Total Tayangan Halaman

Jumat, 29 April 2011

Demokrasi Deliberatif


Oleh: Damar Fery Ardiyan
Istilah “deliberasi” berasal dari kata Latin deliberatio yang lalu di dalam bahasa Inggris menjadi deliberation. Istilah ini berarti “konsultasi,” “menimbang-imbang” atau – kita telah memiliki kosa kata politis ini – “musyawarah.” Semua arti leksikal ini harus ditempatkan dalam konteks “publik” atau “kebersamaan secara politis” untuk memberi pengertian yang penuh sebagai sebuah konsep dalam teori diskursus (Hardiman, 2009: 128).
            Sebagai sebuah konsep dalam teori diskursus, istilah demokrasi deliberative sudah tersirat dalam diskursus praktis, formasi opini dan aspirasi politis, proseduralisme atau kedaulatan rakyat sebagai prosedur. Demokrasi deliberative akan mengarahkan kita pada proses legitimasi, karena demokrasi deliberative tidak memusatkan pada penyusunan daftar aturan-aturan tertentu yang menunjukan apa yang harus dilakukan oleh warga, melainkan menunjukan pada prosedur untuk menghasilkan sebuah aturan.
            Dengan kata lain, model demokrasi deliberatif meminati persolan kesahihan dari keputusan-keputusan kolektif. Menurut Hardiman (2009), model ini dapat secara memadai menjelaskan arti kontrol demokratis melalui opini publik. Opini-opini publik bisa jadi merupakan opini-opini mayoritas yang mengklaim legitimitas mereka. Opini-opini itu juga dapat memiliki suatu bentuk logis dan koheren yang dianggap sahih secara universal dan rasional. Akan tetapi opini-opini mayoritas tidak niscaya identik dengan opini-opini yang benar. Bagi model demokrasi deliberatif adalah jauh lebih penting memastikan dengan cara manakah opini-opini mayoritas itu terbentuk sedemikian rupa sehingga seluruh warga dapat mematuhi opini-opini itu. Dengan begitu, demokrasi deliberatif mengacu pada prosedur formasi opini dan aspirasi secara demokratis.
            Model ini sama sekali tidak memberitahu bagaimana kita dapat menghasilkan alasan-alasan yang bagus, melainkan hanya mengatakan bahwa alasan-alasan yang bagus untuk sebuah keputusan politis haruslah diuji secara publik sedemikian rupa sehingga alasan-alasan tersebut diterima secara intersubjektif oleh semua warga Negara dan tidak menutup diri dari kritik dan revisi-revisi yang diperlukan.
            Rasionalitas hasil deliberasi politis ini, seperti yang dikatakan Habermas, berdasarkan “pada arti normative prosedur demokratis yang seharusnya menjamin bahwa semua persoalan yang relevan bagi masyarakat dijadikan tema.” Di dalam demokrasi deliberatif semua tipe diskursus praktis beroperasi di dalam formasi opini dan aspirasi secara demokratis untuk secara publik menguji alasan-alasan bagi peraturan politis yang diusulkan itu (Hardiman, 2009: 129). Pengujian secara publik ini, praktis menyiratkan bahwa segala putusan-putusan publik berlandaskan pada keputusan bersama atau atas perjuangan warga untuk mencapai saling pengertian ini secara intersubjektif atau sifat rasional yang dicapai tidak semata-mata oleh seorang subjek tunggal dan bukan juga atas paksaan, karena Habermas mengandaikan bahwa:

Sebuah persetujuan kehilangan cirinya sebagai keyakinan bersama, begitu pihak-pihak yang mencapai persetujuan tersebut mengetahui bahwa persetujuan itu dihasilkan dari pemaksaan kehendak yang berasal dari luar proses itu (dikutip dari Hardiman, 2009: 36)

Dengan begitu, legitimitas tidak terletak pada hasil komunikasi politik, melainkan pada prosesnya. Semakin diskursif[1] proses itu, yakni semakin rasional dan terbuka terhadap pengujian publik, semakin legitim pula hasilnya. Karena itu, keterbukaan terhadap revisi justru menambah legitimitas sebuah kebijakan atau norma publik. Sehingga akan sampai pada tahap pengujian publik yang terus-menerus. Walaupun demikian, pengujian ini akan mencapai konsensus karena ada hubungan antara tindakan komunikatif dengan Lebenswelt (dunia-kehidupan). Menurut Habermas, Lebenswelt di satu pihak memungkinkan tindakan komunikatif dan membantu pencapaian konsensus karena berlaku sebagai basis bersama bagi para pelaku tindakan komunikatif. 
            Oleh karena itu, Habermas mengandaikan bahwa legitimitas itu terlahir dari diskursus publik. Melalui diskursus itu aspirasi politis umum terbangun secara komunikatif di dalam suatu ruang publik politis:
Maka itu, ruang publik politis tak lain daripada hakikat kondisi-kondisi komunikasi yang dengannya sebuah formasi opini dan aspirasi diskursif sebuah publik yang terdiri dari para warganegara dapat berlangsung (dikutip dari Hardiman, 2009: 134).

Oleh karena itu, Habermas memahami ruang publik politis itu sebagai prosedur komunikasi. Ruang publik itu memungkinkan para warganegara untuk bebas menyatakan sikap mereka, karena ruang publik itu menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan para warganegara untuk menggunakan kekuatan argumentasi. Ruang publik politis itu sebagai kondisi-kondisi komunikasi, bukanlah institusi dan juga bukan organisasi dengan keanggotaan tertentu dan aturan-aturan yang mengikat. Berarti semua orang dapat mengakses ruang publik ini.
            Habermas seperti yang diungkapkan Hardiman memahami ruang publik politis sebagai kondisi komunikasi yang dapat menumbuhkan kekuatan solidaritas yang mengutuhkan sebuah masyarakat dalam perlawannya terhadap sumber-sumber lain, yakni uang (pasar kapitalis) dan kuasa (birokrasi Negara), agar tercapai suatu keseimbangan.
Ruang publik lalu dimengerti sebagi ruang otonom yang berbeda dari Negara dan pasar. Ia berciri otonom karena tidak hidup dari kekuasaan administratif maupun ekonomi kapitalis, melainkan dari sumber-sumbernya sendiri. Habermas memahami ruang publik politis juga sebagai sebuah jejaring untuk komunikasi tema-tema dan sikap-sikap, yakni opini-opini. Jadi, ruang publik politis bukan sekedar ruang publik atau wadah pertemuan ide-ide tetapi ruang yang dapat berfungsi secara politis.



[1] Diskursus bersifat inklusif, egaliter dan bebas dominasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar