dari Banceuy, Bandung
Menyeduh kopi panas pada pagi hari atau saat mendung yang kemudian hujan dapat memberikan cita rasa khas saat serbuk tersebut menyentuh lidah. Apalagi, jika butiran halus berwarna gelap yang diminum ini adalah kopi hitam murni. Bagi pecinta kopi, rasa istimewa serbuk hitam ini tentu tidak berasal dari sembarang kopi, karena keistimewaan rasa dilahirkan oleh biji kopi yang berkualitas baik dan juga proses produksi yang baik. Untuk itu, mari kita tengok pabrik dan toko kopi Aroma yang selalu menomor wahidkan kualitas serbuk kopi. Terletak di Jl. Banceuy no. 51, Bandung, toko kopi dan pabrik kopi Aroma menghantarkan keunikan tersendiri karena telah bertahan dengan proses pengolahan biji kopi tahun 1930 hingga saat ini.
Bagi pendatang, mungkin akan kesulitan untuk mencari toko dan pabrik Aroma karena letaknya dipertigaan antara jalan Banceuy dan jalan Pecinan Lama yang ramai. Lebih-lebih, bahu jalan yang merapat pada pabrik ini pun kerap dijadikan lapak bagi pedagang onderdil mobil sebagai showroom barang jualannya. Sehingga bangunan bergaya art deco yang begitu kental dengan kesan kuno ini tidak dapat terlihat begitu jelas. Tetapi, tidak perlu bingung dan khawatir tidak menemukan letak tokonya, apalagi bagi Anda yang bukan berasal dari Bandung. Karena jika melewati jalan Banceuy, Anda akan mengendus aroma panggang dari biji kopi khas melalui cerobong asap yang akan menghantarkan rasa penasaran kita pada ruang hilir mudik pembeli yang berukuran kurang lebih 3x2 meter. Melalui ruang ini, pembeli dapat memesan kopi kepada pelayan yang siap menyajikan bungkusan kopi sesuai permintaan. Selain itu, ruangan yang diperuntukan bagi pembeli pun dilengkapi dengan etalase yang menyimpan berbagai biji kopi tua beserta alat penggilingan biji kopi yang juga telah berumur.
Kemasan kopi Aroma |
Saat saya mengunjungi Aroma, Widyapratama (57) memersilahkan untuk melihat kondisi pabrik yang masih dipertahankan keasliannya. Berbeda dengan ukuran ruang penjualan yang cukup sempit, Aroma memiliki ruang produksi yang sangat luas. Ada ruang yang difungsikan sebagai penyimpan berkarung-karung biji kopi, ruang penjemuran, ruang penggilingan dan juga ruang untuk menyangrai biji kopi tersebut. Bahkan, alat untuk membuat kopinya pun masih dipertahankan keasliaannya sejak pabrik kopi ini berdiri. Di dalam ruang pabrik ini, Widyapratama menceritakan bahwa usaha ini adalah usaha yang diperolehnya dari sang ayah yang bernama, Tan Houw Siang (alm). Sebelum membangun pabrik kopi Aroma, ayah Widya adalah seorang pengolah kopi di perkebunan milik Belanda. Kemudian, dari pengalaman ini lah pabrik kopi Aroma berdiri. “Awalnya pabrik ini milik ayah saya yang didirikan pada tahun 1930 dan kemudian diwariskan ke saya karena saya anak satu-satunya,” begitu kenang widya.
Widyapratama, pemilik pabrik dan toko kopi Aroma Jl. Banceuy 51 Bandung |
Menjadi anak tunggal, tidak lantas menjadikan Widya manja. Karena ketika tengah mengerjakan sesuatu, Widya selalu dididik oleh ayahnya untuk melakukan pekerjaan tersebut dengan gigih, begitu pula ketika mengolah biji kopi. Sambil menyangrai biji-biji kopi, Widya menceritakan kalau dalam catatan hidupnya tidak ada waktu untuk berleha-leha. Dia selalu menyempatkan diri untuk mengerjakan sesuatu, sehingga itu menjadi sebuah kebiasaan dalam rutinitas pria yang juga bekerja sebagai pengajar di FE Universitas Padjadjaran ini. Oleh sebab itu, Aroma masih berdiri dengan kekhasannya sebagai toko kopi yang memandang kualitas sebagai tumpuan dalam proses produksi.
“Saya itu selalu memegang proses pembuatan kopi yang tidak berubah, dari dulu hingga sekarang,” cerita Widya yang saat itu mengenakan pakaian serba coklat. Oleh karena itu, kualitas kopi buatannya ini tidak berubah, karena Widya selalu mempertahankan dan mengontrol kualitas kopi dari mulai pemetikan biji kopi, hingga proses produksi. Dengan demikian, kopi arabika dan robusta yang ia jual ini masih bertahan dengan rasa khas tahun 30-an sampai sekarang.
Bukan tanpa alasan Widya mempertahankan proses produksi kopi juga peralatan pembuatannya seperti sekarang ini. “Kalau ada yang berubah, semua tidak seperti aslinya,” kata Widya. Bisa jadi, hal ini dilakukannya sebagai satu cara memberi hormat kepada mendiang ayahnya yang telah merintis pabrik ini dari nol. Bahkan untuk mengenang ayahnya ini, Widya pun masih menyimpan tiga sepeda kumbang tua dan peralatan baheula (lama) sebagai penanda keringat perjuangan seorang ayah sebagai penjual kopi. Lebih dari sekedar romantisme, bagi Widya mempertahankan suatu rangkaian proses kuno dan alat produksi peninggalan sang ayah ini sudah menjadi barang tentu, karena dengan begitu ia dapat menghasilkan kopi berkualitas baik. Dengan kata lain, Widya bertahan karena kualitas. Sehingga toko kopi Aroma selalu ramai pengunjung.
Buka pukul 08.00 sampai pukul 15.00, membuat pembeli seringkali sudah ada yang mengantri untuk membeli kopi robustra seharga Rp. 10.500 atau arabika Rp. 13.000 untuk takaran seperempat kilogram. Bahkan, ada juga warga negara asing yang mengantri untuk membeli kopi khas yang dihasilkan melalui serangkaian proses panjang ini. “Pembeli itu ada yang sudah berlangganan, bahkan dari kakek sampai cucunya kalau membeli kopi itu ya di sini karena sudah biasa dan tahu kualitas kopi kami,” kata suami Maria Louisa ini.
Fermentasi delapan tahun
Untuk menciptakan cita rasa kopi khas Aroma, Widya selalu menerapkan segala ilmu yang diberikan sang ayah dalam membuat kopi, walaupun itu memerlukan proses pembuatan yang sangat lama dan panjang. “Saat biji kopi dipetik, saya hanya minta yang berwarna merah dan biji kopi tersebut didatangkan sebulan sekali dari kebun kesini,” jelasnya. Kemudian, biji kopi yang didatangkan tersebut, ia jemur dengan memanfaatkan panas matahari selama tujuh jam, dengan alasan bahwa sinar matahari lebih alami. Lalu, setelah selesai dengan penjemuran, biji kopi tersebut di masukan ke dalam karung goni untuk difermentasikan selama tujuh sampai delapan tahun. Sangat lama bukan? hal ini dilakukannya, karena ingin menciptakan biji kopi terbaik. “Pokoknya, semakin lama biji kopi di simpan akan semakin baik, karena akan menurunkan kadar kafein dan kadar asam dari kopi,” jelas bapak dari tiga putri ini.
Proses fermentasi ini dilakukan pada tempat bernama lumbung yang berfungsi untuk memeram atau sebagai tempat penyimpanan karung goni yang berisi kopi. Cukup luas dan tinggi atap lumbung ini, tetapi karena jumlah tumpukan karung goni yang begitu banyak, lumbung ini terlihat sesak dan pengap. Saat ditanya berapa jumlahnya, pria kelahiran 16 oktober 1952 ini tidak mengetahui persis, tetapi ia memastikan bahwa karung-karung ini akan dibiarkan saja sampai lima atau delapan tahun kemudian untuk kemudian dapat diproses.
Karena proses fermentasi panjang ini, kadar kafein dan kadar asam pada biji kopi akan turun rendah dan menjadikan kopi Aroma sangat sehat untuk di konsumsi. Bahkan, Widya mengatakan kalau kopi buatannya sangat berkhasiat untuk menyembuhkan beragam penyakit. Kopi jenis robusta misalnya dapat menyembuhkan luka dan orang yang diabetes pun dapat terobati. Sedangkan, arabika berkhasiat melancarkan peredaran darah. Selain itu, kopinya ini tidak menyebabkan sakit perut maupun kembung jika di minum pada pagi hari, begitu ucap Widya.
Walaupun komoditinya ini mendatangkan banyak pembeli loyal, ternyata usaha Widya ini tidak terlalu memberikan omset yang tinggi. Hal ini dikarenakan proses produksi pabrik kopi Aroma masih mempertahankan sistem produksi awal ditengah persaingan produksi yang ditompang oleh kekuatan produktif berupa kapital konstan (mesin-mesin produksi otomatis). Namun, Widya tidak menghiraukan, bahkan ia mengaku sangat senang telah memberikan kopi yang berkualitas tinggi, walaupun tanpa banyak pemasukan.
“Orang ini bukan jualan, tetapi beramal mungkin,” kata saya dalam hati.
Sebelum kopi buatannya ini sampai kepada tangan pembeli, ia selalu memerhatikan dengan teliti dan menjalankan produksi kopi ini sesuai dengan ilmu yang ia peroleh untuk menjaga kualitas dari tiap butirnya. Karena menurutnya, tanpa melakukan proses seperti ini toko dan pabrik kopi Aroma tidak memiliki ciri khas lagi.
“Kita ini jangan pernah menipu pembeli mengenai kualitas kopi yang baik (...) di sini semua alami, karena pabrik jaman dahulu tidak ada yang seperti pabrik jaman sekarang yang menggunakan bahan kimia dan serba instant. Karena itu, kami mempertahankan proses jaman dulu karena bagus, tidak merugikan,” ungkapnya seraya mengingatkan. Selain itu, pernyataan yang sangat mengesankan ditengah riuhnya perdagangan di bawah payung kapitalisme yang selalu mencari ruang dan pasar baru adalah ketika ia mengaku kalau dirinya tidak hanya mengejar hasil dari produksi massal untuk memenuhi permintaan pasar, karena hanya satu toko kami, di sini, Jl. Banceuy no. 51 Bandung, tambahnya sambil menunjukan telunjuk ke lantai sebagai penekanan.
Alat tua berpengalaman
Sedari pagi, Widya bersama enam karyawannya sudah sibuk menyangrai kopi dengan teknologi yang masih prima walaupun tampak tua.
“Tidak hanya gedungnya yang tua ya pak, alatnya juga begitu?,” tanya saya.
“Ya, Teknologi yang ada di sini adalah teknologi tepat guna, jadi biarpun tua tetapi masih bagus untuk menciptakan kopi bermutu baik,” tandasnya.
Alat sangrai tua itu bernama roaster. Ukurannya cukup besar dengan tungku berbentuk menyerupai globe yang bergerak memutar di atas tempat pembakaran dan tepat di bawah mulut lubang bulatan itu terdapat bidang datar yang cukup luas untuk menyimpan kopi yang telah dipanggang atau tempat pendinginan. “Bekerjanya itu memutar konstan yang menyebabkan kopi selalu bergerak di dalam tungku yang menyebabkan biji kopi terpanggang dengan rata,” katanya. Lalu, untuk mengetahui tingkat kematangannya, Widya selalu mengecek biji kopi tersebut dengan teliti melalui lubang kecil yang terdapat besi panjang bercelah pada ujungnya. Sambil menarik besi panjang berlubang yang telah terisi beberapa biji kopi panas, Widya menerangkan kalau tungku besarnya ini terbuat dari batu dan semen yang dicampur brown sugar. “Tungku ini awet karena jika semakin panas pembakarannya kandungan gula akan membuat tungku semakin rekat semennya dan hal ini membuatnya awet,” kata Widya. Selain itu, Widya pun menerangkan satu rahasia tentang proses pembuatan kopi Aroma agar lebih beraroma, yakni dengan cara membakar tungku yang berisi biji kopi dengan limbah kayu karet. Karena proses pembakaran ini, kopi dapat beraroma lebih wangi.
Roaster, alat pemanggang biji kopi |
Setelah dua jam, proses pemanggangan selesai dan kopi bisa di simpan di atas bidang datar untuk ditiriskan. Kemudian, salah seorang pekerja meratakan tumpukan kopi tersebut dengan menggunakan kayu panjang dan mengacak-ngacaknya untuk mempercepat proses pendinginan. “Jadi harus di dinginkan dulu sebelum di giling,” kata pria yang pernah juga belajar tentang kopi di Singapura ini.
Usai pemanggangan dan pendinginan, biji kopi akan lebih kering. Lalu, biji-biji tersebut dimasukan ke dalam suatu alat pemilah yang juga tua untuk memisahkan biji yang berat dan yang ringan. “Biji kopi yang berat itu lebih lebih bagus, jadi kita memerlukan tahapan ini,” ujar Widya. Setelah itu, dengan menggunakan kemasan bergaya lawas, kopi Aroma siap dipasarkan dan diseduh dalam suasana rumahan maupun dalam ruang lainnya. Agar kopi Aroma lebih terasa nikmat, kopi ini mesti diseduh dengan air masak yang mendidih. Setelah di aduk membusa, kemudian masukan sedikit gula dan kopi khas tahun 1930-an ini bisa di nikmati dalam riuh maupun santai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar