidak lagi menjadi alat ukur bagi kelulusan siswa dan Mahkamah Agung telah merespon dengan memberi setidaknya lima putusan, yakni: (1) mengabulkan gangguan subsider dari para penggugat yakni memberi keadilan seadil-adilnya, (2) pemerintah telah lalai memenuhi hak warga dalam pendidikan, (3) meningkatkan kualitas guru, (4) pemerintah meninjau kembali sistem pendidikan, serta (5) mengambil langkah konkret mengatasi gangguan psikologi.
Di luar putusan tersebut, tentu saja saya mendudukung agar UN tidak lagi dijadikan patokan bagi kelulusan. Karena kecenderungannya hanya sebagai alat evaluasi akhir tuntutan modernitas, yang menilai sesuatu itu dari efisiensi dan efektifitas, karena mudah untuk mengklasifikasikan siswa pintar, dan kurang pintar. Dan seiring dengan putusan MA, saya masih yakin bahwa sistem pendidikan bangsa ini dengan guru di dalamnya akan menemukan titik sempurnanya. Hanya saja diperlukan kesadaran untuk bergerak aktif dan kreatif, khususnya untuk point 2, 3 dan 4 dari putusan MA, sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang. Dalam pemikiran Paulo Friere, aktif di sini berpengertian sebagai penolakan atas “kesadaran palsu” atau penumpulan kesadaran kritis yang disebabkan oleh hubungan-hubungan antara manusia, struktur masyarakat, lembaga dan ideologi yang digalakan oleh kelas dominan (Pendidikan Alat Perlawanan, Siti Murtiningsih).
Oleh karenanya, sistem pendidikan di negara kita pun mesti terbuka untuk memberikan kesadaran kelas. Saya rasa guru yang tak lain berperan sebagai subjek untuk memberikan didikan, mesti paham betul mengenai hal ini. Sehingga pelajaran tidak lantas diberikan begitu saja, tetapi ada proses seleksi dan mengedepankan ilmu-ilmu yang berorientasi untuk perjuangan kelas, bukan ilmu-ilmu yang memberikan pengukuhan bagi kelas dominan. Guru pun mesti memberi penyadaran kepada peserta didiknya, kalau saat ini kita hanyalah makhluk yang terdominasi, kelompok subordinat yang tidak lepas dari hegemoni kekuasaan yang ada.
Oleh karena itu Friere mengatakan, dunia pendidikan itu sebagai alat perlawanan! Karena hakikatnya adalah untuk membebaskan manusia. Maka, pendidikan harus mengambil posisi kritis terhadap tatanan sosial yang tak berkeadilan. Pendidikan adalah sistem yang dapat menguji dan mengintegrasikan semua nilai dalam kehidupan manusia serta membinanya ke dalam kepribadian peserta didik. Sehingga peserta didik dipupuk tumbuh kesadarannya, supaya kemudian dapat bersikap kritis terhadap realitas yang dihadapinya.
Karena alasan inilah, peran guru begitu besar untuk mendidik manusia yang tidak sekedar cerdas, tetapi peka, juga kritis terhadap realitasnya masing-masing. Guru pun jangan terjebak dengan kata profesionalisme, yang menurut saya tak lain sebagai alasan bagi terciptanya sekat-sekat pembatas bagi guru untuk tidak melakukan hal yang lebih besar di luar sertifikasi. Guru seolah terjebak oleh kategori-kategori, yang sebetulnya membatasi guru untuk melakukan sesuatu yang lebih. Dengan begitu, guru bisa lebih bebas untuk menuangkan ide-idenya bagi realitas di luar kelas dan untuk mengajar juga diajar dalam ruang kelas.
Sebagai sebuah pendidikan yang berkemanusiaan dan memerdekakan, pendidikan kelompok subordinat mempunyai dua pembedaan tingkatan. Pertama, kaum suborinat membuka selubung dunia yang menindas dan mereka sampai pada komitmen praksis untuk transformasi yang mengubah. Kedua, pendidikan ini tidak hanya dimiliki oleh kelompok subordinat, namun menjadi proses pendidikan bagi semua orang dalam perjuangan mewujudkan kemerdekaan secara permanen. Dan kemerdekaan ini bisa di lihat baik dari kacamata ekonomi, maupun kacamata hubungan sosial yang lebih luas.
Konsientisasi
Lebih lanjut, metode pendidikan yang bersifat aktif dan secara terus menerus mereflesikan apa yang terjadi dalam dunia nyata ini disebut sebagai “konsientisasi.” Oleh Friere konsientisasi ini di definisikan sebagai proses dimana manusia mendapatkan kesadaran yang terus semakin mendalam mengenai realitas kultural yang melingkupi hidupnya dan akan kemampuannya untuk mengubah realitas itu.
Proses konsientisasi ini terjadi dengan membuka realitas yang mengungkung manusia dalam keterasingannya, sehingga dapat mencerminakan kebangkitan bagi kesadaran. Pada tahap kesadaran inilah, manusia mampu melontarkan kritik terhadap realitasnya sendiri dan melakukan perjuangan terhadapnya. Dengan begitu pembebasan yang dialami ini adalah pembebasan dari kesadaran naif menuju kesadaran kritis. Dengan merombak realitas statis tempat manusia hanya beradaptasi, kemudian dikembalikan pada proposisi yang seharusnya, yaitu realitas yang selalu dinamis, tempat manusia mengintegrasikan dirinya.
Sederhananya, konsientisasi adalah proses dialektika antara aksi dan refleksi, juga sekaligus metode aksi untuk melibatkan diri dalam sistem pendidikan yang membebaskan, karena memuat harapan yang konkret dan terorganisir. Ketika manusia masuk dalam proses konsientisasi, ia tidak saja dituntut untuk mempersoalkan keterlibatan sosialnya. Tetapi juga perihal eksistensinya, bahkan tata sosial yang semula didukung dan dibentuknya sendiri. Inilah kiranya yang merupakan taruhan paling besar yang harus diterima jikalau seseorang menginginkan pembebasan.
Mengapa? Karena kelompok dominan mustahil memberikan pembebasan. Apalagi, karena mereka punya kuasa dan selalu menyiapkan pembenaran-pembenaran atas realitas yang terjadi. Maka, yang mampu mengatasi penindasan adalah kelompok subordinat sendiri, dengan menjadi subjek-subjek yang bereksistensi bagi dirinya sendiri. Oleh karenanya, pendidikan lah yang dapat merangsang kesadaran ini dapat terwujud, baik bagi perserta didik maupun pendidiknya sendiri (guru). Tetapi pendidikan tersebut mesti menerapkan unsur dialogis antara peserta didik dan pendidik, juga keduanya diusahakan untuk menjadi subjek juga objek sekaligus, dalam kegiatan belajar yang menerapkan model hadap masalah dan sama sekali menghapus sitem bank dalam pendidikan di negeri yang sama-sama kita cintai ini. Karena pengetahuan menurut pendidikan gaya bank ialah hasil penerimaan pasif oleh peserta didik. Sedangkan berdasarkan sistem pendidikan hadap masalah, pengetahuan adalah kegiatan aktif peserta didik dalam memandang realitas diri dan lingkungannya.
Orientasi Pendidikan
Karena itu lah, orientasi pendidikan pun tidak terhenti pada suatu usaha mewujudkan peserta didik yang cedas dalam ilmu yang ia pilih, juga unggul hanya dalam komunitas keilmuannya saja. Tetapi, basis keilmuaannya mesti mencakupi masyarakat di luar bidang keilmuanya. Sehingga bisa mendorong gerakan massa untuk bersama-sama melakukan perubahan atas hegemoni kekuasaan.
Seorang guru atau guru besar katakanlah, bukan hanya milik sekolah atau kampus dan tidak hanya bekerja di dalam sekolah. Laboratorium guru, adalah di luar sekolahnya. Karena dengan pengetahuan yang ia dapat di luar sekolah, seorang guru dapat memberi pengetahuan, analisa, bahkan penyadaran atas kondisi masyarakat kepada peserta didik dan kemudian mendorong peserta didik agar melakukan perubahan.
Dalam konsepsi Friere, ada dua titik orientasi yang dinamakan sebagai child-centered dan community-centered. Child-centered adalah dasar kurikulum karena azas pendidikan untuk membimbing watak dan perkembangan kepribadian peserta didik. Kurikulum dirancang dengan maksud agar pendidikan berjalan efektif dalam mengembangkan kepribadian peserta didik yang total. Kurikulum mesti mencakup unsur-unsur yang menumbuhkan prakasa, emosi, improvisasi dan kreativitas, ekspresif, sikap sosial dan sikap kritis. Sedangkan, community-centered adalah dasar kurikulum kerena azas pendidian menumbuhkan kesadaran peserta didik akan realitas diri dan lingkungan sosialnya.
Dengan begitu, kurikulum pun merupakan muatan pengajaran yang mampu menumbuhkan kesadaran kritis. Artinya, kurikulum yang dapat mendorong berkembangnya pola pikir dan kemampuan refleksi peserta didik atas realitas. Baik sekolah, maupun universitas, bukan berfungsi untuk membentuk peserta didik yang hanya mampu menyesuaikan diri dengan pola dalam dunia kerja. Tetapi juga mampu mengubah pola relasi peserta didik dengan alam dan semua kelas sosial tertentu. Apalagi, untuk mengubah relasi terhadap kelas-kelas tertentu yang hanya mengisap keuntungan dari keringat mantan peserta didik untuk kebesarannya sendiri.