Oleh: Damar Fery Ardiyan
Dalam pandangan tradisional, teori adalah jumlah keseluruhan dari proposisi-proposisi tentang suatu subjek. Proposisi-proposisi itu terjalin satu sama lain sehingga terbentuk semacam susunan di mana hanya beberapa saja yang dapat menjadi proposisi dasar sedang proposisi lainnya adalah penurunan dari proposisi dasar tersebut. Makin sedikit proposisi-proposisi dasar, makin kokoh dan sempurna suatu teori (Sindhunata, 1982: 72).
Jadi tujuan teori tradisional yakni membangun konsep-konsep umum mengenai semua hal. Ini tampak dalam cita-citanya yang selalu ingin meraih universal systematic science. Konsep-konsep umum itu dipakai sebagai semacam peralatan teknis untuk menganalisa apa saja dan dapat digunakan pada setiap kesempatan. Dari sini terlihat bahwa teori tradisional bersifat netral, karena ia menyediakan diri hanya sebagai alat, yang siap pakai untuk menganalisa secara teknis setiap hal dan keadaan termasuk masyarakat.
Berdeda dengan teori tradisional, teori kritis tidak lagi berpusing dengan prinsip-prinsip umum, membangun pengetahuan yang kukuh dan tertutup pada dirinya sendiri, seperti dilakukan teori tradisional. Teori kritis bertujuan untuk memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari masyarakat irasional dan dengan demikian memberikan pula kesadaran untuk pembangunan masyarakat rasional tempat manusia dapat memuaskan semua kebutuhan dan kemampuannya. Sebagaimana yang dungkapkan Max Horkheimer:
..teori kritis adalah sebuah unsur hakiki dalam usaha sejarah manusia untuk menciptakan suatu dunia yang dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan dan kekuatan-kekuatan manusia … tujuanya yakni pembebasan manusia dari perbudakan (Sindhunata, 1982: 80).
1. Latar Belakang Historis Tradisi Kritis pada Sekolah Frankfurt
Kehadiran Teori kritis tidak dapat dipisahkan dari pendiri Sekolah Frankfurt atau Institut für Sozialforschung, Max Horkheimer. Max Horkheimer dilahirkan 14 Februari 1895 di Zuffenhausen dekat Stuttgart. Ayahnya, Moriz (Moses) Horkheimer seorang Yahudi totok. Ia mendidik Max dengan keras dan mengharuskan anaknya mengelola perusahaannya, Pabrik Tenun Moriz Horkheimer. Sekejap Max menuruti ayahnya dan menjabat sebagai direktur muda pada perusahaan itu. Tetapi jabatan ini tidak lantas membuat hati Max senang. Perasaan itu dituliskan dalam buku hariannya:
Aku mempunyai jabatan empuk dan masa depan penuh janji dalam bisnis ayahku. Aku dapat memuaskan diriku dengan segala kenikmatan dunia yang menarik diriku. Dapat pula aku membenamkan diri dalam pekerjaanku, menyenangkan hatiku dan kegemaranku – tapi … api kerinduan yang menyala-nyala itu membakarku … Aku nampaknya tidak mampu mengendalikannya, maka biarlah kuserahkan diriku untuk dibimbing oleh kerinduanku itu seumur hidupku, tak peduli perjalanan sinting itu membawaku (Sindhunata, 1982: 3).
Kemudian, karena tidak tahan dengan pertengkaran dengan ayahnya yang kerap memaksakan kehendak dan lebih-lebih karena Max dilarang menikah dengan Rose Chistine Riekhe, sekretaris ayahnya yang berusia Sembilan tahuh lebih tua, Max Horkheimer memutuskan untuk pergi ke Freiburg untuk belajar psikologi dan kemudian filsafat.
Perkenalan Horkheimer dengan filsafat bermula melalui buku filsuf pesimistis Schopenhauer, Aphorisms on The Wisdom of Life yang diberikan sahabatnya Friedrich Pollock. Ia jatuh simpatik kepada Schopenhauer, filsuf pesimistis yang menentang kesombongan rasionalisme dengan ajarannya tentang kehendak buta serta tragedi yang diakibatkannya (Sindhunata, 1982: 3)
Tahun 1923, Horkheimer lulus dengan summa cum laude dalam mempertahankan disertasinya tentang Kant. Idealisme Kant (juga filsafat Hegel) kelak akan memengaruhi pemikiran Horkheimer. Tiga tahun kemudian, ia dikukuhkan sebagai guru besar di Universitas Frankfurt. Tiga tahun setelah pengangkatan ini pula, ia menikah dengan wanita yang amat dicintainya, Rose Chistine Riekhe.
Perang dunia I sudah berakhir. Peta politik berubah dengan suksesnya Revolusi Bolshevik di Rusia. Ketika itu, sebagian cendekiawan kiri Jerman bergabung pada Sekolah Frankfurt, yang berhaluan Marxisme. Atas ajakan Pollock, Horkheimer masuk menjadi anggota Sekolah Frankfurt karena marxisme dirasa dapat memuaskan kerinduan masa mudanya, apalagi kerinduan itu makin dibakar oleh api revolusi November 1918. Disemangati api revolusi tersebut, Horkheimer mendambakan terjungkirnya masyarakat yang dianggapnya mencekam kebebasan individu.
Sekolah Frankfurt sendiri didirikan oleh Felix J. Weil, seorang sarjana ilmu politik pada 1923. Dengan dana yang diterima dari ayahnya, Hermann Weil, Sekolah Frankfurt menghimpun cendekiawan-cendekiawan kiri untuk menyegarkan kembali ajaran Marx sesuai dengan kebutuhan saat itu. Sejak semula Weil ingin agar kelompok cendekiawan yang tergabung dalam institutnya benar-benar independen dari kelembagaan maupun kepartaian, walaupun kelak institut ini berafiliasi dengan Universitas Frankfurt. Namun, institut yang dibangun Weil ini dapat mempertahankan idependensi sekolah ini baik secara material maupun intelektual.
Anggota cendekiawan pertama dalam sekolah tersebut adalah Friedrich Pollock (ahli ekonomi), Theodor W. Adorno (musikus, ahli sastra, psikologi dan filsuf), Herbert Marcuse (murid filsuf Martin Heideger yang mencoba memadukan fenomenologi dan marxisme yang kemudian terkenal sebagai “nabi” dan “inspirator” gerakan new left di Amerika), Erich Fromm (ahli psikoanalisis Freud), Karl August Wittfogel (ahli sinology), Franz Neumann dan Otto Kircheimer (ahli-ahli hukum), Leo Löwenthal (sosiolog), Walter Benjamin (kritikus sastra) dan Max Horkheimer sendiri.
Bulan Januari 1931, Horkheimer diangkat sebagai direktur baru Sekolah Frankfurt, setelah Profesor Carl Grünberg (seorang marxis orthodoks dari Austria). Di bawah Horkheimer Sekolah Frankfurt mengalami jaman keemasannya. Sebagai direktur, Horkheimer menggariskan konsepsinya tentang filsafat sosial sebagai “interpretasi filosofis tentang nasib manusia sejauh manusia bukan dipandang sebagai individu, tetapi sebagai anggota masyarakat. Dengan demikian, objek dari filsafat sosial adalah “semua kelembagaan yang bersifat material dan spiritual dari kemanusiaan secara keseluruhan.”
Oleh karena itu, ia menyerang filsafat yang puas dengan ide-ide belaka, sementara membiarkan individu di dunia ini kehilangan “makna filosofis” dari idea-idea tersebut. Manusia diandaikan mempunyai kebebasan tapi dalam kenyataan sosial kebebebasan itu terbelenggu dalam pelbagai bentuk seperti keterasingan, pengangguran dan paksaan. Filsafat macam itu hanyalah kaki tangan atau antek penindasan kelas penguasa.
Horkheimer menggariskan dengan tegas bahwa metode analisa Sekolah Frankfurt bukanlah vulgar Hegelian yang menganggap dasar dan penggerak dunia atau sejarah itu Roh; bukan pula vulgar Marxist yang menganggap kejiwaan manusia, kepribadian juga hukum, kesenian dan filsafat sebagai semata-mata cermin dari bidang ekonomi. Tetapi, metode Sekolah Frankfurt haruslah dapat menangkap hubungan dialektis antara realitas material dan realitas mental, seperti apa yang telah dilakukan Marx dengan kritik ekonomi politiknya (Sindhunata, 1982: 23)
Bidang ekonomi memang menjadi sasaran utama kritik Sekolah Frankfurt, tetapi Horkheimer juga menganggap bahwa bidang-bidang kebudayaan, termasuk di dalamnya ideologi dan politik, juga harus dijadikan sasaran kritik Sekolah Frankfurt. Analisa ideologi dapat menolong orang untuk memahami betapa ideologi sangat berperan dalam mengacaukan kenyataan sosial. Dalam hal ini, Horkheimer seperti yang mendahului pendahulunya, termasuk Marx yang ingin membokar ideologi tidak hanya dengan menunjuk kenyataan ekonomis yang dipalsukan ideologi melainkan juga dengan cara menerangkan struktur psiksis manusia yang terlibat dalam ideologi tersebut. Oleh karena itu, Horkheimer dengan berani memasukan psikoanalisa Freud ke dalam Sekolah Frankfurt (hal ini tidak dapat dikerjakan oleh kalangan Marxis).
Pendeknya, di bawah Horkheimer, Sekolah Frankfurt mendapat wajah baru, melebihi Grünberg, bahkan kaum marxis lain sebelumnya: “…periode kedua dari critical Marxism, yakni teori kritis dari Sekolah Frankfurt memunyai kesempatan untuk melampaui para pendahulunya, terutama disebabkan karena pandangan dan keluwesannya dalam dua bidang kunci teori kemasyarakatan, yakni sosiologi politik dan teori kebudayaan. Atas alasan tersebut maka ajaran Sekolah Frankfurt lebih tepat disebut sosiologi politik dan teori kebudayaan daripada teori ekonomi politik (Sindhunata, 1982: 24).
2. Pengaruh Kapitalisme Monopolis dan Fasisme
Shindunata dalam Dilema Usaha Manusia Rasional (1982) mengatakan kalau munculnya Sekolah Frankfurt berbarengan dengan suburnya perkembangan kapitalisme monopolis (monopoly capitalism) di Eropa. Sekolah Frankfurt memahami kapitalisme monopolis sebagai suatu tahap kapitalisme di mana usaha-usaha raksasa menguasai pasar, mengatur dan menentukan harga, sementara perusahaan-perusahaan kecil dengan serta merta digulungnya. Menurut mereka, “kecenderungan dari ekonomi sekarang (kapitalisme monopolis) adalah menghapuskan pasar dan dinamika persaingan bebas.”
Kapitalisme monopolis dengan demikian mengakhiri kapitalisme liberal. Kebebasan pasar (the primacy of the market) dari kapitalisme liberal telah diganti dengan kontrol ketat perusahaan-perusahaan besar (the primacy control). Pemilikan (ownership atau private property) sudah lebur dengan sendirinya menjadi kekuasaan ekonomis perusahaan-perusahaan besar. Sistem pekerjaan bebas (free labour) yang masih bisa dijalankan di jaman kapitalisme liberal karena individu sedikit banyak tetap tergantung pada pemilikan, kini sudah terhapus dengan sendirinya, diganti dengan kerja upahan yang ketat dan kaku serta paksaan (Sindhunata, 1982: 26).
Pada gilirannya kapitalisme monopolis ini mau tidak mau mengundang campur tangan Negara, sebagi alat kontrol yang paling efektif untuk mengendalikan gerak perusahaan-perusahaan besar. Menurut Horkheimer, dewasa ini sejumlah besar perusahaan industri dan perbankan telah tumbuh dengan luar biasa, sehingga tak ada Negara, betapapun ia berdalih laissez-faire, dapat duduk bermalasan dan menunggu salah satu dari mereka jatuh bangkrut. Sebab kebangkrutan salah satu raksasa ekonomi itu akan menimbulkan akibat yang membahayakan bagi seluruh ekonomi dan dengan demikian seluruh bidang politik. Itulah alasan ekonomis mengapa makin bertumbuh campur tangan Negara di bidang ekonomi. Malahan campur tangan itu kemudian menjadi monopoli Negara di bidang eknomi, sebab akan sangat membahayakan bagi Negara bila perusahaan-perusahaan raksasa menentukan keuntungannya secara sepihak. Dengan demikian terjadilah peralihan dari kapitalisme monopolis ke kapitalisme Negara (Sindhunata, 1982: 26).
Oleh sebab itu, Pollock diberi tugas untuk menganalisa kapitalisme Negara itu. Ia menerangkan bahwa kapitalisme Negara mengatasi konsep kapitalisme monopolis yang baru saja terjadi. Menurut Pollock, organisasi-organisasi monopolistis dulu masih suka mengacau kestabilan pasar. Organisasi-organisasi itu dulu bertindak sebagi kelompok bebas yang berusaha memburu kemungkinan produksi-produksi dari kelompok lain untuk bertumbuh. Kini mereka secara serempak bertindak sebagai agen-agen Negara dalam peranannya di pasaran. Semua organisasi-organisasi monopolis merasa mempunyai tangung jawab kolektif untuk mengatur seluruh proses ekonomi Negara dan karenanya dengan demikian mempertahankan struktur sosial yang sedang berjalan. Pemegang monopolis dengan demikian bertindak sebagai teknokrat dan birokrat dari Negara di jaman kapitalisme Negara.
Pada waktu analisas ini dikerjakan, fasisme Jerman sedang bertambah kuat. Sekolah Frankfurt bertanya, mengapa fasisme bisa kuat di tengah kapitalisme Negara sedang subur? Itu disebabkan karena fasisme adalah jawaban langsung dari perkembangan kapitalisme Negara. Kembali Pollock menerangkan ini:
Di bawah bentuk totaliter dari kapitalisme Negara, Negara adalah alat kekuasaan dari sekolompok penguasa baru, yang berasal dari campuran vested interests, personal atas dalam manajemen bisnis dan industry, birokrat-birokrat Negara (termasuk militer) dan figur-figur terkemuka dan birokrasi partai yang berkuasa. Siapa saja yang tidak termasuk dalam kelompok tersebut hanyalah akan merupakan objek penindasan semata-mata (dalam Sindhunata, 1982: 27).
Maka Sekolah Frankfurt menganggap bahwa negara otoriter Jerman di bawah Hitler adalah bentuk politik yang paling cocok dengan kapitalisme Negara. Dengan kata lain, benih-benih dalam kapitalisme liberal sendiri yang mau tak mau pasti mengakibatkan timbulnya Negara otoriter atau fasisme. Kata Horkheimer, “fasisme tidak berlawanan dengan masyarakat borjuis, tapi dalam kondisi sejarah yang tertentu, ia merupakan bentuk yang paling cocok bagi masyarakat borjuis.”
Di jaman kejayaan fasisme yang bergandengan dengan kapitalisme Negara membuat habis riwayat individu. Nilai-nilai seperti kebebasan, kebahagiaan pribadi larut dalam perencanaan yang total dan komprehensif. Kapitalisme Negara dengan bantuan teror politis yang dahsyat dari fasisme dapat mencengkam individu di bawah cakar kekuasaannya. Untuk memperteguh kekuasaannya, mereka menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru, menggiring masyarakat menuju ke konsumerisme, sementara individu tidak berkuasa apa-apa lagi.
Dihadapkan pada kenyataan seperti itu, Horkheimer dan kawan-kawannya merasa yakin bahwa apa yang dikatakan Marx bahwa kelas proletariat akan dapat dijadikan harapan untuk mengjungkirkan sistem kapitalisme karena dampak dari kapitalisme ini menciderai kelas proletariat. Tetapi nyatanya, kelas proletariat ini tidak jadi memberontak, karena rezim fasisme Jerman dapat mencegah kemungkinan itu dengan melemahkan kesadaran proletariat dari unsur-unsur revolusionernya.
Oleh karena itu, tidak mungkin analisa ekonomi seperti yang dibuat Marx akan memadai. Maka Sekolah franfurt beralih ke analisa ideologi yang meliputi kesadaran dan struktur prikis kaum proletar pada waktu itu.
3. Latar Belakang Teoritis
Sejak semula Sekolah Frankfurt menjadikan marxisme sebagai titik tolak pemikirannya. Namun Sekolah Frankfurt juga meletakan dirinya dalam perspektif idealism Jerman, yang dirintis Immanuel Kant (kritisisme) dan memuncak pada ajaran Hegel (dialektika). Dan ketika Horkheimer menjabat direktur, ia memasukan ajaran Freud ke dalam pemikiran Sekolah Frankfurt. Meski hal tersebut dianggap melanggar keortodoksan marxisme, Horkheimer tetap beranggapan bahwa psikoanalisa Freud merupakan kebutuhan mendesak bagi teori kritis untuk menghadapi tantangan jaman modern di mana terjadi kapitalisme monopolis dan fasisme.
a. Kritisisme Kant
Kant disebut sebagai filsuf kritis pertama oleh cedekiawan Sekolah Frankfurt, karena Kant tidak lagi mempersoalkan bagaimana merumuskan dan mensistematisir isi pengetahuan. Kant sendiri menamakan filsafatnya sebagai kritis, dalam arti bahwa akal budi harus menilai kemampuan dan keterbatasannya dan hanya lewat kemampuan dan keterbatasannya itu akal budi mengetahui sesuatu. Jadi, Kant berpaling dari mempersoalkan objek untuk mempersoalkan subjek.
Menurut Kant, objek pada dirinya sendiri tidak pernah dapat kita ketahui; objek itu benar-benar das ding an sich (sesuatu pada dirinya sendiri). Sesuatu itu kita pahami sesuai dengan syarat-syarat akal budi kita yang subjektif. Kant menyebut syarat-syarat itu sebagai kategori-kategori apriori. Dengan demikian kategori-kategori apriori itulah yang menentukan pengetahuan kita akan sesuatu, bukan isi objektif dari sesuatu tersebut (dalam Sindhunata, 1982: 31).
Sekolah Frankfurt menghargai Kant karena mereka menganggap Kant telah menemukan otonomi subjek dalam membentuk pengetahuannya. Di sinilah pengertian kritis yang pertama: “pengetahuan kita tidak ditentukan oleh objek, tetapi subjek yang menghasilkan pengetahuan itu.”
b. Dialektika Hegel
Berpikir secara dialektik berarti (1) berpikir dalam totalitas. Totalitas ini bukan berarti semata-mata keseluruhan, di mana unsur-unsurnya yang bertentangan bediri sejajar. Tapi totalitas itu berarti keseluruhan yang mempunyai unsur-unsur yang saling bernegasi (mengingkari dan diingkari), saling berkontradiksi (melawan dan dilawan) dan saling bermediasi (memperantai dan diperantai).
Dalam hubungan ini mesti dicatat bahwa pemikiran dialektis sama sekali lain dengan kompromi, justru karena pemikiran dialektis mempunyai kontradiksi, negasi dan mediasi sebagai ciri dan sifatnya. Kompromi dengan gampang dicapai dengan persetujuan, di mana unsur-unsurnya yang bertentangan dengan mudah diabaikan. Kompromi dengan demikian menjadi sekedar perpaduan. Malahan dalam arti tertentu kompromi bisa berarti saling meniadakan unsur-unsur yang bertentangan. Jalaslah, bahwa proses dialektis tidak dapat sekedar dirumuskan sebagai “thesis” – “antithesis” – “synthesis.”
Selain itu, (2) seluruh proses dialektis itu sebenarnya merupakan “realitas yang sedang bekerja. ”Realitas yang sedang bekerja ini merupakan proses dari pernyataan diri akal budi manusia yang telah mencapai kesempurnaannya dalam Roh Absolut:
Buat Hegel, realitas itu bukan suatu yang statis, jadi, bulat, suatu “substansi,” melainkan berkembang, mengasingkan diri, menemukan diri kembali, menyadari diri melalui taraf-taraf dialektis yang semakin mendalam: realitas itu “subjek.” Di belakang realitas alam dan manusia dengan masyarakat dan pemikirannya berlangsung “proses” pernyataan diri roh alam semestanya (pernyataan Dr. Frans von Magnis dalam Shindunata, 1982: 35)
Berpikir dialektis juga berarti (3) berpikir dalam perspektif empiris-historis dan (4) berpikir dalam kerangka kesatuan teori dan praxis. Pemikiran dialektis tidak mengandaikan adanya kesenjangan antara teori dan praksis, karena berpikir dialektis adalah sama dengan berpikir dalam kesatuan teori dan praksis. Menurut Hegel, teori macam itu harus berpangkal pada realitas, ia harus meliputi kesadaran kita tentang realitas, termasuk kemampuan kita untuk mengubah realitas.
c. Kritik ekonomi politik Karl Marx
Marx ingin membangun suatu filsafat praksis yang benar-benar dapat menghasilkan kesadaran untuk merubah realitas, yang pada waktu itu sangat tidak berkenan, yakni masyarakat kapitalis berkelas dan bercirikan penghisapan. Untuk membangun filsafat praxis ini, Marx menggunakan metode dialektis Hegel, hanya metode ini diletakan dalam perspektif materialis (realitas ekonomi). Marx ingin mengarahkan teorinya ini untuk suatu praxis sosial yang revolusioner. Marx tidak lagi hanya ingin menerangkan atau memahami apakah keterasingan itu, tapi ia ingin menghapuskan keterasingan itu. Marx pun tidak hanya ingin memahami masyarakat berkelas di mana terjadi penghisapan dan ketidakadilan, tetapi ingin juga menghapuskannya.
Dalam Das Capital, Marx memusatkan diri pada analisa ekonomi kapitalis dan dinamikanya. Sebagai ahli ekonomi, Marx menggambarkan hukum-hukum ekonomi kapitalisme dan berusaha untuk memperlihatkan bahwa cara produksi kapitalis dengan sendirinya akan membawa kapitalisme pada keruntuhannya (Sindhunata, 1982: 41). Penyelidikan Marx ini sebenarnya tidak dijalankannya dalam rangka ekonomis semata-mata, melainkan harus dipahami dalam rangka usaha untuk membuka syarat-syarat pembebasan manusia dari penindasan kekuatan-kekuatan ekonomi. Dan justru supaya pembebasan itu dapat dijalankan secara nyata, Marx mempelajari hukum-hukum kenyataan ekonomis. Maka, penyelidikan ekonomi Marx itu mempunyai makna emansipatoris.
Menurut Marx, hakikat ekonomi kapitalisme adalah memburu profit sebanyak-banyaknya. Profit tersebut datang dari tukar menukar, tetapi Marx menegaskan bahwa profit itu pasti tidak diperoleh dengan cara tukar-menukar biasa, melainkan dengan cara penghisapan. Penghisapan yang khas dari kapitalisme adakah nilai lebih. Nilai lebih adalah nilai yang diberikan secara “terpaksa” oleh buruh melampaui apa yang de facto ia butuhkan. Selain nilai lebih, kritik Marx yang penting lagi yakni terhadap nilai tukar dalam kapitalisme. Dengan demikian, teori kritis Sekolah Frankfurt yang mewarisi pengertian kritis dari kritik ekonomi politik Marx memang bukanlah penyelesaian akhir tapi teori kritis macam itulah merupakan “suatu premis untuk tindakan yang benar.” Betapa kritik ekonomi Marx memengaruhi Sekolah Frankfurt dapat dilihat dari pernyataan Horkheimer tahun 1938, “perlawanan terhadap ideologi, jika tidak didasarkan pada analisa tentang ekonomi yang sedang mapan adalah kritik yang miskin (jelek), malahan tidak bisa disebut kritik dalam arti sesungguhnya.
d. Kritik ideologi lewat Freud
Psikoanalisa Freud menjadi penting bagi Sekolah Frankfurt ketika Erich Fromm menjadi anggotanya pada tahun 1932. Dalam pelbagai kepalsuan ideologis yang terdapat dalam sistem kapitalisme, Fromm menganggap bahwa kesadaran langsung itu ditentukan oleh kenyataan. Bagi Fromm, ada missing link dalam kritik ideologi Marx. Maka psikoanalisislah yang kiranya dapat menerangkan dengan tepat hubungan antara basis (kehidupan material yang real) dan bangunan atas kesadaran manusia.
Seperti diajarkan Freud, Fromm menunjukan bahwa dalam hidup psikis terdapat dua naluri dasar yang selalu berkonflik, yakni naluri seksual dan naluri mempertahankan diri. Naluri mempertahankan diri selalu minta dipuaskan secara langsung, misalnya rasa lapar hanya dapat dipuaskan dengan makanan. Sedangkan, naluri seksual dapat digantikan, disublimasikan dan dipuaskan dalam fantasi. Jadi, naluri seksual itu lebih luwes terhadap kondisi sosial yang tidak dapat memuaskan, sedangkan naluri mempertahankan diri sangat kaku terhadap lingkungannya. Maka, ideologi mesti ditinjau dalam hubungan dengan naluri seksual, karena ideologi adalah semacam fantasi yang dapat memuaskan naluri seksual itu.
Buat Sekolah Frankfurt, usaha Fromm untuk mengintegrasikan psikoanalisa Freud dan ajaran Marx dari sudut teori tentang naluri itu memang merupakan sumbangan besar untuk memperkaya kritik ideologi mereka. Namun mereka beranggapan bahwa teori Freud tentang superegolah yang paling memberi kunci untuk menjalanan kritik ideologi.
Menurut Fromm dalam Sindhunata (1982), teori Freud tentang superego memberi alasan jelas mengapa masyarakat dapat memanipulir naluri-naluri bawaan demi suatu identifikasi yang disodorkan masyarakat. Dengan teorinya tentang Kompleks Oedipus yang diterapkan kepada masyarakat secara lebis luas, Freud menerangkan bahwa “ego ideal” atau “superego” dapat berbentuk pribadi, kelompok yang mungkin saja dibenci dan dimusuhi secara aktif (seperti anak terhadap bapak dalam keluarga) tapi toh individu atau kelompok tertarik dan kagum padanya. Pada jaman ini ajaran Freud itu bisa berbunyi, kendati pengusaha itu dibenci dan tidak disukai, toh kelas yang ditindas oleh penguasa tetap tertarik secara emosional kepada penguasa tersebut. Superego tersebut bisa berbentuk rasionalisasi atau ideologi penguasa yang terus-menerus menentukan anggota masyarakat tapi anggota masyarakat tetap mematuhinya.
Dengan demikian, Sekolah Frankfurt menurunkan pengertian kritisnya yang keempat dari teori superego Freud, yang dianggapnya cocok untuk menjalankan kritik ideologi. Bersama Freud, mereka yakin bahwa individu menderita di bawah perlbagai paksaan dan tekanan dalam bentuk “tingkah laku” dan “cara berikir” yang sudah ditentukan bukan oleh kemauannya. Individu sebagai subjek itu lalu memperdaya dirinya dalam segala macam tindakannya, lewat internalisasi, ia juga bersekongkol dengan pembatasan-pembatasan yang dipaksakan kepadanya. Sekolah Frankfurt ingin benar-benar memahami pelbagai ilusi itu, supaya individu dapat membebaskan dirinya dari konflik-konflik terinternalisir yang membutakan dirinya dan memincangkan tindakannya.
4. Gagalnya Teori Tradisional dalam Pandangan Max Horkheimer
Kenetralan teori tradisional sejiwa dengan cita-cita Descarte (1596-1650) sebagai perintis lahirnya teori tradisional. Filsafat Descartes berusaha mencapai proposisi-proposisi umum yang netral dengan cara kerja deduktif, seperti yang biasa dikerjakan oleh ahli ilmu pasti dalam mencapai rumusan-rumusan umumnya.
Pengaruh Descartes meresapi pelbagai cabang ilmu pengetahuan, termasuk ilmu kemasyarakatan. Husserl dalam Sindhunata (1982) misalnya mendefinisikan teori ini sebagai “sebuah sistem tertutup dari proposisi-proposisi bagi suatu ilmu pengetahuan secara keseluruhan.”
Dasar berpijak teori tradisional adalah ilmu pengetahuan. Ini Nampak dalam filsafat Descartes yang memakai cara kerja ilmu pasti atau positivisme yang membangun filsafatnya dengan cara kerja ilmu alam. Menurut positivism, ilmu pengetahuan mencukupi dirinya sendiri, berdikari dan bebas. Maka pada hematnya, masyarakat bisa dimajukan dan “diselamatkan” asal mau tunduk pada hukum dan metodologi ilmu pengetahuan alam. Teori tradisional juga tidak bermaksud memengaruhi fakta yang hadir di hadapannya. Ia memandang fakta secara objektif, artinya fakta sebagai fakta lahiriah apa adanya. Hal ini tampak dalam pendiriannya bahwa penelitian objektif tidak boleh dicampurkan dengan pengaruh nilai-nilai. Dengan kata lain, nilai-nilai itu mesti dipisahkan dengan penelitian.
Demikian ciri dan sifat teori tradisional. Ia netral terhadap fakta di luar dirinya. Ia berpijak hanya pada ilmu pengetahuan, dan ia memisahkan teori dan fakta karena memandang fakta hanya secara lahiriah. Berdasarkan tiga hal tersebut Horkheimer menuduh teori tradisional sebagai teori yang bersifat ideologis: (1) kenetralannya menjadi kedok pelestarian keadaan yang ada. Dengan hanya menganalisasa serta mengatur fakta secara teknis, teori tradisional tidak bertanya mengapa realitas samapai terjadi. Dengan kata lain ia menerima dan membenarkan realitas begitu saja; (2) teori tradisional berpikir secara “ahistoris.” Teori tradisional memutlakan ilmu pengetahuan sebagai satu-satunya unsur yang bisa memajukan dan “menyelamatkan” masyarakat. Dengan demikian, teori tradisional melupakan masyarakat dalam prosesnya yang “historis.” Kehidupan real tidak hanya tergantung pada ilmu pengetahuan tapi juga pada pelbagai sektor lain dalam masyarakat; (3) teori tradisional memisahkan teori dan praxis. Dengan memisahkan teori dan praxis, teori tradisional hanya memikirkan teori demi teori, maka ia menjadi ideologis karena fakta di luar dibiarkannya begitu saja. Berarti ia juga menerima dan membenarkan fakta atau realitas sebagai apa adanya. Ia tidak memikirkan bagaimana teorinya dapat menghasilkan kesadaran yang bakal bisa membuahkan tindakan untuk memengaruhi bahkan mengubah fakta atau realitas.
Dengan demikian, teori tradisional tidak mungkin menjadi teori emansipatoris!
Untuk itu, teori kritis lah yang berperan kritis untuk membebaskan masyarakat dari keadaanya yang irasional jaman ini. Teori kritis hendak menjadi teori emansipatoris. Horkheimer yakin bahwa teori kritis bakal berhasil menjadi teori emansipatoris karena sifat dan cirinya seperti yang akan dilihat di bawah ini.
1. Teori kritis curiga dan kritis terhadap masyarakat. Jadi, mesti ada senjata-senjata tajam untuk membawa masyarakat menuju pembebasannya. Seperti yang ditunjukan Marx untuk mengkritisi nilai tukar dalam sistem kapitalisme.
2. Teori kritis berpikir secara “historis.” Teori kritis sangat menghormati ilmu pengetahuan namun tidak mendewakannya seperti dilakukan teori tradisional. Teori kritis berpijak pada masyarakat dalam prosesnya yang historis, jadi masyarakat dalam totalitasnya.
3. Teori kritis tidak memisahkan teori dan praxis. Teori kritis tidak pernah membiarkan fakta objektif berada di luar dirinya secara lahiriah. Teori kritis menganggap bahwa realitas objektif itu adalah produk yang berada dalam kontrol subjek. Jadi, teori itu bukan demi teori, teori itu mesti bisa memberi kesadaran untuk mengubah realitas.
Maka demikianlah keyakinan teori kritis. Semua keadaan dan masa depan sebenarnya tergantung pada manusia sendiri. Dengan wewenangnya, manusia dapat merancang sejarah yang diinginkannya, mengatur hubungan kerja yang semestinya, membentuk masyarakat sesuai dengan rasionalitasnya.