Sekedar catatan: Gn. Ciremai – Apuy, 10 - 12 November 2009
Oleh: Damar Fery Ardiyan
Kamis, 12 November, mungkin hanya kami berlima yang berdiri paling tinggi di tanah Jawa Barat. Karena tak berselang lama saat matahari menyibak kelambu hitam, kami menginjak batu terakhir di bibir kawah tertinggi Jawa Barat, gunung Ciremai dan sesaat beberapa waktu melihat dari kiri ke kanan, dari atas ke bawah dengan penglihatan yang memang terbatas, kita tidak melihat pendaki lain di tanah sejauh 3078 dari permukaan laut ini. Oleh karenanya, anggap saja pada hari itu hanya kita berlima; Abo, Gun-gun, Hendro, Ganjar dan saya, yang diperkenankan berdiri di bawah selubung kaki langit di puncak gunung Ciremai.
Bagi saya tidak mudah untuk menginjak bibir kawah itu, karena mungkin saya tidak dilahirkan menjadi pendaki handal yang dapat mempersingkat waktu normal pendakian dan juga karena memang saya kurang untuk melatih raga. Hanya saja, percakapan dalam diri lah yang membuat saya kuat untuk melanjutkan perjalanan, walaupun terkesan lambat. Tetapi motivasi yang dibentuk secara pribadi ini menjadi tangga yang sangat membantu untuk kembali meninggikan langkah.
Sebab itu, saya terus melangkah dan tidak jarang menghentikan kaki untuk menarik nafas panjang sebelum melanjutkan perjalanan. Sedikit berjalan, kemudian berhenti ini sudah saya lakukan jauh sebelum saya mencapai pos pertama dari lima pos yang ada di jalur pendakian Apuy, di luar pos pendakian awal, juga Goa Walet yang dikatakan tempat paling enak untuk mendirikan tenda, karena letaknya di sebuah lembah sehingga cukup terhalang oleh angin dan pada saat musim hujan tempat ini menyediakan air rembesan. Tetapi, pada hari ke dua pendakian, kami tidak memilih untuk bermalam di tempat itu. Karena sebelumnya, pada 11 November kami memutuskan untuk mencapai puncak, kemudian langsung kembali ke pos awal kami; rumah.
Tetapi rencana itu berganti, karena sekitar pukul 13.00 cuaca terlihat tak menentu, disamping lelah yang kami rasai masing-masing dan juga karena keinginan untuk melihat matahari terbit di atas gunung yang katanya penyendiri, diantara sekawanan gunung-gunung lain. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk kembali bermalam di tempat yang tidak jauh dari bibir kawah atau kurang dari sepuluh menit mendaki bebatuan untuk mencapai puncak dan putusan ini disandingkan dengan kondisi logistik yang masih cukup untuk satu hari ke depan.
Tempat kami bermalam cukup enak dan pas untuk mendirikan satu tenda, juga terhalang oleh bebatuan yang sangat membantu untuk menghalau angin. Dari tempat itu juga kami bisa melihat matahari terbenam, tetapi sayang cuaca mendung kala itu tidak membuat kami melihat perpaduan warna jingga yang memedar dari balik awan. Bahkan, sebelum kami mendirikan tenda, hujan sudah turun, sehingga dengan keadaan basah kami bergegas mendirikan pelindung hujan dan berlindung dengan pakaian yang cukup basah. Al hasil, dalam tenda yang tadinya kering pun menjadi becek dan kotor.
Tak lama, hujan pun berhenti. Kami pun kemudian menata ulang posisi tenda, juga merapihkan barang-barang bawaan yang sebelumnya tidak sempat dirapihkan. Melalui tangan Hendro lah tenda kami terlihat kering kembali dan juga cukup bersih. Sedangkan, yang lain bertugas di luar tenda sesaat matahari kembali bertenaga memanaskan bumi. Panas datang tidak lama dan mendung pun sempat beberapa kali terlihat pada saat itu, walaupun tidak sampai hujan besar tetapi cukup menghentikan gerak kami.
Setelah semuanya selesai tertata, kami pun santai-santai, sambil mengobrol ngalor ngidul untuk mengaburkan jarak waktu. Sehingga tidak terlihat jelas dan bisa terasa cepat untuk mencapai esok. Pembicaran tak penting sekalipun, akan menjadi berharga untuk membangun suasana ramai di atas sana, disamping keramaian alami alam yang saling beradu dalam gelap.
Selain itu, keramaian pun dibentuk oleh lagu yang Abo dan Hendro bawa, kemudian diperdengarkan melalui penghantar suara pinjaman dari Budi hingga kami bersiap melelapkan sadar. Dengan cara seperti itu kami mengisi ruang kosong untuk memberikan suasana ala rumahan di tengah hutan yang membentang. Bahkan Gun2, membuat beberapa penerangan semacam lentera yang terbuat dari penggabungan lilin dan botol air mineral bekas yang telah dibagi dua sebelumnya. Lentera lilin atau botol air mineral yang di isi lilin ini digantungkan di ranting pohon persis di depan tenda kami. Dengan begitu, semakin dekat saja kami dengan suasana rumahan yang (seolah) terasa hangat. Walaupun mungkin tak satu pun lentera tertera pada halaman rumah kami, tetapi suasana hangat sekaligus dingin itu sempat menemani kami berlima makan malam yang tidak biasa.
Sambil membiarkan lilin habis dalam tetesan, kami pun melelelapkan tubuh dalam kantong tidur secepatnya, juga melelapkan telinga dari dengkuran. Dengan harapan dapat beristirahat cukup, sehingga besok dapat kembali mendaki bebatuan, kemudian kembali menapaki jalur yang telah kita lalui untuk melapor kembali kepada “mang Apuy” dan kemudian bersiap untuk pulang.
“Mang Apuy”
Yah, mang Apuy tak lain sebagai tetua bagi pendaki yang ingin mendaki gunung Ciremai atau biasa di sebut dengan juru kunci. Bagi kebanyakan pendaki keberadaanya tidak asing lagi, karena atas izin beliau lah para pendaki di berikan keluasan untuk melewati jalur puncak dari Apuy. Hanya saja ada beberapa pantangan yang beliau sarankan kepada pendaki untuk tidak bertindak semaunya ketika tengah melakukan perjalanan menuju puncak Ciremai. Dengan bahasa sundanya yang khas, mang Apuy menyebutkan kalau tidak boleh menyebut kata “kuda” dan beberapa binatang lainnya di atas sana. Tetapi, kita diperkenankan untuk mengatakan “anjing” sebagai kata keluhan lelah Mendengar beberapa pantangan yang dikatakannya, pada saat itu tidak ada diantara kami yang menanyakan mengapa tidak diperbolehkan mengucapkan kata-kata tersebut, kami hanya menurut dan menjadi anak baik untuk mengikuti apa yang dikatakan pria yang tidak muda lagi ini.
Walaupun tubuhnya telah termakan usia, tetapi ingatannya masih segar seperti sedia kala. Beliau banyak menyimpan ragam cerita lampau, baik senyum dan air mata yang terjadi di gunung tertinggi di Jawa Barat itu. Tidak seperti Ciremai yang bisu akan kisah yang terjadi di tengah hutannya juga kawahnya, mang Apuy dengan mudah menceritakan apa saja yang kami tanyakan ataupun tidak.
Saat kami menanyakan mengenai beberapa nisan yang terdapat di puncak dan jalur, mang Apuy menjawab ramah, kalau batu nisan tersebut sebagai penanda bagi pendaki yang meningal di atas sana. Bahkan dirinya menceritakan kalau ada pendaki yang jatuh ke kawah karena terdorong angin yang cukup besar, sehingga kawah besar itu menelan nafasnya dan menyisahkan tubuhnya yang penuh luka. Selain cerita meninggalnya para pendaki, mang Apuy pun tak segan menceritakan kisah pribadinya di Ciremai yang mana dengan tenaga mudanya pernah mengantar tentara Jepang menyusuri gunung tersebut. Juga kisah teladan mengenai dirinya yang ketika seumur kami dapat menaiki Ciremai dengan waktu singkat, yakni selama tiga jam perjalanan dan turun hanya setengahnya.
Sedangkan kami perlu waktu sembilan jam dengan rincian waktu empat jam mencapai pos tiga (Tegal Wasawa) dan lima jam mencapai lokasi dimana kita mendirikan tenda tidak jauh dari bibir kawah. Sembilan jam pendakian ini terhitung ketika kami sudah berkumpul semua pada satu titik dan tidak menutup kemungkinan bahwa di antara kami ada yang bisa sampai lebih awal.
Karena memang usianya yang sudah tua, Mang Apuy pada saat ini tidak dalam kondisi baik dan beliau mengatakan, kalau saat ini dirinya sudah tidak mendaki. Sehari-hari, waktunya hanya disibukan dirumah dan mengumpulkan ingatan untuk kemudian dapat memberi gambaran kepada pendaki yang mengetuk pintu rumahnya kelak. Rumah mang Apuy ini selalu terbuka bagi pendaki, bahkan ketika kami datang dan pulang, keramahan selalu menyambut kami dan menyilahkan kami untuk meminum serta memakan makanan yang telah beliau sediakan. “Terimakasih mang Apuy,” walaupun kami tidak tahu namamu, tetapi “mang Apuy” adalah nama kami untukmu.
Selain itu, ia pun berkata dengan bangga bahwa ada tiga kelebihan gunung yang sering ia daki ini. Saya tidak apal semua, tetapi ia berkata bahwa, “Ciremai itu gunung pang tinggina, pang kasepna, ...” dan satu lagi saya lupa. Memang benar, gunung ini tinggi dan kasep se-Jawa Barat dan itu adalah fakta. Ibarat gambar bocah TK, gunung Ciremai memang begitu adanya. Berbentuk satu gunung besar dengan cekungan di tengahnya, berlatar biru dan kebun mengelilinginya.
Titik Awal
Tetapi gunung yang tinggi dan kasep ini tidak dapat kita lihat dari kejauhan, karena pada saat itu hamparan kabut selalu menyelubungi pesona Ciremai dengan pekat. Kabut ini menutupi kebesaran Ciremai, sampai kami mendekatinya pun tidak terlihat sama sekali bentuknya yang indah itu. Padahal ketika melalui jalur Daendles, biasanya kita dapat melihatnya dikejauhan dari daerah sekitar Cirebon, Kadipaten dan Majalengka. Tetapi saat mengawali perjalanan dari Jatinangor memakai kendaraan umum (elf) jurusan Cirebon dan berhenti di Kadipaten dengan ongkos Rp 10000 pun kita tidak dapat melihatnya. Bahkan ketika berganti elf jurusan pasar Maja yang bertarif Rp 6000 hingga menaiki mobil pick-up angkutan sayur Rp 5000 ke desa Apuy juga kita sama sekali tidak melihat setinggi apa Ciremai dari dekat. Benar saja tidak terlihat, karena pada saat itu hujan kerap membasahi desa yang berada di bawah kaki Ciremai dengan ketinggian 1024m dpl ini. Bahkan mang Apuy yakin kalau pendakian kita akan disambut dengan hujan. Benar saja, belum juga sampai ke pos pertama pendakian, hujan sudah mengguyur tubuh kami hingga pos tiga. Lalu pada pos tiga inilah kami memutuskan untuk bermalam karena pada saat itu sudah mulai gelap. Sebelumnya, kami berangkat dari rumah mang Apuy sekitar pukul 14.00, setelah membayar registrasi sebesar Rp 6500 kepada mang Apuy, juga menyerahkan identitas diri sebagai bentuk yang menurut saya sangat penting untuk memulai pendakian. Mengapa? karena identitas ini dapat menorehkan jejak terakhir kita kepada seseorang, sebagai pegangan jika terjadi sesuatu terhadap kita ditengah hutan. Walaupun demikian, kami tidak mau mematrikan nama di atas nisan sesaat memulai pendakian.
Oleh karena itu, perbekalan lah yang mesti disiapkan dengan maksimal. Dari mulai perlengkapan yang menunjang kehangatan, penangkal hujan dan angin, makanan, penerangan, sampai air minum yang mesti kita bawa lebih banyak. Karena memang Ciremai dikenal sebagai gunung yang minim mata air, biarpun ada, tetapi kerap kering pada saat musim kemarau. Sekalipun hujan pada saat itu, tetapi menurut informasi terakhir mata air tersebut kering. Untuk itu, kami berlima membawa sekitar 24 liter air dari pos pendakian untuk keperluan dua hari satu malam. Berat memang, tetapi tidak lebih berat ketimbang mesti mencari air disana dan menadah air hujan. Bahkan, air yang direncanakan untuk dua hari ini, dapat mencukupi kebutuhan kita selama tiga hari dua malam di atas sana. Alhamdulillah..
Akhirnya, perjalanan ini bukan sekedar mendaki tanah tertinggi Jabar. Tetapi, belajar untuk bertahan dalam persiapan, berharap dan meraihnya, mengenal teman terdekat, memberi apa yang kita punya, serta menyiapkan tangan untuk mengangkat teman lebih tinggi**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar