Total Tayangan Halaman

Jumat, 29 April 2011

ISA-RSA Louis Althusser

-Sedikit Catatan-

Oleh: Damar Fery Ardiyan

Oleh beberapa pengikutnya, pemikiran Karl Marx sering dipadukan dengan pendekatan strukturalisme. Dengan menggunakan strukturalisme, mereka ingin membebaskan pemikiran Marx dari konsepsi ideologi sebagai “spekulasi murni” atau kesadaran yang palsu (Larrain dalam Takwin, 2009: 75). Untuk menolak ideologi sebagai kesadaran palsu, strukturalisme harus memisahkan konsepsi ideologi dari pandangan yang menyatakan ‘subjek ikut serta dalam asal-mula pembentukan ideologi.’ Sebaliknya, materilah yang membentuk kesadaran subjek sehingga mengadopsi suatu ideologi. Ideologi bukan representasi palsu dari realitas karena sumbernya bukan subjek, melainkan realitas materil. Tokoh Marxis yang menggunakan pendekatan strukturalisme adalah Louis Althusser (1918-1990). Ia merupakan pemikir Marxis-strukturalis terpenting yang berpengaruh besar dalam kajian ideologi.

Seiring dengan pemikiran Karl Marx mengenai proses produksi kapitalis yang secara meyakinkan terbukti dalam Capital, Louis Althusser melatari pemikirannya dengan kondisi produksi yang sebelumnya diungkapkan Marx ini. Althusser yang lahir di Birmandries dekat kota Aljier, Aljazair ini mengungkapkan bahwa setiap formasi sosial muncul dari modus produksi dominan, di mana memungkinkan berfungsinya kekuatan produksi yang telah ada sebelumnya, di dalam dan di bawah relasi produksi yang definitif.

Dengan demikian, untuk mempertahankan keberadaan praktek produksi tersebut, dan demi meraih kemampuan untuk berproduksi, maka setiap tatanan sosial mesti mereproduksi kondisi produksi pada saat yang sama. Karena itu, tatanan sosial harus mereproduksi: (1) kekuatan produktif, dan (2) hubungan produktif yang sudah ada (Althusser, 2008: 4).

Berangkat dari sebuah bagian dari surat Marx pada Kugelman, bahwa “…every child knows that a social formation which did not reproduce the conditions of production at the same time as it produced would not last a year” (...tiap anak mengetahui bahwa suatu formasi sosial yang tidak mereproduksi kondisi-kondisi produksi pada saat yang sama dengan produksi yang dilakukannya, tidak akan bertahan dalam setahun).

Sebagaimana yang dikatakan Marx ini, bahwa tidak ada produksi yang dapat berlangsung jika produksi itu tidak memungkinkan reproduksi dari kondisi material produksi: reproduksi alat produksi. Semisal: bahan baku, bangunan, alat produksi (mesin) dan sebagianya yang telah habis dipakai/ haus.

Oleh karena itu, hal ini mendorong lahirnya pedagang-pedagang lain yang akan memberikan pemenuhan atas bahan-bahan untuk mereproduksi suatu produksi kepada pedagang lain (tuan lain). Untuk mengkaji mekanisme ini, yang akan membentuk 'rangkaian tanpa akhir,' sangatlah penting untuk mengikuti prosedur global Marx dan mempelajari secara khusus hubungan perputaran antara lembaga I (produksi alat produksi) dan lembaga II (produksi alat konsumsi), dan relasi nilai lebih (surplus value) dalam Capital volume I, II, dan III (Althusser, 2008: 6).

Meskipun masih memberi tempat bagi pengaruh ekonomi, Althusser beranggapan bahwa suprastruktur ideologi bukan sekedar dari representasi dari esensi ekonomi seperti yang dinyatakan Marx. Althusser memandang ideologi sebagai sesuatu yang otonom dari pengaruh basis ekonomi. Ideologi bekerja dengan caranya sendiri. Walaupun tak bisa disangkal ada pengaruh dari basis ekonomi, namun hal itu tidak dapat mencegah suprastruktur untuk berdiri otonom dari basis ekonomi. Ideolgoi memiliki kemampuan untuk melancarkan kekuasaan dan pengaruh dengan caranya sendiri terhadap basis ekonomi dan arah perkembangan perubahan sosial (Takwin, 2009: 83-84).

Dengan kata lain, Althusser melihat Marx tidak merumuskan pemikiran tentang ideologi yang cukup berarti karena ia terlalu memandang ideologi sebagai representasi dari basis ekonomi (daya dan relasi produksi). Keyakinan Marx bahwa ideologi pasti berubah tatkala suprastruktur berubah – membuatnya kurang mencermati keberadaan berbagai institusi (agama, pendidikan, keluarga, dan sebagainya) yang juga bekerja secara ideologis. Althusser melakukan revisi terhadap pemikiran Marx dan mencoba memecahkan problem-problem teoritis yang belum diselesaikan Marx, khususnya teori tentang ideologi. Dalam pandangannya, Marx menganut suatu bentuk esensialisme dengan menempatkan ekonomi sebagai esensi yang membentuk institusi-institusi sosial. Hal ini menjadikan ideologi sekedar representasi dari esensi internal tersebut (Takwin, 2009: 83).

Althusser memandang bahwa ideologi seperti sistem produksi yang sangat dipengaruhi oleh reproduksi kekuatan produktif. Hanya saja dalam reproduksi ideologi, tidak dibutuhkan kapital konstan berupa mesin-mesin untuk berreproduksi. Dengan kata lain, ideologi mereproduksi sumber daya manusia (labour power) dengan cara yang berbeda. Lantas, bagaimana reproduksi sumber daya manusia ini dapat berjalan?
Pertama, reproduksi sumber daya manusia ini dapat melalui pemberian piranti material pada buruh sehingga sumber daya manusia tersebut dapat mereproduksi dirinya sendiri: dengan pemberian upah. Upah adalah bagian tak terpisahkan dari akuntasi setiap perusahaan, dalam pengertiannya sebagai 'modal upah' (wages capital) dan bukan sebagai kondisi reproduksi material sumber daya manusia (Althusser, 2008: 7). Upah sendiri bukanlah sebagai pemenuhan reproduksi materil sumber daya manusia, melainkan hanya sebatas untuk pemulihan tenaga untuk dapat bekerja kembali esok hari.

Dengan kata lain, uang atau gaji adalah hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan atau singkat kata untuk memastikan bahwa esok hari, sang buruh dapat mempersembahkan dirinya di “altar suci” pabrik di mana ia bekerja. Selain untuk mereproduksi dirinya, upah itu pun digunakan sang buruh untuk membesarkan dan mendidik anak-anak yang merupakan sumber daya manusia yang produktif dewasa nanti (tentunya sumber daya manusia yang akan dipersembahkan kepada “tuan-tuan” dikemudian hari). Atas fakta seperti ini kita mengetahui bahwa kaum proletariatlah yang membiayai “tenaga produktif” untuk kepentingan kapitalis!

Pemenuhan tenaga kerja yang produktif bagi dunia kerja ini tidak hanya sekedar, karena suatu produksi memerlukan sumber daya manusia yang “kompeten,” yang berarti dirinya harus cocok untuk ditempatkan dalam sebuah sistem proses produksi yang kompleks. Oleh karenanya, penciptaan sumber daya manusia yang mempunyai keahlian tertentu menjadi penting. Praktis, pemenuhan atas sumber daya manusia yang kompeten ini dibebankan kepada sistem pendidikan yang berada diluar arena produksi secara langsung (seperti Negara).

Rezim kapitalis secara “pintar,” membentuk sistem seperti ini agar mereka tidak terbebani secara langsung dalam proses reproduksi mereka. Untuk itu, mereka menyerahkan tanggung jawab ini kepada sistem pendidikan dan institusi lain dalam sebuah Negara misalnya.

Dengan demikian, melalui piranti material yang telah diberikan pengusaha kepada sang buruh atas daya upayanya memeras keringat, sang buruh yang sekaligus menjadi orangtua akan mendapatkan kewajiban untuk memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anak mereka dan sekolah lah yang dapat memberikan itu.

Lantas, apa yang dipelajari anak-anak di sekolah? Tentu saja anak-anak mempelajari hal-hal yang berbeda-beda di sekolahnya, tetapi pada dasarnya mereka belajar membaca, menulis, dan berhitung, yang tak lain merupakan sejumlah teknik dasar dan bersifat umum yang akan berguna untuk menggerakan pelbagai pekerjaan produksi yang telah ada. Althusser menyebut pelajaran yang diterima anak-anak ini dengan sebutan “know-how,” sebagai pengetahuan pada level praktis dan bukan teoritis.

Di samping teknik dan pengetahuan ini, anak-anak pun perlu mempelajari 'aturan' tingkah laku yang baik; aturan moral, kewarganegaraan, profesional, yang makna sesungguhnya adalah seperangkat aturan dalam menumbuhkan respek di dalam pembagian kerja, lebih-lebih untuk menumbuhkan ketundukan pada tatanan yang telah dibangun oleh kelas dominan.

Dalam hal ini, Althusser mengatakan kalau reproduksi tenaga kerja tidak hanya membutuhkan reproduksi keahlian mereka, tetapi juga (pada saat yang sama) reproduksi ketundukan (submission) SDM kepada aturan-aturan yang sudah mapan. Misalnya, reproduksi ketundukan terhadap ideologi yang sedang beroperasi terhadap para pekerja, dan reproduksi keahlian dalam memanipulasi ideologi yang sedang beroperasi secara tepat, bagi agen-agen eksploitasi dan represi, sehingga mereka pun akan tunduk kepada dominasi kelas yang berkuasa (Althusser, 2008: 9).

1. Repressive (State)
Althusser cenderung untuk melihat Negara sebagaimana Marx melihat Negara. Tradisi Marxis di sini sangat teliti: di dalam Communist Manifesto dan Eighteen Baumaeiree of Louis Bonaparte (dan di semua teks-teks klasik sesudahnya, apapun tulisan Marxis di Paris Commune dan State and Revolution-nya Lenin, negara secara eksplisit dipahami sebagai aparatur represif (Althusser, 2008: 13). Dengan demikian negara yang dibangun atas dasar kekuasaan yang ada padanya, merupakan wujud dominasi politik atas masyarakat dan negara selalu ada di atas masyarakat.

Negara adalah mesin represi, yang memungkinkan kelas-kelas penguasa (yakni kelas borjuis dan "kelas” pemilik tanah pada abad ke-19) untuk memastikan dominasi mereka terhadap kelas pekerja, sehingga memungkinkan pihak yang disebut pertama ini untuk menundukkan pihak yang kedua, dalam proses penghisapan nilai lebih (yaitu eksploitasi kapitalis).

Althusser menekankan bahwa titik esensial dari teori Marxis tentang negara terletak dalam bentuk formasi negara, sebagaimana yang dikatakannya ini:

Negara pada awalnya adalah, seperti apa yang disebut oleh kalangan Marxis klasik sebagai, aparatus negara. Term ini berarti: tidak hanya aparatus yang terspesialisasi (dalam pengertian yang sempit) yang mana keberadaan dan kebutuhan akannya saya pahami terdapat dalam hubungan dengan keperluan dari praktek-praktek hukum, seperti, polisi, pengadilan, penjara; tetapi juga tentara, di mana (kaum proletar telah membayar pengalaman ini dengan darahnya) secara langsung mengintervensi sebagai kekuatan represif tambahan pada saat-saat yang menentukan, saat di mana polisi dan korps-korps khusus lainnya tidak lagi dapat mengatasi keadaan; di atas semua ensamble ini adalah kepala negara, pemerintah dan administrasi (Althusser, 2008: 14)

Negara pada kondisi sejatinya adalah alat bagi kepentingan kelas yang berkuasa, fungsi esensial dari seluruh aparatur negara adalah melaksanakan fungsi-fungsi dasar dari represifitas dan intervensi terhadap kelas yang berada di bawah kekuasaan kelas penguasa. Relasi antara kelas-kelas selalu merupakan relasi yang terjadi dalam pertentangan kelas, di mana kekerasan dominasi dari kelas yang dominan berhadapan dengan kekerasan dari kelas yang terdominasi, ekses-ekses kekerasan dari kelas yang dominan ke dalam aparatus negara, sebagai alat yang menjamin berlangsungnya proses reproduksi dari hubungan produksi dalam cara produksi kapitalis. Jadi kehadiran negara dalam pengertian ini tak lain sebagai suatu kekuatan eksekusi dan intervensi represif untuk kepentingan kelas penguasa. Negara dan eksistensinya di dalam aparatus, tidak memiliki arti kecuali berfungsi sebagai kuasa negara (state power).

Apratus negara adalah aparatus yang dapat memaksakan kepatuhan secara langsung, seperti polisi, pengadilan serta sistem penjara. Melalui aparatus-aparatus ini, Negara memiliki kekuasaan untuk memaksa warga negara untuk berkelakuan “baik” secara fisik. Sifat kerjanya terutama adalah menindas. Penindasan yang dilakukan ini selanjutnya diberi arti ideologis, bernilai dan sah legal formal.
Aparatur negara berada di bawah kendali kelas penguasa yang ada dalam satu komando yang terlembagakan dalam tugas-tugas resmi. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, aparatur negara bersifat sentralistis dan sistematis dalam kerjanya. Aparatur negara ini bagi Althusser identik dengan sistem dan struktur negara, yang semata-mata berdiri sebagai penyangga kekuasaan yang sah dan eksplisit. Keabsahan ini memungkinkan aparatur negara menjangkau publik lebih luas dan gerak hidupnya sendiri bersifat politik

Tetapi kenyataannya, di dalam praktik politik, negara adalah sebuah realitas yang kompleks. Tidak hanya terbatas pada definisi negara sebagaimana yang diungkapkan oleh kaum Marxis. Realitas ini tidak bisa dipertukarkan dengan aparatus negara (represif), karena aparatus negara secara formal terdiri: pemerintah, administrasi, angkatan bersenjata, polisi, pengadilan, penjara, dll. Dan yang kemudian lebih menjadi pokok perhatian Althusser adalah persoalan; mengapa subjek dalam negara menjadi patuh, mengapa rakyat mematuhi hukum dan mengapa tidak terjadi pemberontakan terhadap kapitalisme sebagai sebuah sistem sosial ekonomi.

Pandangannya mengenai ideologi dan ideologi-ideologi berasal dari pemahamannya terhadap relasi antara negara dan subjek (antara pemerintah dan warga negara). Siapa yang membuat patuh? Tentu saja tidak hanya aparatus negara (represif), tetapi termasuk institusi tertentu dari masyarakat privat: gereja, sekolah, serikat buruh, dll.

Oleh karena itu, Althusser menyebutkan dua mekanisme utama yang memungkinkan warga Negara berkelakukan sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dalam Negara, sekalipun aturan-aturan tersebut tidak sesuai dengan kepentingan yang dimiliki oleh warga Negara, yakni represif dan ideologis. Ke dua dimensi ini erat dengan eksistensi Negara sebagai alat penindasan atau pembungkaman bagi perjuangan kelas.
Aparatur represi masuk dengan memaksa, sedang yang lain masuk dengan memengaruhi. Berangkat dari pengertian tersebut, Althusser membedakan antara perangkat Negara yang represif dengan sebutan RSA (repressive state apparatus) dan ISA (ideological state apparatus) sebagai perangkat yang ideologis. Kedua perangkat ini mempunyai fungsi yang sama yaitu melanggengkan penindasan dalam relasi produksi masyarakat.

2. Ideological State Aparratus
Bagi Althusser, eksistensi Negara dalam aparatur yang dimilikinya tidak memiliki arti apa-apa terkecuali dalam fungsi kuasa. Keinginan untuk berkuasa ini lah yang melahirkan dua mekanisme penting dalam penciptaan kepatuhan bagi warga Negara. Pertama seperti disebut sebelumnya (RSA) dan yang ke dua adalah ISA. Tidak perlu bingung membedakan ISA dengan RSA karena ke duanya memiliki fungsi yang berbeda, yang satu melalui tindak kekerasan dan yang satu melalui ideologi atau persuasif (agama, pendidikan, keluarga, media massa, dan sebagainya)..

Althusser pun sadar mengenai pembeda antara aparatus yang represif dan ideologi, tetapi pada kenyataannya tidak dapat dipisahkan. RSA memang secara massif memakai cara yang represif secara fisik, tetapi juga secara sekunder berfungsi melalui ideologi, begitu pun sebaliknya. Sebagai contoh, angkatan bersenjata dan polisi pun berfungsi lewat ideologi, baik untuk menjamin kepaduan dan reproduksinya, maupun dalam ‘nilai-nilai’ yang diajukannya secara eksternal, maupun internal. Dengan kata lain, tidak ada aparatur yang sepenuhnya represif, maupun ideologis. Oleh karenanya, keduanya memiliki fungsi ganda, walaupun ada proporsi fungsi khas yang dimiliki masing-masing.

Bentuk ideologi yang terakhir (ISA) merupakan ideologi yang dipakai negara untuk memperkuat represi dan penindasan terhadap rakyat. Piranti yang ideologis ini dibedakan dari piranti negara yang bersifat fisikal... Ideological state apparatus tampil dalam bentuk institusi pendidikan, penataran-penataran, film yang dibuat negara, acara televisi dan sebagainya. Ideological state apparatus bisa berkembang setelah ada piranti yang bersifat fisikal dan sering digunakan untuk melanggengkan penindasan fisik (Takwin, 2009: 85).

Dengan dasar pemikiran bahwa setiap individu sudah dipersiapkan sebagai subjek yang akan diletakan dalam struktur-struktur sejak struktur terkecil keluarga hingga negara, ISA bekerja secara mujarab menggiring individu menjadi subjek yang dengan kerelaan dan kehendaknya menjadi makhluk-makhluk bentukan yang bekerja melanggengkan proses reproduksi produksi tanpa perlu diawasi. Lebih jauh lagi, setiap individu juga berperan sebagai agen ideologi yang ikut serta menyebarkan ideologi melalui berbagai struktur sesuai dengan perannya, baik sebagai anggota keluarga, pekerja, pemikir, guru, pendeta dan sebagainya.
Oleh kerena itu, fungsi ISA tak lain sebagai penjaga kelangsungan hegemoni sebuah Negara dalam periode yang lama. Salah satu aparatur yang paling memengaruhi dalam ISA adalah sekolah. Sekolah merebut anak-anak sedari TK hingga pendidikan yang lebih tinggi. Melalui ideologi yang dikemas dalam sekolah ini lah, murid-murid akan merasakan bahwa dominasi penguasa adalah sebuah kewajaran.

Dengan segala syarat yang diimplikasikan oleh keperluan ini, Althusser mengategorikan institusi-institusi berikut sebagai aparatus Negara ideologis:

• ISA agama (sistem gereja-gereja yang berbeda)
• ISA pendidikan (sistem sekolah privat dan publik yang berbeda)
• ISA keluarga
• ISA hukum
• ISA politik (sistem politik, termasuk pelbagai partai yang berbeda)
• ISA serikat buruh
• ISA komunikasi (press, radio dan televisi dan sebagainya)
• ISA budaya (kesusastraan, seni, olahraga dan sabagainya)

Bagi Althusser, setiap orang punya peranan dalam menyebarkan ideologi dan menjadikan masyarakat ideologis. Ideologi-ideologi itu terbina lewat banyak hal seperti, mitos, agama, hubungan orang tua-anak, serta hubungan guru-murid. Penyebaran ideologi dan pemaksaan kehendak-kehendak negara terhadap rakyat hanya salah satu bentuk upaya pemekaran distorsi realitas dalam masyarakat. Baginya, tidak mungkin ada sebuah masyarakat yang terbebas dari ideologi. Ideologi merupakan semacam perekat bagi bersatunya anggota-anggota masyarakat, inilah sisi positif dari ideologi, meskipun kewaspadaan terhadap ‘perekat’ itu harus terus dijaga (Larrain dalam Takwin, 2009: 86).

3. Interpelasi (memanggil)
Ideologi berfungsi dengan cara halus, menjadikan manusia tanpa sadar, bahwa sebenarnya mereka terdominasi. Seperti yang dikatakan Bagus Takwin dalam pengantar buku Tentang Ideologi bahwa ideologi bagi Althusser bukanlah ‘kesadaran palsu’ seperti yang ditegaskan Marx, melainkan sesuatu yang profoundly unconcious, sebagai hal-hal yang secara mendalam tidak disadari. Ideologi adalah segala yang sudah tertanam dalam diri individu sepanjang hidupnya; history turn into nature, produksi sejarah yang seolah-olah menjelma sesuatu yang alamiah. Sejak buaian hingga kuburan, manusia hidup dengan ideologi (Althusser, 2008: xvi).

Sejalan dengan pemikiran Lacan, Althusser percaya bahwa masyarakat, lewat struktur keluarga, sudah memberikan kerangka-kerangka yang membatasi ruang pandang individu mengenali dunia. Dunia seorang manusia sejak semula adalah dunia yang terbingkai struktur yang tertanam dalam dirinya. Tumbuhlah ia menjadi manusia yang digerakan struktur, makin menjauh dari dirinya, tak disadari dan tak terhindari (Althusser, 2008: xvi).

Manusia yang menganggap dirinya sebagai subjek bebas, sebenarnya tidak lah seperti itu. Karena manusia sudah menjadi individu yang terhegemoni sebagai subjek (bebas) agar ia dapat taat sepenuhnya pada perintah-perintah (S)ubjek, yakni agar dia dapat (sepenuhnya) menerima ketaatannya, yakni agar dia membuat gerak-gerik atau tindak-tanduk dari ketaatannya ‘sepenuhnya oleh diri sendiri.’ Tidak ada subjek kecuali dengan dan demi ketaatannya. Itu sebabnya mereka ‘menjalaninya sendiri.’ Kepercayaan yang tertanam tanpa disadari itulah yang dinamakan ideologi dalam pengertian Althusser.

Lantas, bagaimana ideologi sebagai hal-hal yang tertanam mendalam tanpa disadari itu bekerja menggerakan manusia? Apa yang dirujuk oleh ideologi dan mengapa kepercayaan-kepercayaan itu ada?

Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita tengok pernyataan Althusser; “...ideologi ‘bertindak’ atau ‘berfungsi’ dengan suatu cara yang ‘merekrut’ subjek-subjek di antara individu-individu (ideologi merekrut mereka semua), atau ‘mengubah’ individu-individu menjadi subjek-subjek (ideologi mengubah mereka semua) melalui operasi yang sangat presisi, yang saya namakan interpelasi atau memanggil: “hei, kamu yang disana!”

Mungkin sulit untuk dipahami, tetapi pernyataan ini dapat dimaknai sebagai suatu usaha dari ideologi untuk selalu memanggil manusia sebagai (s)ubjek dari (S)ubjek. Dan hal ini dapat dipertegas melalui definisi ideologi yang berarti sebagai sistem gagasan dan pelbagai representasi yang mendominasi benak manusia atau kelompok sosial. Hanya saja, karena terinterpelasi, ideologi menjadi tersirat secara definitif karena manusia menganggap bahwa apa yang dilakukannya adalah suatu pilihan bebas; suatu kewajaran; tanpa tekanan dari subjek lain.

Dengan kata lain, ideologi menempatkan individu, manusia yang lahir dari alam, sebagai subjek, sebagai pihak yang memiliki tanggung jawab, sebab memiliki juga kebebasan, karena ia memiliki identitas yang berbeda dari yang lain, sebagai suatu satuan yang otonaom tersendiri yang seolah-olah lepas dari yang lain. Namun, di sisi lain sang subjek diletakan dalam rangkaian struktur yang mengandung relasi antar unsur-unsurnya. Sang subjek ternyata adalah salah satu unsur dari struktur yang hanya berarti ketika menjalin relasi dengan unsur lainnya. Gerak-gerik subjek yang seolah bebas ternyata dibatasi oleg relasi dalam sturktur. Kebebasan subjek pada dasarnya adalah ilusi yang diciptakan ideologi agar ia merasa bertanggung jawab dan mendorong dirinya melakukan serangkaian tindakan yang menghidupakan struktur yang ada sebelum ia lahir.

Jadi ideologi, memanggil atau menginterpelasi individu-individu sebagai subjek. Ideologi selalu telah menginterpelasi individu-individu sebagai subjek, yang menjelaskan bahwa individu-individu selalu telah diinterpelasi oleh ideologi sebagai subjek, yang seyogyannya membawa kita pada satu pernyataan terakhir. Individu-individu adalah subjek yang selalu menyudah (Althusser, 2008: 53).

Untuk menjaga keberlangsungan proses ini, negara dikembangkan sebagai struktur tertinggi yang mempersatukan dan memaksa individu tetap rekat dan bergerak menjalankan proses-proses itu. Negara dengan aparaturnya menjaga dengan berbagai cara agar kondisi yang menunjang reproduksi dan relasi produksi berlangsung terus. Dengan penitikberatan kepada reproduksi sumberdaya manusia, maka munculah pendidikan yang dilembagakan misalnya. Oleh karena itu,, peran RSA dan ISA lah yang akan menentukan. Mekanisme dalam Negara ini dapat menentukan warga negara untuk berbuat sesuai dengan kemauan Negara, tanpa mereka sadar dan secara wajar menyerahkan tenaga dan pikiran untuk kepentingan altar suci: produksi kapitalis.
Walaupun demikian, Althusser tidak berniat untuk membebaskan manusia dari ideologi. Baginya, setiap orang berperan menyebarkan ideologi dan menjadikan masyarakat ideologis. Maka, tidak mungkin ada sebuah masyarakat yang terbebas dari ideologi. Ideologi merupakan semacam perekat bagi bersatunya anggota-anggota masyarakat. Inilah sisi positif dari ideologi (Althusser, 2008: xxiv). Ideologi merupakan reaksi terhadap suatu dominasi. Setiap penindasan akan menghasilkan suatu usaha pada pihak tertindas untuk melepaskan diri. Salah satu alat penting dan perlu ada dalam upaya pembebasan ini adalah ideologi, suatu kepercayaan yang dibangun untuk menggerakan kelompok si tertindas (semacam ideologi kelas dalam tradisi pemikiran Leninisme) (Takwin, 2009: 86).

Sebagai akhir kata; ideologi lahir dari sebuah hubungan kekuasaan sebagai salah satu reaksi dari pihak-pihak tertindas untuk membebaskan diri.

1 komentar:

  1. Terima Kasih Mas atas referensinya, semakin memperkaya pengetahuan akan Ideologi Louis Althusser, kalau boleh bertanya untuk referensi seperti daftar pustaka tidak dicantumkan? terima kasih karena untuk kepentingan penelitian butuh referensi yang mendalam.

    BalasHapus