Total Tayangan Halaman

Jumat, 29 April 2011

Sedikit Catatan: Hegemoni


Oleh: Damar Fery Ardiyan

Sebagaimana yang ditunjukan oleh Perry Anderson, istilah “hegemoni” pertama kali dipakai oleh Plekhanov dan pengikut Marxis Rusia lainnya pada tahun 1880-an, untuk menunjukan perlunya kelas pekerja untuk membangun aliansi dengan petani dengan tujuan meruntuhkan gerakan Tsarisme. Kelas pekerja harus mengembangkan kekuatan nasional, berjuang untuk membebaskan semua kelas atau kelompok yang tertindas. Konsep ini kemudian dikembangkan oleh Lenin. Lenin menegaskan bahwa, ketika menjalin aliansi dengan para petani, kelas buruh Rusia harus bertindak sebagai kekuatan utama (hegemonik) dalam revolusi demokratis-borjuis untuk menggulingkan kekuasaan Tsar. Dengan cara ini, kelas buruh yang pada masa itu masih merupakan kelompok minoritas, mampu memperoleh dukungan dari mayoritas penduduk (Simon, 1999).
            Gramsci yang berasal dari Partai Komunis Italia, mengungkapkan titik awal konsepnya tentang hegemoni sebagai suatu cara menjalankan kekuasaan suatu kelas atas kelas-kelas di bawahnya. Hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunkan kepemimpinan politik dan ideologis. Pada beberapa paragraf dalam karyanya, Prison Notebooks, Gramsci menggunakan kata “direzione” (kepemimpinan, pengarahan) secara bergantian dengan “egemonia” (hegemoni) dan berlawanan dengan “dominazione” (dominasi). Penggunaan kata hegemoni dalam pengertian Gramsci harus dibedakan dari makna asalnya dalam bahasa Yunani, yaitu penguasaan satu bangsa terhadap bangsa lain (Fauzan, 2003: 8). Lebih jauh lagi Gramsci mengatakan:

Hegemoni bukanlah suatu hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Hegemoni adalah suatu organisasi konsesus (Gramsci dalam Simon, 1999).
           
Walaupun demikian, Gramsci tetap melihat bahwa negara melakukan penindasan serta represi terhadap rakyat. Hanya saja menurutnya, penindasan itu tidak melulu berbentuk penindasan dan represi fisik atau hanya penguasaan ekonomi. Negara menggunakan juga pendekatan-pendekatan persuasif melalui berbagai media dan aspek kehidupan rakyat. Negara berusaha menguasai rakyat lewat berbagai bidang mencakup seni, ilmu pengetahuan dan elemen-elemen budaya lainnya. Usaha-usaha ini tampil dalam segala sendi kehidupan lewat kegiatan-kegiatan propaganda, indoktrinasi, iklan-iklan dan institusi pendidikan. Negara berusaha masuk ke dalam individu sampai kepada pola pikiran dan nilai-nilai masing-masing individu untuk menancapkan dominasinya. Konsep hegemoni dalam pengertian Gramsci merujuk pada suatu ideologi yang sudah sedemikian doniman dan menyebar dalam suatu masyarakat (Takwin, 2009: 72).

“...sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataaan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh citarasa, kebiasaan mora, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral,” (Gramsci dalam Flick yang dikutip dari Takwin, 2009: 73).

Melalui hegemoni, negara memaksakan ideologinya kepada rakyat melalui kekuatan persuasif (media massa, pendidikan dan agama yang secara sengaja dikuasai negara). Negara merekayasa kesadaran rakyat sehingga, tanpa disadari, kesadaran itu mendukung kekuasaan negara. Pelibatan para intelektual dalam birokrasi pemerintah serta intervensi melalui lembaga-lembaga pendidikan dan seni oleh negara adalah bentuk-bentuk upaya untuk melakukan hegemoni terhadap rakyat. Dengan konsep hegemoni, kita dapat melihat Gramsci menolak bahwa yang semena-mena (arbitrer) dan psikologis. Ideologi disebarkan oleh pihak penguasa untuk terus menguasai pihak yang ditindas.
Menurut Gramsci, untuk menghilangkan pengaruh hegemoni harus dilakukan ‘counterhegemony’ yaitu penyebaran yang melingkupi aspek sosial, budaya, politik, ekonomi serta menyentuh aspek kognitif tentang ketertindasan yang disebabkan oleh hegemoni. Counterhegemony harus disertai dengan kampanye politik dan program-program pengembalian kesadaran kaum tertindas. Pengembalian kesadaran ini yang akan dapat menghilangkan efek hegemoni (Takwin, 2009: 74).
Bagi Lenin, hegemoni merupakan strategi untuk revolusi, suatu strategi yang harus dijalankan oleh kelas pekerja dan anggota-anggotanya untuk memeroleh dukungan mayoritas. Gramsci menambahkan dimensi baru pada masalah ini dengan memperluas pengertiannya, sehingga hegemoni juga mencakup peran kelas kapitalis beserta anggotanya, baik dalam merebut kekuasaan negara maupun dalam mempertahankan kekuasaan yang sudah diperoleh. Catatan pertama mengenai sejarah Italia yang ditulis pada bab pertama dari 29 bab Prison Notebooks, diberi judul “kepemimpinan politik kelas sebelum dan sesudah meraih kekuasaan pemerintah.” Gramsci membedakan antara dominasi (kekerasan) dengan kepemimpinan moral dan intelektual:

Suatu kelompok sosial bisa, bahkan harus menjalankan kepemimpinan sebelum merebut kekuasaan pemerintahan (hal ini jelas merupakan salah satu syarat utama untuk memperoleh kekuasaan tersebut); kesiapan itu pada gilirannya menjadi sangat penting ketika kelompok itu menjalankan kekuasaannya, bahkan seandainya kekuasaan tetap berada ditangan kelompok lain, maka mereka harus tetap “memimpin” (Gramsci dalam Simon, 1999).
           
Dengan demikian, Gramsci melakukan perubhan makna atas hegemoni.perubahan itu ia lakukan dari strategi, sebagaimana dinyatakan oleh Lenin, menjadi sebuah konsep. Seperti halnya konsep-konsep Marxis tentang kekuatan dan hubungan produksi, kelas, dan negara, konsep hegemoni yang ditawarkan Gramsci itu menjadi sarana untuk memahami masyarakat dengan tujuan untuk mengubahkanya. Ia mengembangkan gagasan tentang kepemimpinan dan pelaksanaannya sebagai syarat untuk memeroleh kekuasaan negara menjadi konsep tentang hegemoni. Hegemoni merupakan hubungan antarkelas dengan kekuatan sosial lain. Kelas hegemonik atau kelompok kelas hegemonik adalah keals yang mendapatkan persetujuan dari kekuatan-kekuatan dan kelas sosial lain dengan cara menciptakan dan mempertahankan sistem aliansi melalui perjuangan politik dan ideologis. Konsep ideologi dibangun dengan memasukan beberapa konsep lain yang berkaitan dengannya (Fauzan, 2003: 9) 


Hubungan Kekuatan; Ekonomi-Korporasi
            Gagagasan tentang pembangunan sistem aliansi merupakan tema sentral dari konsep hegemoni. Dalam “Beberapa Aspek Persoalan Selatan,” yaitu catatan-catatan yang ia tulis ketika ia dipenjara, Gramsci menulis: “...memobilisasi mayoritas penduduk untuk melawan kapitalisme dan kaum bojuis,” (dalam Simon, 1999).
            Kelas pekerja hanya bisa menjadi kelas hegemonik dengan memperhatikan berbagai kepentingan dari kelas dan kekuatan sosial yang lain serta menemukan cara untuk mempertemukannya dengan kepentingan mereka sendiri. Kepentingan ini tidak boleh sebatas pada perjuangan lokal atau apa yang disebut Gramsci perjuangan ekonomi-korporasi (economic-corporate struggle). Mereka pun harus siap membuat berbagai konsensus, agar bisa mewakili semua kelompok kekuatan yang besar. Jadi hubungan antara dua kelas utama, yaitu pemodal dan buruh, bukanlah hubungan pertentangan yang sederhana antara dua kelas, melainkan hubungan yang kompleks yang melibatkan kelas-kelas dan kekuatan-kekuatan sosial lainnya. Masing-masing pihak berusaha keras memperkuat aliansinya sendiri, memecah belah aliansi kelompok lain dan mengubah perimbangan kekuatan demi kepentingan kelompoknya (Fauzan, 2003: 9-10).
            Suatu kelas tidak bisa meraih kepemimpinan nasional dan menjadi hegemonik, jika kelas itu hanya mambatasi pada kepentingan mereka sendiri. Mereka harus memperhatikan tuntutan dan perjuangan rakyat yang tidak mempunyai karakter kelas yang bersifat murni, yakni yang tidak muncul secara langsung dari hubungan-hubungan produksi. Misalnya adalah perjuangan-perjuangan radikal rakyat bagi kebebasan sipil, gerakan-gerakan pembebasan nasional, gerakan perempuan, gerakan perdamaian dan berbagai gerakan yang mengungkapkan tuntutan dari minoritas etnik, dari kaum muda atau pelajar. Gerakan-gerakan itu mempunyai sifatnya sendiri dan tidak dapat dipahami semata-mata sebagai perjuangan kelas sekalipun berkaitan dengannya. Jadi, hegemoni mempunyai dimensi nasional-kerakyatan, disamping dimensi kelas. Hegemoni memerlukan penyatuan berbagai kekuatan kelas sosial yang berbeda ke dalam sebuah aliansi yang luas yang mengungkapkan kehendak kolektif semua rakyat.

Revolusi Pasif, Revolusi Intelektual, dan Moral
            Dalam menganalisis perang posisi yang berlangsung antara dua kelas utama untuk berupaya meraih hegemoni, Gramsci melakukan pembedaan tegas antara strategi yang diterapkan kelas kapitalis dengan strategi yang diterapkan kelas pekerja. Strategi kaum borjuis mempunyai sifat khusus yang dinamakan revolusi pasif (passive revolution). Ia mengembangkan konsep ini dari analisisnya terhadap risorgimento, suatu proyek penyatuan nasional Italia (termasuk pengusiran warga Austria) dan bangkitnya kekuasaan kaum kapitalis Italia Utara pada saat bersamaan. Proyek penyatuan nasional itu berhasil diwujudkan terutama melalui agen negara, tentara dan kerajaan Piedmond, bukan dengan memobilisasi mayoritas penduduk atau mendukung tuntutan pembaruan agraria kaum tani. Jadi, risorgimento merupakan ‘revolusi dari atas’ ditimbulkan melalui agen negara Piedmond (Fauzan, 2003: 10-11).
            Gramsci menekankan bahwa revolusi pasif merupakan respon khas kaum borjuis ketika muncul ancaman serius terhadap hegemoninya, sehingga perlu dilakukan proses pengorganisasian kembali secara menyeluruh dalam rangka membangun kembali hegemoninya. Revolusi pasif terjadi manakala berbagai perubahan yang berskala luas dalam struktur sosial dan ekonomi berasal dari atas, melalui agen negara, tanpa melibatkan partisipasi rakyat.
            Berlawanan dengan tindakan yang dilakukan oleh kaum kapitalis, tugas menciptakan hegemoni baru hanya dapat dilakukan dengan mengubah kesadaran, pola berpikir dan pemahaman masyarakat, ‘konsepsi mereka tentang dunia,’ serta norma perilaku moral mereka. Gramsci membandingkan perubahan ini dengan perubahan menyeluruh terhadap kesadaran rakyat yang ditimbulkan oleh Reformasi Protestan pada abad ke-16 dan Revolusi Perancis.
            Gramsci memakai istilah nalar awam (common sense) untuk menunjukan cara berpikir awam yang tidak kritis dan tidak sadar dalam memahami dunia. Pemikiran awam tidak harus dilihat dalam pengertian yang engatif semata-mata; ia juga mempunyai unsur positif, dan aktivitkritik nalar awam, dan melalui proses interaksi – mengembangkan inti positifnya menjadi nalar sosialis baru dan runtut (coherent) (Fauzan, 2003: 11-1as praktis mereka, perlawanan mereka terhadap penindasan, mungkin sering berlawanan dengan gagasan sadar mereka. Pemikiran awam menjadi lokasi terbentuknya ideologi sekaligus tempat perlawanan terhadap ideologi itu. Tugas Marxisme adalah melakukan 2). Disamping itu , ia menekankan bahwa ‘ini bukan masalah bagaimana mengintroduksi bentuk pemikiran ilmiah ke dalam kehidupan setiap orang yang dimulai dari awal, namun merupkan upaya memperbaiki dan mengkritisi aktivitas yang telah ada.’


Hubungan Kekuasaan dan Mempertahankan Hegemoni
            Hubungan antara dua kelas utama, kapitalis dan kelas pekerja, bukan merupakan hubungan oposisi yang sederhana antara dua kelas. Sebaliknya, hubungan tersebut merupakan anyaman dari beberapa hubungan yang rumit dan melibatkan berbagai kelas, kelompok, dan kekuatan sosial lain. Mengenai hubungan kekuasaan, Gramsci menyatakan bahwa tingkat perkembangan suatu kekuatan materil produksi menjadi dasar bagi munculnya berbagai kelas sosial, yang masing-masing mempunyai kedudukan khusus dalam produksi.
            Mengenai perjuangan politik, Gramsci mengungkapkan:

Benar bahwa negara dilihat sebagai organ dari suatu kelompok tertentu, dengan tujuan untuk menciptakan kondisi-kondisi yang menguntungkan bagi kelompok tersebut untuk berkembang secara maksimum. Namun, pengembangan dan perluasan kelompok tertentu itu dipahami dan ditampilkan sebagai kekuatan penggerak bagi upaya perluasan yang menyeluruh, pengembangan semua kekuatan ‘bangsa.’ Dengan kata lain, kelompok yang dominan menyelaraskan secara nyata kepentingan umum kelompok yang lebih rendah dan kehidupan negara dipahami sebagai proses terus-menerus akan pembentukan dan penggantian keseimbangan yang labil (dalam bidang yuridis) antara kepentingan kelompok yang kuat dengan kelompok yang dominan tetap berlaku, namun hanya sampai waktu tertentu, yaitu ketika kepentingan ekonomi korporasi yang sempit berakhir (Gramsci dalam Simon, 1999).

            Jadi, meskipun kelas hegemoni berkuasa dalam negara, ia tidak memperalat negara semata-mata bagi alat untuk memaksakan kepentingannya pada kelompok kelas lainnya. Sebaliknya, kehidupan negara dipandang sebagai suatu “proses pembentukan dan penggantian keseimbangan yang labil yang dilakukan terus-menerus.” Dengan demikian, negara dipahami sebagai sebagai hubungan yang kompleks dari berbagai kekuatan yang terjadi antara kelas yang kuat dengan kelas dan kekuatan sosial lainnya (Fauzan, 2003:12).
            Ketika suatu kelompok sosial telah menjadi dominan dan mempertahankan dengan gigih kekuasaan yang ada dalam genggamannya, mereka tetap harus terus ‘memimpin.’ Hegemoni tidak pernah dapat diperoleh begitu saja, tetapi harus diperjuangkan terus-menerus. Hal ini menuntut kegigihan untuk mempertahankan dan memperkuat otoritas sosial, dari kelas yang berkuasa dalam semua kelompok masyarakat sipil dan pembuatan kompromi-kompromi yang diperlukan untuk menyesuaikan sistem aliansi yang ada, dengan kondisi yang senantiasa berubah serta aktivitas kekuatan oposisi.
            Proses ini dapat dilihat secara jelas pada periode ketika hegemoni dari kekuatan politik yang memerintah sedang terancam dan mengalami perpecahan. Kemungkinan muncul suatu periode ketidakstabilan dan transisi yang sangat panjang, sehingga sistem aliansi yang menjadi dasar hegemoni dari kelompok yang berkuasa harus melakukan perubahan-perubahan yang berskala luas, dalam suatu proses restrukturisasi jika hegemoni itu hendak dipertahankan. Gramsci menegaskan pentinganya pembedaan antara perubahan-perubahan organik yang relatif permanen dengan perubahan yang bersifat sementara, langsung dan kebetulan:

Kadang-kadang krisis terjadi selama beberapa puluh tahun. Jangka waktu yang sangat panjang ini menunjukan bahwa kontradiksi struktural yang tak bisa didamaikan telah menunjukan mereka (mencapai kematangan) dan bahwa, terlepas dari itu, kekuatan-kekuatan politik yang sedang berjuang untuk melestarikan dan melindungi struktur yang ada berusaha sekuat tenaga untuk menyembuhkannya dan, dalam batas tertentu, menyelesaikan kontradiksi-kontradiksi itu... Membentuk jalur ‘penghubunung’ dan di atas jalur inilah kekuatan-kekuatan oposisi diorganisir (Gramsci dalam Simon, 1999).


            Istilah penghubung (conjuncture) ini digunakan secara lebih luas di benua Eropa daripada di Inggris. Istilah ini digunakan Lenin untuk menyebut ‘situasi masa kini’ atau keseimbangan antara kekuatan politik yang ada pada masa kii yang menajdi sasaran praktik taktik politik. Apa yang ingin ditekankan oleh Gramsci adalah bahwa situasi sekarang harus dipahami bukan hanya dari segi persoalan ekonomi dan politik jangka pendek, melainkan juga dalam pengertian “usaha-usaha yang gigih dan tak kenal lelah” yang dilakukan untuk mempertahankan dan melestarikan sistem yang ada (Fauzan, 2003: 13-14).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar