Total Tayangan Halaman

Jumat, 29 April 2011

IJASAH

Februari 2011

Daniel Dhakidae dalam Cendekiawan Dan Kekuasaan mengatakan kalau “surat kepercayaan,” kredensial tidak memiliki fungsi kecuali untuk mengesahkan sifat kealatan suatu benda, hubungan kepemilikan antar alat bahwa alat hanya mungkin bila menjadi milik alat lain dan kesepian suatu alat untuk dipakai kapan pun bila diperlukan, dalam seluruh pertalian modal. Karena itu tidak ada kata yang paling sering dipakai lembaga-lembaga penerima kerja daripada pertanyaan “apakah seseorang itu sudah siap pakai?”: apakah mahasiswa yang baru tamat universitas atau perguruan tinggi lain “siap pakai” untuk menjadi wartawan, dll. Gabungan beberapa hal itu, kredensial perguruan tinggi, dunia peralatan dan tanggapan kedunguan sebagai hasilnya – bertolak belakang dengan kesungguhan sistem perguruan tinggi di manapun.

Kredensial yang lahir dari rahim kapitalisme ini tak lain ingin mengondisikan kelas pekerja untuk tidak lagi merasa dirinya sebagai manusia yang bebas dan aktif dalam fungsi-fungsinya, kecuali fungsi hewani yang minimal untuk tetap bisa bekerja sebagai pekerja-upahan. Kemanusiaannya diinjak ke derajat mesin; sekadar alat untuk memproduksi dan mereproduksi nilai lebih bagi kapitalis. Bahkan, sekolah-sekolah sebagai aparatur utama dalam reproduksi ketundukan ini mengajarkan dan mengkuhkan ‘kebenaran’ seperti ini. Sehingga para calon angkatan kerja upahan mengganggap wajar semua ini dan percaya secara literal bahwa ini sudah sesuai dengan "amanat" dunia pendidikan. Oleh karena itu, wajar bila pekerja menuruti perintah kapitalis; wajar bila upahnya cukup hanya untuk bertahan hidup sebulan sesuai UMR; wajar bila pelajaran-pelajaran teknis mendominasi dan membuat air liur angkatan kerja menetes di sana sini; wajar bila kapitalis memperoleh keuntungan seperti sekarang; wajar bila nanti anak saya pun menjadi pekerja upahan.

Walaupun demikian, tak lantas saya urungkan niat untuk mendapatkannya. Karena  selain ada janji, saya  pun merasa perlu modal simbolik untuk masuk dalam dunia pertukaran. Seperti pekerja di sana, yang tidak dapat meminum keringat dan makan daging sendiri untuk hidup. Seperti mereka yang tidak lagi dapat mencium harum cengkeh berkualitas dan bunga anggrek Indonesia, karena bau keringat dan deru mesin yang bercampur sudah mengikis batas ruang yang memanusiakan.

Akhirnya, sesaat kita menyelesaikan proses wisuda, saya hanya bisa mengingat bahwa saya dan kamu telah disahkan segi kealatannya dalam hubungan pertukaran antara pemilik kapital dan pemilik tenaga kerja (labour power). Begitu saja..

ISA-RSA Louis Althusser

-Sedikit Catatan-

Oleh: Damar Fery Ardiyan

Oleh beberapa pengikutnya, pemikiran Karl Marx sering dipadukan dengan pendekatan strukturalisme. Dengan menggunakan strukturalisme, mereka ingin membebaskan pemikiran Marx dari konsepsi ideologi sebagai “spekulasi murni” atau kesadaran yang palsu (Larrain dalam Takwin, 2009: 75). Untuk menolak ideologi sebagai kesadaran palsu, strukturalisme harus memisahkan konsepsi ideologi dari pandangan yang menyatakan ‘subjek ikut serta dalam asal-mula pembentukan ideologi.’ Sebaliknya, materilah yang membentuk kesadaran subjek sehingga mengadopsi suatu ideologi. Ideologi bukan representasi palsu dari realitas karena sumbernya bukan subjek, melainkan realitas materil. Tokoh Marxis yang menggunakan pendekatan strukturalisme adalah Louis Althusser (1918-1990). Ia merupakan pemikir Marxis-strukturalis terpenting yang berpengaruh besar dalam kajian ideologi.

Seiring dengan pemikiran Karl Marx mengenai proses produksi kapitalis yang secara meyakinkan terbukti dalam Capital, Louis Althusser melatari pemikirannya dengan kondisi produksi yang sebelumnya diungkapkan Marx ini. Althusser yang lahir di Birmandries dekat kota Aljier, Aljazair ini mengungkapkan bahwa setiap formasi sosial muncul dari modus produksi dominan, di mana memungkinkan berfungsinya kekuatan produksi yang telah ada sebelumnya, di dalam dan di bawah relasi produksi yang definitif.

Dengan demikian, untuk mempertahankan keberadaan praktek produksi tersebut, dan demi meraih kemampuan untuk berproduksi, maka setiap tatanan sosial mesti mereproduksi kondisi produksi pada saat yang sama. Karena itu, tatanan sosial harus mereproduksi: (1) kekuatan produktif, dan (2) hubungan produktif yang sudah ada (Althusser, 2008: 4).

Berangkat dari sebuah bagian dari surat Marx pada Kugelman, bahwa “…every child knows that a social formation which did not reproduce the conditions of production at the same time as it produced would not last a year” (...tiap anak mengetahui bahwa suatu formasi sosial yang tidak mereproduksi kondisi-kondisi produksi pada saat yang sama dengan produksi yang dilakukannya, tidak akan bertahan dalam setahun).

Sebagaimana yang dikatakan Marx ini, bahwa tidak ada produksi yang dapat berlangsung jika produksi itu tidak memungkinkan reproduksi dari kondisi material produksi: reproduksi alat produksi. Semisal: bahan baku, bangunan, alat produksi (mesin) dan sebagianya yang telah habis dipakai/ haus.

Oleh karena itu, hal ini mendorong lahirnya pedagang-pedagang lain yang akan memberikan pemenuhan atas bahan-bahan untuk mereproduksi suatu produksi kepada pedagang lain (tuan lain). Untuk mengkaji mekanisme ini, yang akan membentuk 'rangkaian tanpa akhir,' sangatlah penting untuk mengikuti prosedur global Marx dan mempelajari secara khusus hubungan perputaran antara lembaga I (produksi alat produksi) dan lembaga II (produksi alat konsumsi), dan relasi nilai lebih (surplus value) dalam Capital volume I, II, dan III (Althusser, 2008: 6).

Meskipun masih memberi tempat bagi pengaruh ekonomi, Althusser beranggapan bahwa suprastruktur ideologi bukan sekedar dari representasi dari esensi ekonomi seperti yang dinyatakan Marx. Althusser memandang ideologi sebagai sesuatu yang otonom dari pengaruh basis ekonomi. Ideologi bekerja dengan caranya sendiri. Walaupun tak bisa disangkal ada pengaruh dari basis ekonomi, namun hal itu tidak dapat mencegah suprastruktur untuk berdiri otonom dari basis ekonomi. Ideolgoi memiliki kemampuan untuk melancarkan kekuasaan dan pengaruh dengan caranya sendiri terhadap basis ekonomi dan arah perkembangan perubahan sosial (Takwin, 2009: 83-84).

Dengan kata lain, Althusser melihat Marx tidak merumuskan pemikiran tentang ideologi yang cukup berarti karena ia terlalu memandang ideologi sebagai representasi dari basis ekonomi (daya dan relasi produksi). Keyakinan Marx bahwa ideologi pasti berubah tatkala suprastruktur berubah – membuatnya kurang mencermati keberadaan berbagai institusi (agama, pendidikan, keluarga, dan sebagainya) yang juga bekerja secara ideologis. Althusser melakukan revisi terhadap pemikiran Marx dan mencoba memecahkan problem-problem teoritis yang belum diselesaikan Marx, khususnya teori tentang ideologi. Dalam pandangannya, Marx menganut suatu bentuk esensialisme dengan menempatkan ekonomi sebagai esensi yang membentuk institusi-institusi sosial. Hal ini menjadikan ideologi sekedar representasi dari esensi internal tersebut (Takwin, 2009: 83).

Althusser memandang bahwa ideologi seperti sistem produksi yang sangat dipengaruhi oleh reproduksi kekuatan produktif. Hanya saja dalam reproduksi ideologi, tidak dibutuhkan kapital konstan berupa mesin-mesin untuk berreproduksi. Dengan kata lain, ideologi mereproduksi sumber daya manusia (labour power) dengan cara yang berbeda. Lantas, bagaimana reproduksi sumber daya manusia ini dapat berjalan?
Pertama, reproduksi sumber daya manusia ini dapat melalui pemberian piranti material pada buruh sehingga sumber daya manusia tersebut dapat mereproduksi dirinya sendiri: dengan pemberian upah. Upah adalah bagian tak terpisahkan dari akuntasi setiap perusahaan, dalam pengertiannya sebagai 'modal upah' (wages capital) dan bukan sebagai kondisi reproduksi material sumber daya manusia (Althusser, 2008: 7). Upah sendiri bukanlah sebagai pemenuhan reproduksi materil sumber daya manusia, melainkan hanya sebatas untuk pemulihan tenaga untuk dapat bekerja kembali esok hari.

Dengan kata lain, uang atau gaji adalah hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan atau singkat kata untuk memastikan bahwa esok hari, sang buruh dapat mempersembahkan dirinya di “altar suci” pabrik di mana ia bekerja. Selain untuk mereproduksi dirinya, upah itu pun digunakan sang buruh untuk membesarkan dan mendidik anak-anak yang merupakan sumber daya manusia yang produktif dewasa nanti (tentunya sumber daya manusia yang akan dipersembahkan kepada “tuan-tuan” dikemudian hari). Atas fakta seperti ini kita mengetahui bahwa kaum proletariatlah yang membiayai “tenaga produktif” untuk kepentingan kapitalis!

Pemenuhan tenaga kerja yang produktif bagi dunia kerja ini tidak hanya sekedar, karena suatu produksi memerlukan sumber daya manusia yang “kompeten,” yang berarti dirinya harus cocok untuk ditempatkan dalam sebuah sistem proses produksi yang kompleks. Oleh karenanya, penciptaan sumber daya manusia yang mempunyai keahlian tertentu menjadi penting. Praktis, pemenuhan atas sumber daya manusia yang kompeten ini dibebankan kepada sistem pendidikan yang berada diluar arena produksi secara langsung (seperti Negara).

Rezim kapitalis secara “pintar,” membentuk sistem seperti ini agar mereka tidak terbebani secara langsung dalam proses reproduksi mereka. Untuk itu, mereka menyerahkan tanggung jawab ini kepada sistem pendidikan dan institusi lain dalam sebuah Negara misalnya.

Dengan demikian, melalui piranti material yang telah diberikan pengusaha kepada sang buruh atas daya upayanya memeras keringat, sang buruh yang sekaligus menjadi orangtua akan mendapatkan kewajiban untuk memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anak mereka dan sekolah lah yang dapat memberikan itu.

Lantas, apa yang dipelajari anak-anak di sekolah? Tentu saja anak-anak mempelajari hal-hal yang berbeda-beda di sekolahnya, tetapi pada dasarnya mereka belajar membaca, menulis, dan berhitung, yang tak lain merupakan sejumlah teknik dasar dan bersifat umum yang akan berguna untuk menggerakan pelbagai pekerjaan produksi yang telah ada. Althusser menyebut pelajaran yang diterima anak-anak ini dengan sebutan “know-how,” sebagai pengetahuan pada level praktis dan bukan teoritis.

Di samping teknik dan pengetahuan ini, anak-anak pun perlu mempelajari 'aturan' tingkah laku yang baik; aturan moral, kewarganegaraan, profesional, yang makna sesungguhnya adalah seperangkat aturan dalam menumbuhkan respek di dalam pembagian kerja, lebih-lebih untuk menumbuhkan ketundukan pada tatanan yang telah dibangun oleh kelas dominan.

Dalam hal ini, Althusser mengatakan kalau reproduksi tenaga kerja tidak hanya membutuhkan reproduksi keahlian mereka, tetapi juga (pada saat yang sama) reproduksi ketundukan (submission) SDM kepada aturan-aturan yang sudah mapan. Misalnya, reproduksi ketundukan terhadap ideologi yang sedang beroperasi terhadap para pekerja, dan reproduksi keahlian dalam memanipulasi ideologi yang sedang beroperasi secara tepat, bagi agen-agen eksploitasi dan represi, sehingga mereka pun akan tunduk kepada dominasi kelas yang berkuasa (Althusser, 2008: 9).

1. Repressive (State)
Althusser cenderung untuk melihat Negara sebagaimana Marx melihat Negara. Tradisi Marxis di sini sangat teliti: di dalam Communist Manifesto dan Eighteen Baumaeiree of Louis Bonaparte (dan di semua teks-teks klasik sesudahnya, apapun tulisan Marxis di Paris Commune dan State and Revolution-nya Lenin, negara secara eksplisit dipahami sebagai aparatur represif (Althusser, 2008: 13). Dengan demikian negara yang dibangun atas dasar kekuasaan yang ada padanya, merupakan wujud dominasi politik atas masyarakat dan negara selalu ada di atas masyarakat.

Negara adalah mesin represi, yang memungkinkan kelas-kelas penguasa (yakni kelas borjuis dan "kelas” pemilik tanah pada abad ke-19) untuk memastikan dominasi mereka terhadap kelas pekerja, sehingga memungkinkan pihak yang disebut pertama ini untuk menundukkan pihak yang kedua, dalam proses penghisapan nilai lebih (yaitu eksploitasi kapitalis).

Althusser menekankan bahwa titik esensial dari teori Marxis tentang negara terletak dalam bentuk formasi negara, sebagaimana yang dikatakannya ini:

Negara pada awalnya adalah, seperti apa yang disebut oleh kalangan Marxis klasik sebagai, aparatus negara. Term ini berarti: tidak hanya aparatus yang terspesialisasi (dalam pengertian yang sempit) yang mana keberadaan dan kebutuhan akannya saya pahami terdapat dalam hubungan dengan keperluan dari praktek-praktek hukum, seperti, polisi, pengadilan, penjara; tetapi juga tentara, di mana (kaum proletar telah membayar pengalaman ini dengan darahnya) secara langsung mengintervensi sebagai kekuatan represif tambahan pada saat-saat yang menentukan, saat di mana polisi dan korps-korps khusus lainnya tidak lagi dapat mengatasi keadaan; di atas semua ensamble ini adalah kepala negara, pemerintah dan administrasi (Althusser, 2008: 14)

Negara pada kondisi sejatinya adalah alat bagi kepentingan kelas yang berkuasa, fungsi esensial dari seluruh aparatur negara adalah melaksanakan fungsi-fungsi dasar dari represifitas dan intervensi terhadap kelas yang berada di bawah kekuasaan kelas penguasa. Relasi antara kelas-kelas selalu merupakan relasi yang terjadi dalam pertentangan kelas, di mana kekerasan dominasi dari kelas yang dominan berhadapan dengan kekerasan dari kelas yang terdominasi, ekses-ekses kekerasan dari kelas yang dominan ke dalam aparatus negara, sebagai alat yang menjamin berlangsungnya proses reproduksi dari hubungan produksi dalam cara produksi kapitalis. Jadi kehadiran negara dalam pengertian ini tak lain sebagai suatu kekuatan eksekusi dan intervensi represif untuk kepentingan kelas penguasa. Negara dan eksistensinya di dalam aparatus, tidak memiliki arti kecuali berfungsi sebagai kuasa negara (state power).

Apratus negara adalah aparatus yang dapat memaksakan kepatuhan secara langsung, seperti polisi, pengadilan serta sistem penjara. Melalui aparatus-aparatus ini, Negara memiliki kekuasaan untuk memaksa warga negara untuk berkelakuan “baik” secara fisik. Sifat kerjanya terutama adalah menindas. Penindasan yang dilakukan ini selanjutnya diberi arti ideologis, bernilai dan sah legal formal.
Aparatur negara berada di bawah kendali kelas penguasa yang ada dalam satu komando yang terlembagakan dalam tugas-tugas resmi. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, aparatur negara bersifat sentralistis dan sistematis dalam kerjanya. Aparatur negara ini bagi Althusser identik dengan sistem dan struktur negara, yang semata-mata berdiri sebagai penyangga kekuasaan yang sah dan eksplisit. Keabsahan ini memungkinkan aparatur negara menjangkau publik lebih luas dan gerak hidupnya sendiri bersifat politik

Tetapi kenyataannya, di dalam praktik politik, negara adalah sebuah realitas yang kompleks. Tidak hanya terbatas pada definisi negara sebagaimana yang diungkapkan oleh kaum Marxis. Realitas ini tidak bisa dipertukarkan dengan aparatus negara (represif), karena aparatus negara secara formal terdiri: pemerintah, administrasi, angkatan bersenjata, polisi, pengadilan, penjara, dll. Dan yang kemudian lebih menjadi pokok perhatian Althusser adalah persoalan; mengapa subjek dalam negara menjadi patuh, mengapa rakyat mematuhi hukum dan mengapa tidak terjadi pemberontakan terhadap kapitalisme sebagai sebuah sistem sosial ekonomi.

Pandangannya mengenai ideologi dan ideologi-ideologi berasal dari pemahamannya terhadap relasi antara negara dan subjek (antara pemerintah dan warga negara). Siapa yang membuat patuh? Tentu saja tidak hanya aparatus negara (represif), tetapi termasuk institusi tertentu dari masyarakat privat: gereja, sekolah, serikat buruh, dll.

Oleh karena itu, Althusser menyebutkan dua mekanisme utama yang memungkinkan warga Negara berkelakukan sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dalam Negara, sekalipun aturan-aturan tersebut tidak sesuai dengan kepentingan yang dimiliki oleh warga Negara, yakni represif dan ideologis. Ke dua dimensi ini erat dengan eksistensi Negara sebagai alat penindasan atau pembungkaman bagi perjuangan kelas.
Aparatur represi masuk dengan memaksa, sedang yang lain masuk dengan memengaruhi. Berangkat dari pengertian tersebut, Althusser membedakan antara perangkat Negara yang represif dengan sebutan RSA (repressive state apparatus) dan ISA (ideological state apparatus) sebagai perangkat yang ideologis. Kedua perangkat ini mempunyai fungsi yang sama yaitu melanggengkan penindasan dalam relasi produksi masyarakat.

2. Ideological State Aparratus
Bagi Althusser, eksistensi Negara dalam aparatur yang dimilikinya tidak memiliki arti apa-apa terkecuali dalam fungsi kuasa. Keinginan untuk berkuasa ini lah yang melahirkan dua mekanisme penting dalam penciptaan kepatuhan bagi warga Negara. Pertama seperti disebut sebelumnya (RSA) dan yang ke dua adalah ISA. Tidak perlu bingung membedakan ISA dengan RSA karena ke duanya memiliki fungsi yang berbeda, yang satu melalui tindak kekerasan dan yang satu melalui ideologi atau persuasif (agama, pendidikan, keluarga, media massa, dan sebagainya)..

Althusser pun sadar mengenai pembeda antara aparatus yang represif dan ideologi, tetapi pada kenyataannya tidak dapat dipisahkan. RSA memang secara massif memakai cara yang represif secara fisik, tetapi juga secara sekunder berfungsi melalui ideologi, begitu pun sebaliknya. Sebagai contoh, angkatan bersenjata dan polisi pun berfungsi lewat ideologi, baik untuk menjamin kepaduan dan reproduksinya, maupun dalam ‘nilai-nilai’ yang diajukannya secara eksternal, maupun internal. Dengan kata lain, tidak ada aparatur yang sepenuhnya represif, maupun ideologis. Oleh karenanya, keduanya memiliki fungsi ganda, walaupun ada proporsi fungsi khas yang dimiliki masing-masing.

Bentuk ideologi yang terakhir (ISA) merupakan ideologi yang dipakai negara untuk memperkuat represi dan penindasan terhadap rakyat. Piranti yang ideologis ini dibedakan dari piranti negara yang bersifat fisikal... Ideological state apparatus tampil dalam bentuk institusi pendidikan, penataran-penataran, film yang dibuat negara, acara televisi dan sebagainya. Ideological state apparatus bisa berkembang setelah ada piranti yang bersifat fisikal dan sering digunakan untuk melanggengkan penindasan fisik (Takwin, 2009: 85).

Dengan dasar pemikiran bahwa setiap individu sudah dipersiapkan sebagai subjek yang akan diletakan dalam struktur-struktur sejak struktur terkecil keluarga hingga negara, ISA bekerja secara mujarab menggiring individu menjadi subjek yang dengan kerelaan dan kehendaknya menjadi makhluk-makhluk bentukan yang bekerja melanggengkan proses reproduksi produksi tanpa perlu diawasi. Lebih jauh lagi, setiap individu juga berperan sebagai agen ideologi yang ikut serta menyebarkan ideologi melalui berbagai struktur sesuai dengan perannya, baik sebagai anggota keluarga, pekerja, pemikir, guru, pendeta dan sebagainya.
Oleh kerena itu, fungsi ISA tak lain sebagai penjaga kelangsungan hegemoni sebuah Negara dalam periode yang lama. Salah satu aparatur yang paling memengaruhi dalam ISA adalah sekolah. Sekolah merebut anak-anak sedari TK hingga pendidikan yang lebih tinggi. Melalui ideologi yang dikemas dalam sekolah ini lah, murid-murid akan merasakan bahwa dominasi penguasa adalah sebuah kewajaran.

Dengan segala syarat yang diimplikasikan oleh keperluan ini, Althusser mengategorikan institusi-institusi berikut sebagai aparatus Negara ideologis:

• ISA agama (sistem gereja-gereja yang berbeda)
• ISA pendidikan (sistem sekolah privat dan publik yang berbeda)
• ISA keluarga
• ISA hukum
• ISA politik (sistem politik, termasuk pelbagai partai yang berbeda)
• ISA serikat buruh
• ISA komunikasi (press, radio dan televisi dan sebagainya)
• ISA budaya (kesusastraan, seni, olahraga dan sabagainya)

Bagi Althusser, setiap orang punya peranan dalam menyebarkan ideologi dan menjadikan masyarakat ideologis. Ideologi-ideologi itu terbina lewat banyak hal seperti, mitos, agama, hubungan orang tua-anak, serta hubungan guru-murid. Penyebaran ideologi dan pemaksaan kehendak-kehendak negara terhadap rakyat hanya salah satu bentuk upaya pemekaran distorsi realitas dalam masyarakat. Baginya, tidak mungkin ada sebuah masyarakat yang terbebas dari ideologi. Ideologi merupakan semacam perekat bagi bersatunya anggota-anggota masyarakat, inilah sisi positif dari ideologi, meskipun kewaspadaan terhadap ‘perekat’ itu harus terus dijaga (Larrain dalam Takwin, 2009: 86).

3. Interpelasi (memanggil)
Ideologi berfungsi dengan cara halus, menjadikan manusia tanpa sadar, bahwa sebenarnya mereka terdominasi. Seperti yang dikatakan Bagus Takwin dalam pengantar buku Tentang Ideologi bahwa ideologi bagi Althusser bukanlah ‘kesadaran palsu’ seperti yang ditegaskan Marx, melainkan sesuatu yang profoundly unconcious, sebagai hal-hal yang secara mendalam tidak disadari. Ideologi adalah segala yang sudah tertanam dalam diri individu sepanjang hidupnya; history turn into nature, produksi sejarah yang seolah-olah menjelma sesuatu yang alamiah. Sejak buaian hingga kuburan, manusia hidup dengan ideologi (Althusser, 2008: xvi).

Sejalan dengan pemikiran Lacan, Althusser percaya bahwa masyarakat, lewat struktur keluarga, sudah memberikan kerangka-kerangka yang membatasi ruang pandang individu mengenali dunia. Dunia seorang manusia sejak semula adalah dunia yang terbingkai struktur yang tertanam dalam dirinya. Tumbuhlah ia menjadi manusia yang digerakan struktur, makin menjauh dari dirinya, tak disadari dan tak terhindari (Althusser, 2008: xvi).

Manusia yang menganggap dirinya sebagai subjek bebas, sebenarnya tidak lah seperti itu. Karena manusia sudah menjadi individu yang terhegemoni sebagai subjek (bebas) agar ia dapat taat sepenuhnya pada perintah-perintah (S)ubjek, yakni agar dia dapat (sepenuhnya) menerima ketaatannya, yakni agar dia membuat gerak-gerik atau tindak-tanduk dari ketaatannya ‘sepenuhnya oleh diri sendiri.’ Tidak ada subjek kecuali dengan dan demi ketaatannya. Itu sebabnya mereka ‘menjalaninya sendiri.’ Kepercayaan yang tertanam tanpa disadari itulah yang dinamakan ideologi dalam pengertian Althusser.

Lantas, bagaimana ideologi sebagai hal-hal yang tertanam mendalam tanpa disadari itu bekerja menggerakan manusia? Apa yang dirujuk oleh ideologi dan mengapa kepercayaan-kepercayaan itu ada?

Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita tengok pernyataan Althusser; “...ideologi ‘bertindak’ atau ‘berfungsi’ dengan suatu cara yang ‘merekrut’ subjek-subjek di antara individu-individu (ideologi merekrut mereka semua), atau ‘mengubah’ individu-individu menjadi subjek-subjek (ideologi mengubah mereka semua) melalui operasi yang sangat presisi, yang saya namakan interpelasi atau memanggil: “hei, kamu yang disana!”

Mungkin sulit untuk dipahami, tetapi pernyataan ini dapat dimaknai sebagai suatu usaha dari ideologi untuk selalu memanggil manusia sebagai (s)ubjek dari (S)ubjek. Dan hal ini dapat dipertegas melalui definisi ideologi yang berarti sebagai sistem gagasan dan pelbagai representasi yang mendominasi benak manusia atau kelompok sosial. Hanya saja, karena terinterpelasi, ideologi menjadi tersirat secara definitif karena manusia menganggap bahwa apa yang dilakukannya adalah suatu pilihan bebas; suatu kewajaran; tanpa tekanan dari subjek lain.

Dengan kata lain, ideologi menempatkan individu, manusia yang lahir dari alam, sebagai subjek, sebagai pihak yang memiliki tanggung jawab, sebab memiliki juga kebebasan, karena ia memiliki identitas yang berbeda dari yang lain, sebagai suatu satuan yang otonaom tersendiri yang seolah-olah lepas dari yang lain. Namun, di sisi lain sang subjek diletakan dalam rangkaian struktur yang mengandung relasi antar unsur-unsurnya. Sang subjek ternyata adalah salah satu unsur dari struktur yang hanya berarti ketika menjalin relasi dengan unsur lainnya. Gerak-gerik subjek yang seolah bebas ternyata dibatasi oleg relasi dalam sturktur. Kebebasan subjek pada dasarnya adalah ilusi yang diciptakan ideologi agar ia merasa bertanggung jawab dan mendorong dirinya melakukan serangkaian tindakan yang menghidupakan struktur yang ada sebelum ia lahir.

Jadi ideologi, memanggil atau menginterpelasi individu-individu sebagai subjek. Ideologi selalu telah menginterpelasi individu-individu sebagai subjek, yang menjelaskan bahwa individu-individu selalu telah diinterpelasi oleh ideologi sebagai subjek, yang seyogyannya membawa kita pada satu pernyataan terakhir. Individu-individu adalah subjek yang selalu menyudah (Althusser, 2008: 53).

Untuk menjaga keberlangsungan proses ini, negara dikembangkan sebagai struktur tertinggi yang mempersatukan dan memaksa individu tetap rekat dan bergerak menjalankan proses-proses itu. Negara dengan aparaturnya menjaga dengan berbagai cara agar kondisi yang menunjang reproduksi dan relasi produksi berlangsung terus. Dengan penitikberatan kepada reproduksi sumberdaya manusia, maka munculah pendidikan yang dilembagakan misalnya. Oleh karena itu,, peran RSA dan ISA lah yang akan menentukan. Mekanisme dalam Negara ini dapat menentukan warga negara untuk berbuat sesuai dengan kemauan Negara, tanpa mereka sadar dan secara wajar menyerahkan tenaga dan pikiran untuk kepentingan altar suci: produksi kapitalis.
Walaupun demikian, Althusser tidak berniat untuk membebaskan manusia dari ideologi. Baginya, setiap orang berperan menyebarkan ideologi dan menjadikan masyarakat ideologis. Maka, tidak mungkin ada sebuah masyarakat yang terbebas dari ideologi. Ideologi merupakan semacam perekat bagi bersatunya anggota-anggota masyarakat. Inilah sisi positif dari ideologi (Althusser, 2008: xxiv). Ideologi merupakan reaksi terhadap suatu dominasi. Setiap penindasan akan menghasilkan suatu usaha pada pihak tertindas untuk melepaskan diri. Salah satu alat penting dan perlu ada dalam upaya pembebasan ini adalah ideologi, suatu kepercayaan yang dibangun untuk menggerakan kelompok si tertindas (semacam ideologi kelas dalam tradisi pemikiran Leninisme) (Takwin, 2009: 86).

Sebagai akhir kata; ideologi lahir dari sebuah hubungan kekuasaan sebagai salah satu reaksi dari pihak-pihak tertindas untuk membebaskan diri.

Sedikit Catatan: Hegemoni


Oleh: Damar Fery Ardiyan

Sebagaimana yang ditunjukan oleh Perry Anderson, istilah “hegemoni” pertama kali dipakai oleh Plekhanov dan pengikut Marxis Rusia lainnya pada tahun 1880-an, untuk menunjukan perlunya kelas pekerja untuk membangun aliansi dengan petani dengan tujuan meruntuhkan gerakan Tsarisme. Kelas pekerja harus mengembangkan kekuatan nasional, berjuang untuk membebaskan semua kelas atau kelompok yang tertindas. Konsep ini kemudian dikembangkan oleh Lenin. Lenin menegaskan bahwa, ketika menjalin aliansi dengan para petani, kelas buruh Rusia harus bertindak sebagai kekuatan utama (hegemonik) dalam revolusi demokratis-borjuis untuk menggulingkan kekuasaan Tsar. Dengan cara ini, kelas buruh yang pada masa itu masih merupakan kelompok minoritas, mampu memperoleh dukungan dari mayoritas penduduk (Simon, 1999).
            Gramsci yang berasal dari Partai Komunis Italia, mengungkapkan titik awal konsepnya tentang hegemoni sebagai suatu cara menjalankan kekuasaan suatu kelas atas kelas-kelas di bawahnya. Hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunkan kepemimpinan politik dan ideologis. Pada beberapa paragraf dalam karyanya, Prison Notebooks, Gramsci menggunakan kata “direzione” (kepemimpinan, pengarahan) secara bergantian dengan “egemonia” (hegemoni) dan berlawanan dengan “dominazione” (dominasi). Penggunaan kata hegemoni dalam pengertian Gramsci harus dibedakan dari makna asalnya dalam bahasa Yunani, yaitu penguasaan satu bangsa terhadap bangsa lain (Fauzan, 2003: 8). Lebih jauh lagi Gramsci mengatakan:

Hegemoni bukanlah suatu hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Hegemoni adalah suatu organisasi konsesus (Gramsci dalam Simon, 1999).
           
Walaupun demikian, Gramsci tetap melihat bahwa negara melakukan penindasan serta represi terhadap rakyat. Hanya saja menurutnya, penindasan itu tidak melulu berbentuk penindasan dan represi fisik atau hanya penguasaan ekonomi. Negara menggunakan juga pendekatan-pendekatan persuasif melalui berbagai media dan aspek kehidupan rakyat. Negara berusaha menguasai rakyat lewat berbagai bidang mencakup seni, ilmu pengetahuan dan elemen-elemen budaya lainnya. Usaha-usaha ini tampil dalam segala sendi kehidupan lewat kegiatan-kegiatan propaganda, indoktrinasi, iklan-iklan dan institusi pendidikan. Negara berusaha masuk ke dalam individu sampai kepada pola pikiran dan nilai-nilai masing-masing individu untuk menancapkan dominasinya. Konsep hegemoni dalam pengertian Gramsci merujuk pada suatu ideologi yang sudah sedemikian doniman dan menyebar dalam suatu masyarakat (Takwin, 2009: 72).

“...sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataaan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh citarasa, kebiasaan mora, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral,” (Gramsci dalam Flick yang dikutip dari Takwin, 2009: 73).

Melalui hegemoni, negara memaksakan ideologinya kepada rakyat melalui kekuatan persuasif (media massa, pendidikan dan agama yang secara sengaja dikuasai negara). Negara merekayasa kesadaran rakyat sehingga, tanpa disadari, kesadaran itu mendukung kekuasaan negara. Pelibatan para intelektual dalam birokrasi pemerintah serta intervensi melalui lembaga-lembaga pendidikan dan seni oleh negara adalah bentuk-bentuk upaya untuk melakukan hegemoni terhadap rakyat. Dengan konsep hegemoni, kita dapat melihat Gramsci menolak bahwa yang semena-mena (arbitrer) dan psikologis. Ideologi disebarkan oleh pihak penguasa untuk terus menguasai pihak yang ditindas.
Menurut Gramsci, untuk menghilangkan pengaruh hegemoni harus dilakukan ‘counterhegemony’ yaitu penyebaran yang melingkupi aspek sosial, budaya, politik, ekonomi serta menyentuh aspek kognitif tentang ketertindasan yang disebabkan oleh hegemoni. Counterhegemony harus disertai dengan kampanye politik dan program-program pengembalian kesadaran kaum tertindas. Pengembalian kesadaran ini yang akan dapat menghilangkan efek hegemoni (Takwin, 2009: 74).
Bagi Lenin, hegemoni merupakan strategi untuk revolusi, suatu strategi yang harus dijalankan oleh kelas pekerja dan anggota-anggotanya untuk memeroleh dukungan mayoritas. Gramsci menambahkan dimensi baru pada masalah ini dengan memperluas pengertiannya, sehingga hegemoni juga mencakup peran kelas kapitalis beserta anggotanya, baik dalam merebut kekuasaan negara maupun dalam mempertahankan kekuasaan yang sudah diperoleh. Catatan pertama mengenai sejarah Italia yang ditulis pada bab pertama dari 29 bab Prison Notebooks, diberi judul “kepemimpinan politik kelas sebelum dan sesudah meraih kekuasaan pemerintah.” Gramsci membedakan antara dominasi (kekerasan) dengan kepemimpinan moral dan intelektual:

Suatu kelompok sosial bisa, bahkan harus menjalankan kepemimpinan sebelum merebut kekuasaan pemerintahan (hal ini jelas merupakan salah satu syarat utama untuk memperoleh kekuasaan tersebut); kesiapan itu pada gilirannya menjadi sangat penting ketika kelompok itu menjalankan kekuasaannya, bahkan seandainya kekuasaan tetap berada ditangan kelompok lain, maka mereka harus tetap “memimpin” (Gramsci dalam Simon, 1999).
           
Dengan demikian, Gramsci melakukan perubhan makna atas hegemoni.perubahan itu ia lakukan dari strategi, sebagaimana dinyatakan oleh Lenin, menjadi sebuah konsep. Seperti halnya konsep-konsep Marxis tentang kekuatan dan hubungan produksi, kelas, dan negara, konsep hegemoni yang ditawarkan Gramsci itu menjadi sarana untuk memahami masyarakat dengan tujuan untuk mengubahkanya. Ia mengembangkan gagasan tentang kepemimpinan dan pelaksanaannya sebagai syarat untuk memeroleh kekuasaan negara menjadi konsep tentang hegemoni. Hegemoni merupakan hubungan antarkelas dengan kekuatan sosial lain. Kelas hegemonik atau kelompok kelas hegemonik adalah keals yang mendapatkan persetujuan dari kekuatan-kekuatan dan kelas sosial lain dengan cara menciptakan dan mempertahankan sistem aliansi melalui perjuangan politik dan ideologis. Konsep ideologi dibangun dengan memasukan beberapa konsep lain yang berkaitan dengannya (Fauzan, 2003: 9) 


Hubungan Kekuatan; Ekonomi-Korporasi
            Gagagasan tentang pembangunan sistem aliansi merupakan tema sentral dari konsep hegemoni. Dalam “Beberapa Aspek Persoalan Selatan,” yaitu catatan-catatan yang ia tulis ketika ia dipenjara, Gramsci menulis: “...memobilisasi mayoritas penduduk untuk melawan kapitalisme dan kaum bojuis,” (dalam Simon, 1999).
            Kelas pekerja hanya bisa menjadi kelas hegemonik dengan memperhatikan berbagai kepentingan dari kelas dan kekuatan sosial yang lain serta menemukan cara untuk mempertemukannya dengan kepentingan mereka sendiri. Kepentingan ini tidak boleh sebatas pada perjuangan lokal atau apa yang disebut Gramsci perjuangan ekonomi-korporasi (economic-corporate struggle). Mereka pun harus siap membuat berbagai konsensus, agar bisa mewakili semua kelompok kekuatan yang besar. Jadi hubungan antara dua kelas utama, yaitu pemodal dan buruh, bukanlah hubungan pertentangan yang sederhana antara dua kelas, melainkan hubungan yang kompleks yang melibatkan kelas-kelas dan kekuatan-kekuatan sosial lainnya. Masing-masing pihak berusaha keras memperkuat aliansinya sendiri, memecah belah aliansi kelompok lain dan mengubah perimbangan kekuatan demi kepentingan kelompoknya (Fauzan, 2003: 9-10).
            Suatu kelas tidak bisa meraih kepemimpinan nasional dan menjadi hegemonik, jika kelas itu hanya mambatasi pada kepentingan mereka sendiri. Mereka harus memperhatikan tuntutan dan perjuangan rakyat yang tidak mempunyai karakter kelas yang bersifat murni, yakni yang tidak muncul secara langsung dari hubungan-hubungan produksi. Misalnya adalah perjuangan-perjuangan radikal rakyat bagi kebebasan sipil, gerakan-gerakan pembebasan nasional, gerakan perempuan, gerakan perdamaian dan berbagai gerakan yang mengungkapkan tuntutan dari minoritas etnik, dari kaum muda atau pelajar. Gerakan-gerakan itu mempunyai sifatnya sendiri dan tidak dapat dipahami semata-mata sebagai perjuangan kelas sekalipun berkaitan dengannya. Jadi, hegemoni mempunyai dimensi nasional-kerakyatan, disamping dimensi kelas. Hegemoni memerlukan penyatuan berbagai kekuatan kelas sosial yang berbeda ke dalam sebuah aliansi yang luas yang mengungkapkan kehendak kolektif semua rakyat.

Revolusi Pasif, Revolusi Intelektual, dan Moral
            Dalam menganalisis perang posisi yang berlangsung antara dua kelas utama untuk berupaya meraih hegemoni, Gramsci melakukan pembedaan tegas antara strategi yang diterapkan kelas kapitalis dengan strategi yang diterapkan kelas pekerja. Strategi kaum borjuis mempunyai sifat khusus yang dinamakan revolusi pasif (passive revolution). Ia mengembangkan konsep ini dari analisisnya terhadap risorgimento, suatu proyek penyatuan nasional Italia (termasuk pengusiran warga Austria) dan bangkitnya kekuasaan kaum kapitalis Italia Utara pada saat bersamaan. Proyek penyatuan nasional itu berhasil diwujudkan terutama melalui agen negara, tentara dan kerajaan Piedmond, bukan dengan memobilisasi mayoritas penduduk atau mendukung tuntutan pembaruan agraria kaum tani. Jadi, risorgimento merupakan ‘revolusi dari atas’ ditimbulkan melalui agen negara Piedmond (Fauzan, 2003: 10-11).
            Gramsci menekankan bahwa revolusi pasif merupakan respon khas kaum borjuis ketika muncul ancaman serius terhadap hegemoninya, sehingga perlu dilakukan proses pengorganisasian kembali secara menyeluruh dalam rangka membangun kembali hegemoninya. Revolusi pasif terjadi manakala berbagai perubahan yang berskala luas dalam struktur sosial dan ekonomi berasal dari atas, melalui agen negara, tanpa melibatkan partisipasi rakyat.
            Berlawanan dengan tindakan yang dilakukan oleh kaum kapitalis, tugas menciptakan hegemoni baru hanya dapat dilakukan dengan mengubah kesadaran, pola berpikir dan pemahaman masyarakat, ‘konsepsi mereka tentang dunia,’ serta norma perilaku moral mereka. Gramsci membandingkan perubahan ini dengan perubahan menyeluruh terhadap kesadaran rakyat yang ditimbulkan oleh Reformasi Protestan pada abad ke-16 dan Revolusi Perancis.
            Gramsci memakai istilah nalar awam (common sense) untuk menunjukan cara berpikir awam yang tidak kritis dan tidak sadar dalam memahami dunia. Pemikiran awam tidak harus dilihat dalam pengertian yang engatif semata-mata; ia juga mempunyai unsur positif, dan aktivitkritik nalar awam, dan melalui proses interaksi – mengembangkan inti positifnya menjadi nalar sosialis baru dan runtut (coherent) (Fauzan, 2003: 11-1as praktis mereka, perlawanan mereka terhadap penindasan, mungkin sering berlawanan dengan gagasan sadar mereka. Pemikiran awam menjadi lokasi terbentuknya ideologi sekaligus tempat perlawanan terhadap ideologi itu. Tugas Marxisme adalah melakukan 2). Disamping itu , ia menekankan bahwa ‘ini bukan masalah bagaimana mengintroduksi bentuk pemikiran ilmiah ke dalam kehidupan setiap orang yang dimulai dari awal, namun merupkan upaya memperbaiki dan mengkritisi aktivitas yang telah ada.’


Hubungan Kekuasaan dan Mempertahankan Hegemoni
            Hubungan antara dua kelas utama, kapitalis dan kelas pekerja, bukan merupakan hubungan oposisi yang sederhana antara dua kelas. Sebaliknya, hubungan tersebut merupakan anyaman dari beberapa hubungan yang rumit dan melibatkan berbagai kelas, kelompok, dan kekuatan sosial lain. Mengenai hubungan kekuasaan, Gramsci menyatakan bahwa tingkat perkembangan suatu kekuatan materil produksi menjadi dasar bagi munculnya berbagai kelas sosial, yang masing-masing mempunyai kedudukan khusus dalam produksi.
            Mengenai perjuangan politik, Gramsci mengungkapkan:

Benar bahwa negara dilihat sebagai organ dari suatu kelompok tertentu, dengan tujuan untuk menciptakan kondisi-kondisi yang menguntungkan bagi kelompok tersebut untuk berkembang secara maksimum. Namun, pengembangan dan perluasan kelompok tertentu itu dipahami dan ditampilkan sebagai kekuatan penggerak bagi upaya perluasan yang menyeluruh, pengembangan semua kekuatan ‘bangsa.’ Dengan kata lain, kelompok yang dominan menyelaraskan secara nyata kepentingan umum kelompok yang lebih rendah dan kehidupan negara dipahami sebagai proses terus-menerus akan pembentukan dan penggantian keseimbangan yang labil (dalam bidang yuridis) antara kepentingan kelompok yang kuat dengan kelompok yang dominan tetap berlaku, namun hanya sampai waktu tertentu, yaitu ketika kepentingan ekonomi korporasi yang sempit berakhir (Gramsci dalam Simon, 1999).

            Jadi, meskipun kelas hegemoni berkuasa dalam negara, ia tidak memperalat negara semata-mata bagi alat untuk memaksakan kepentingannya pada kelompok kelas lainnya. Sebaliknya, kehidupan negara dipandang sebagai suatu “proses pembentukan dan penggantian keseimbangan yang labil yang dilakukan terus-menerus.” Dengan demikian, negara dipahami sebagai sebagai hubungan yang kompleks dari berbagai kekuatan yang terjadi antara kelas yang kuat dengan kelas dan kekuatan sosial lainnya (Fauzan, 2003:12).
            Ketika suatu kelompok sosial telah menjadi dominan dan mempertahankan dengan gigih kekuasaan yang ada dalam genggamannya, mereka tetap harus terus ‘memimpin.’ Hegemoni tidak pernah dapat diperoleh begitu saja, tetapi harus diperjuangkan terus-menerus. Hal ini menuntut kegigihan untuk mempertahankan dan memperkuat otoritas sosial, dari kelas yang berkuasa dalam semua kelompok masyarakat sipil dan pembuatan kompromi-kompromi yang diperlukan untuk menyesuaikan sistem aliansi yang ada, dengan kondisi yang senantiasa berubah serta aktivitas kekuatan oposisi.
            Proses ini dapat dilihat secara jelas pada periode ketika hegemoni dari kekuatan politik yang memerintah sedang terancam dan mengalami perpecahan. Kemungkinan muncul suatu periode ketidakstabilan dan transisi yang sangat panjang, sehingga sistem aliansi yang menjadi dasar hegemoni dari kelompok yang berkuasa harus melakukan perubahan-perubahan yang berskala luas, dalam suatu proses restrukturisasi jika hegemoni itu hendak dipertahankan. Gramsci menegaskan pentinganya pembedaan antara perubahan-perubahan organik yang relatif permanen dengan perubahan yang bersifat sementara, langsung dan kebetulan:

Kadang-kadang krisis terjadi selama beberapa puluh tahun. Jangka waktu yang sangat panjang ini menunjukan bahwa kontradiksi struktural yang tak bisa didamaikan telah menunjukan mereka (mencapai kematangan) dan bahwa, terlepas dari itu, kekuatan-kekuatan politik yang sedang berjuang untuk melestarikan dan melindungi struktur yang ada berusaha sekuat tenaga untuk menyembuhkannya dan, dalam batas tertentu, menyelesaikan kontradiksi-kontradiksi itu... Membentuk jalur ‘penghubunung’ dan di atas jalur inilah kekuatan-kekuatan oposisi diorganisir (Gramsci dalam Simon, 1999).


            Istilah penghubung (conjuncture) ini digunakan secara lebih luas di benua Eropa daripada di Inggris. Istilah ini digunakan Lenin untuk menyebut ‘situasi masa kini’ atau keseimbangan antara kekuatan politik yang ada pada masa kii yang menajdi sasaran praktik taktik politik. Apa yang ingin ditekankan oleh Gramsci adalah bahwa situasi sekarang harus dipahami bukan hanya dari segi persoalan ekonomi dan politik jangka pendek, melainkan juga dalam pengertian “usaha-usaha yang gigih dan tak kenal lelah” yang dilakukan untuk mempertahankan dan melestarikan sistem yang ada (Fauzan, 2003: 13-14).

Demokrasi Deliberatif


Oleh: Damar Fery Ardiyan
Istilah “deliberasi” berasal dari kata Latin deliberatio yang lalu di dalam bahasa Inggris menjadi deliberation. Istilah ini berarti “konsultasi,” “menimbang-imbang” atau – kita telah memiliki kosa kata politis ini – “musyawarah.” Semua arti leksikal ini harus ditempatkan dalam konteks “publik” atau “kebersamaan secara politis” untuk memberi pengertian yang penuh sebagai sebuah konsep dalam teori diskursus (Hardiman, 2009: 128).
            Sebagai sebuah konsep dalam teori diskursus, istilah demokrasi deliberative sudah tersirat dalam diskursus praktis, formasi opini dan aspirasi politis, proseduralisme atau kedaulatan rakyat sebagai prosedur. Demokrasi deliberative akan mengarahkan kita pada proses legitimasi, karena demokrasi deliberative tidak memusatkan pada penyusunan daftar aturan-aturan tertentu yang menunjukan apa yang harus dilakukan oleh warga, melainkan menunjukan pada prosedur untuk menghasilkan sebuah aturan.
            Dengan kata lain, model demokrasi deliberatif meminati persolan kesahihan dari keputusan-keputusan kolektif. Menurut Hardiman (2009), model ini dapat secara memadai menjelaskan arti kontrol demokratis melalui opini publik. Opini-opini publik bisa jadi merupakan opini-opini mayoritas yang mengklaim legitimitas mereka. Opini-opini itu juga dapat memiliki suatu bentuk logis dan koheren yang dianggap sahih secara universal dan rasional. Akan tetapi opini-opini mayoritas tidak niscaya identik dengan opini-opini yang benar. Bagi model demokrasi deliberatif adalah jauh lebih penting memastikan dengan cara manakah opini-opini mayoritas itu terbentuk sedemikian rupa sehingga seluruh warga dapat mematuhi opini-opini itu. Dengan begitu, demokrasi deliberatif mengacu pada prosedur formasi opini dan aspirasi secara demokratis.
            Model ini sama sekali tidak memberitahu bagaimana kita dapat menghasilkan alasan-alasan yang bagus, melainkan hanya mengatakan bahwa alasan-alasan yang bagus untuk sebuah keputusan politis haruslah diuji secara publik sedemikian rupa sehingga alasan-alasan tersebut diterima secara intersubjektif oleh semua warga Negara dan tidak menutup diri dari kritik dan revisi-revisi yang diperlukan.
            Rasionalitas hasil deliberasi politis ini, seperti yang dikatakan Habermas, berdasarkan “pada arti normative prosedur demokratis yang seharusnya menjamin bahwa semua persoalan yang relevan bagi masyarakat dijadikan tema.” Di dalam demokrasi deliberatif semua tipe diskursus praktis beroperasi di dalam formasi opini dan aspirasi secara demokratis untuk secara publik menguji alasan-alasan bagi peraturan politis yang diusulkan itu (Hardiman, 2009: 129). Pengujian secara publik ini, praktis menyiratkan bahwa segala putusan-putusan publik berlandaskan pada keputusan bersama atau atas perjuangan warga untuk mencapai saling pengertian ini secara intersubjektif atau sifat rasional yang dicapai tidak semata-mata oleh seorang subjek tunggal dan bukan juga atas paksaan, karena Habermas mengandaikan bahwa:

Sebuah persetujuan kehilangan cirinya sebagai keyakinan bersama, begitu pihak-pihak yang mencapai persetujuan tersebut mengetahui bahwa persetujuan itu dihasilkan dari pemaksaan kehendak yang berasal dari luar proses itu (dikutip dari Hardiman, 2009: 36)

Dengan begitu, legitimitas tidak terletak pada hasil komunikasi politik, melainkan pada prosesnya. Semakin diskursif[1] proses itu, yakni semakin rasional dan terbuka terhadap pengujian publik, semakin legitim pula hasilnya. Karena itu, keterbukaan terhadap revisi justru menambah legitimitas sebuah kebijakan atau norma publik. Sehingga akan sampai pada tahap pengujian publik yang terus-menerus. Walaupun demikian, pengujian ini akan mencapai konsensus karena ada hubungan antara tindakan komunikatif dengan Lebenswelt (dunia-kehidupan). Menurut Habermas, Lebenswelt di satu pihak memungkinkan tindakan komunikatif dan membantu pencapaian konsensus karena berlaku sebagai basis bersama bagi para pelaku tindakan komunikatif. 
            Oleh karena itu, Habermas mengandaikan bahwa legitimitas itu terlahir dari diskursus publik. Melalui diskursus itu aspirasi politis umum terbangun secara komunikatif di dalam suatu ruang publik politis:
Maka itu, ruang publik politis tak lain daripada hakikat kondisi-kondisi komunikasi yang dengannya sebuah formasi opini dan aspirasi diskursif sebuah publik yang terdiri dari para warganegara dapat berlangsung (dikutip dari Hardiman, 2009: 134).

Oleh karena itu, Habermas memahami ruang publik politis itu sebagai prosedur komunikasi. Ruang publik itu memungkinkan para warganegara untuk bebas menyatakan sikap mereka, karena ruang publik itu menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan para warganegara untuk menggunakan kekuatan argumentasi. Ruang publik politis itu sebagai kondisi-kondisi komunikasi, bukanlah institusi dan juga bukan organisasi dengan keanggotaan tertentu dan aturan-aturan yang mengikat. Berarti semua orang dapat mengakses ruang publik ini.
            Habermas seperti yang diungkapkan Hardiman memahami ruang publik politis sebagai kondisi komunikasi yang dapat menumbuhkan kekuatan solidaritas yang mengutuhkan sebuah masyarakat dalam perlawannya terhadap sumber-sumber lain, yakni uang (pasar kapitalis) dan kuasa (birokrasi Negara), agar tercapai suatu keseimbangan.
Ruang publik lalu dimengerti sebagi ruang otonom yang berbeda dari Negara dan pasar. Ia berciri otonom karena tidak hidup dari kekuasaan administratif maupun ekonomi kapitalis, melainkan dari sumber-sumbernya sendiri. Habermas memahami ruang publik politis juga sebagai sebuah jejaring untuk komunikasi tema-tema dan sikap-sikap, yakni opini-opini. Jadi, ruang publik politis bukan sekedar ruang publik atau wadah pertemuan ide-ide tetapi ruang yang dapat berfungsi secara politis.



[1] Diskursus bersifat inklusif, egaliter dan bebas dominasi.

Sedikit Catatan: Perspektif Kritis

 Oleh: Damar Fery Ardiyan


Dalam pandangan tradisional, teori adalah jumlah keseluruhan dari proposisi-proposisi tentang suatu subjek. Proposisi-proposisi itu terjalin satu sama lain sehingga terbentuk semacam susunan di mana hanya beberapa saja yang dapat menjadi proposisi dasar sedang proposisi lainnya adalah penurunan dari proposisi dasar tersebut. Makin sedikit proposisi-proposisi dasar, makin kokoh dan sempurna suatu teori (Sindhunata, 1982: 72).
            Jadi tujuan teori tradisional yakni membangun konsep-konsep umum mengenai semua hal. Ini tampak dalam cita-citanya yang selalu ingin meraih universal systematic science. Konsep-konsep umum itu dipakai sebagai semacam peralatan teknis untuk menganalisa apa saja dan dapat digunakan pada setiap kesempatan. Dari sini terlihat bahwa teori tradisional bersifat netral, karena ia menyediakan diri hanya sebagai alat, yang siap pakai untuk menganalisa secara teknis setiap hal dan keadaan termasuk masyarakat.
            Berdeda dengan teori tradisional, teori kritis tidak lagi berpusing dengan prinsip-prinsip umum, membangun pengetahuan yang kukuh dan tertutup pada dirinya sendiri, seperti dilakukan teori tradisional. Teori kritis bertujuan untuk memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari masyarakat irasional dan dengan demikian memberikan pula kesadaran untuk pembangunan masyarakat rasional tempat manusia dapat memuaskan semua kebutuhan dan kemampuannya. Sebagaimana yang dungkapkan Max Horkheimer:

..teori kritis adalah sebuah unsur hakiki dalam usaha sejarah manusia untuk menciptakan suatu dunia yang dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan dan kekuatan-kekuatan manusia … tujuanya yakni pembebasan manusia dari perbudakan (Sindhunata, 1982: 80).

1. Latar Belakang Historis Tradisi Kritis pada Sekolah Frankfurt
            Kehadiran Teori kritis tidak dapat dipisahkan dari pendiri Sekolah Frankfurt atau Institut für Sozialforschung, Max Horkheimer. Max Horkheimer dilahirkan 14 Februari 1895 di Zuffenhausen dekat Stuttgart. Ayahnya, Moriz (Moses) Horkheimer seorang Yahudi totok. Ia mendidik Max dengan keras dan mengharuskan anaknya mengelola perusahaannya, Pabrik Tenun Moriz Horkheimer. Sekejap Max menuruti ayahnya dan menjabat sebagai direktur muda pada perusahaan itu. Tetapi jabatan ini tidak lantas membuat hati Max senang. Perasaan itu dituliskan dalam buku hariannya:

Aku mempunyai jabatan empuk dan masa depan penuh janji dalam bisnis ayahku. Aku dapat memuaskan diriku dengan segala kenikmatan dunia yang menarik diriku. Dapat pula aku membenamkan diri dalam pekerjaanku, menyenangkan hatiku dan kegemaranku – tapi … api kerinduan yang menyala-nyala itu membakarku … Aku nampaknya tidak mampu mengendalikannya, maka biarlah kuserahkan diriku untuk dibimbing oleh kerinduanku itu seumur hidupku, tak peduli perjalanan sinting itu membawaku (Sindhunata, 1982: 3).    

Kemudian, karena tidak tahan dengan pertengkaran dengan ayahnya yang kerap memaksakan kehendak dan lebih-lebih karena Max dilarang menikah dengan Rose Chistine Riekhe, sekretaris ayahnya yang berusia Sembilan tahuh lebih tua, Max Horkheimer memutuskan untuk pergi ke Freiburg untuk belajar psikologi dan kemudian filsafat.
Perkenalan Horkheimer dengan filsafat bermula melalui buku filsuf pesimistis Schopenhauer, Aphorisms on The Wisdom of Life yang diberikan sahabatnya Friedrich Pollock. Ia jatuh simpatik kepada Schopenhauer, filsuf pesimistis yang menentang kesombongan rasionalisme dengan ajarannya tentang kehendak buta serta tragedi yang diakibatkannya (Sindhunata, 1982: 3)
Tahun 1923, Horkheimer lulus dengan summa cum laude dalam mempertahankan disertasinya tentang Kant. Idealisme Kant (juga filsafat Hegel) kelak akan memengaruhi pemikiran Horkheimer. Tiga tahun kemudian, ia dikukuhkan sebagai guru besar di Universitas Frankfurt. Tiga tahun setelah pengangkatan ini pula, ia menikah dengan wanita yang amat dicintainya, Rose Chistine Riekhe.
Perang dunia I sudah berakhir. Peta politik berubah dengan suksesnya Revolusi Bolshevik di Rusia. Ketika itu, sebagian  cendekiawan kiri Jerman bergabung pada Sekolah Frankfurt, yang berhaluan Marxisme. Atas ajakan Pollock, Horkheimer masuk menjadi anggota Sekolah Frankfurt karena marxisme dirasa dapat memuaskan kerinduan masa mudanya, apalagi kerinduan itu makin dibakar oleh api revolusi November 1918. Disemangati api revolusi tersebut, Horkheimer mendambakan terjungkirnya masyarakat yang dianggapnya mencekam kebebasan individu.
Sekolah Frankfurt sendiri didirikan oleh Felix J. Weil, seorang sarjana ilmu politik pada 1923. Dengan dana yang diterima dari ayahnya, Hermann Weil, Sekolah Frankfurt menghimpun cendekiawan-cendekiawan kiri untuk menyegarkan kembali ajaran Marx sesuai dengan kebutuhan saat itu. Sejak semula Weil ingin agar kelompok cendekiawan yang tergabung dalam institutnya benar-benar independen dari kelembagaan maupun kepartaian, walaupun kelak institut ini berafiliasi dengan Universitas Frankfurt. Namun, institut yang dibangun Weil ini dapat mempertahankan idependensi sekolah ini baik secara material maupun intelektual.
Anggota cendekiawan pertama dalam sekolah tersebut adalah Friedrich Pollock (ahli ekonomi), Theodor W. Adorno (musikus, ahli sastra, psikologi dan filsuf), Herbert Marcuse (murid filsuf Martin Heideger yang mencoba memadukan fenomenologi dan marxisme yang kemudian terkenal sebagai “nabi” dan “inspirator” gerakan new left di Amerika), Erich Fromm (ahli psikoanalisis Freud), Karl August Wittfogel (ahli sinology), Franz Neumann dan Otto Kircheimer (ahli-ahli hukum), Leo Löwenthal (sosiolog), Walter Benjamin (kritikus sastra) dan Max Horkheimer sendiri.
Bulan Januari 1931, Horkheimer diangkat sebagai direktur baru Sekolah  Frankfurt, setelah Profesor Carl Grünberg (seorang marxis orthodoks dari Austria). Di bawah Horkheimer Sekolah Frankfurt mengalami jaman keemasannya. Sebagai direktur, Horkheimer menggariskan konsepsinya tentang filsafat sosial sebagai “interpretasi filosofis tentang nasib manusia sejauh manusia bukan dipandang sebagai individu, tetapi sebagai anggota masyarakat. Dengan demikian, objek dari filsafat sosial adalah “semua kelembagaan yang bersifat material dan spiritual dari kemanusiaan secara keseluruhan.”
Oleh karena itu, ia menyerang filsafat yang puas dengan ide-ide belaka, sementara membiarkan individu di dunia ini kehilangan “makna filosofis” dari idea-idea tersebut. Manusia diandaikan mempunyai kebebasan tapi dalam kenyataan sosial kebebebasan itu terbelenggu dalam pelbagai bentuk seperti keterasingan, pengangguran dan paksaan. Filsafat macam itu hanyalah kaki tangan atau antek penindasan kelas penguasa.
Horkheimer menggariskan dengan tegas bahwa metode analisa Sekolah Frankfurt bukanlah vulgar Hegelian yang menganggap dasar dan penggerak dunia atau sejarah itu Roh; bukan pula vulgar Marxist yang menganggap kejiwaan manusia, kepribadian juga hukum, kesenian dan filsafat sebagai semata-mata cermin dari bidang ekonomi. Tetapi, metode Sekolah Frankfurt haruslah dapat menangkap hubungan dialektis antara realitas material dan realitas mental, seperti apa yang telah dilakukan Marx dengan kritik ekonomi politiknya (Sindhunata, 1982: 23)
Bidang ekonomi memang menjadi sasaran utama kritik Sekolah Frankfurt, tetapi Horkheimer juga menganggap bahwa bidang-bidang kebudayaan, termasuk di dalamnya ideologi dan politik, juga harus dijadikan sasaran kritik Sekolah Frankfurt. Analisa ideologi dapat menolong orang untuk memahami betapa ideologi sangat berperan dalam mengacaukan kenyataan sosial. Dalam hal ini, Horkheimer seperti yang mendahului pendahulunya, termasuk Marx yang ingin membokar ideologi tidak hanya dengan menunjuk kenyataan ekonomis yang dipalsukan ideologi melainkan juga dengan cara menerangkan struktur psiksis manusia yang terlibat dalam ideologi tersebut. Oleh karena itu, Horkheimer dengan berani memasukan psikoanalisa Freud ke dalam Sekolah Frankfurt (hal ini tidak dapat dikerjakan oleh kalangan Marxis).
Pendeknya, di bawah Horkheimer, Sekolah Frankfurt mendapat wajah baru, melebihi Grünberg, bahkan kaum marxis lain sebelumnya: “…periode kedua dari critical Marxism, yakni teori kritis dari Sekolah Frankfurt memunyai kesempatan untuk melampaui para pendahulunya, terutama disebabkan karena pandangan dan keluwesannya dalam dua bidang kunci teori kemasyarakatan, yakni sosiologi politik dan teori kebudayaan. Atas alasan tersebut maka ajaran Sekolah Frankfurt lebih tepat disebut sosiologi politik dan teori kebudayaan daripada teori ekonomi politik (Sindhunata, 1982: 24).

2. Pengaruh Kapitalisme Monopolis dan Fasisme
            Shindunata dalam Dilema Usaha Manusia Rasional (1982) mengatakan kalau munculnya Sekolah Frankfurt berbarengan dengan suburnya perkembangan kapitalisme monopolis (monopoly capitalism) di Eropa. Sekolah Frankfurt memahami kapitalisme monopolis sebagai suatu tahap kapitalisme di mana usaha-usaha raksasa menguasai pasar, mengatur dan menentukan harga, sementara perusahaan-perusahaan kecil dengan serta merta digulungnya. Menurut mereka, “kecenderungan dari ekonomi sekarang (kapitalisme monopolis) adalah menghapuskan pasar dan dinamika persaingan bebas.”
            Kapitalisme monopolis dengan demikian mengakhiri kapitalisme liberal. Kebebasan pasar (the primacy of the market) dari kapitalisme liberal telah diganti dengan kontrol ketat perusahaan-perusahaan besar (the primacy control). Pemilikan (ownership atau private property) sudah lebur dengan sendirinya menjadi kekuasaan ekonomis perusahaan-perusahaan besar. Sistem pekerjaan bebas (free labour) yang masih bisa dijalankan di jaman kapitalisme liberal karena individu sedikit banyak tetap tergantung pada pemilikan, kini sudah terhapus dengan sendirinya, diganti dengan kerja upahan yang ketat dan kaku serta paksaan (Sindhunata, 1982: 26).
            Pada gilirannya kapitalisme monopolis ini mau tidak mau mengundang campur tangan Negara, sebagi alat kontrol yang paling efektif untuk mengendalikan gerak perusahaan-perusahaan besar. Menurut Horkheimer, dewasa ini sejumlah besar perusahaan industri dan perbankan telah tumbuh dengan luar biasa, sehingga tak ada Negara, betapapun ia berdalih laissez-faire, dapat duduk bermalasan dan menunggu salah satu dari mereka jatuh bangkrut. Sebab kebangkrutan salah satu raksasa ekonomi itu akan menimbulkan akibat yang membahayakan bagi seluruh ekonomi dan dengan demikian seluruh bidang politik. Itulah alasan ekonomis mengapa makin bertumbuh campur tangan Negara di bidang ekonomi. Malahan campur tangan itu kemudian menjadi monopoli Negara di bidang eknomi, sebab akan sangat membahayakan bagi Negara bila perusahaan-perusahaan raksasa menentukan keuntungannya secara sepihak. Dengan demikian terjadilah peralihan dari kapitalisme monopolis ke kapitalisme Negara (Sindhunata, 1982: 26).
            Oleh sebab itu, Pollock diberi tugas untuk menganalisa kapitalisme Negara itu. Ia menerangkan bahwa kapitalisme Negara mengatasi konsep kapitalisme monopolis yang baru saja terjadi. Menurut Pollock, organisasi-organisasi monopolistis dulu masih suka mengacau kestabilan pasar. Organisasi-organisasi itu dulu bertindak sebagi kelompok bebas yang berusaha memburu kemungkinan produksi-produksi dari kelompok lain untuk bertumbuh. Kini mereka secara serempak bertindak sebagai agen-agen Negara dalam peranannya di pasaran. Semua organisasi-organisasi monopolis merasa mempunyai tangung jawab kolektif untuk mengatur seluruh proses ekonomi Negara dan karenanya dengan demikian mempertahankan struktur sosial yang sedang berjalan. Pemegang monopolis dengan demikian bertindak sebagai teknokrat dan birokrat dari Negara di jaman kapitalisme Negara.
            Pada waktu analisas ini dikerjakan, fasisme Jerman sedang bertambah kuat. Sekolah Frankfurt bertanya, mengapa fasisme bisa kuat di tengah kapitalisme Negara sedang subur? Itu disebabkan karena fasisme adalah jawaban langsung dari perkembangan kapitalisme Negara. Kembali Pollock menerangkan ini:

Di bawah bentuk totaliter dari kapitalisme Negara, Negara adalah alat kekuasaan dari sekolompok penguasa baru, yang berasal dari campuran vested interests, personal atas dalam manajemen bisnis dan industry, birokrat-birokrat Negara (termasuk militer) dan figur-figur terkemuka dan birokrasi partai yang berkuasa. Siapa saja yang tidak termasuk dalam kelompok tersebut hanyalah akan merupakan objek penindasan semata-mata (dalam Sindhunata, 1982: 27).

            Maka Sekolah Frankfurt menganggap bahwa negara otoriter Jerman di bawah Hitler adalah bentuk politik yang paling cocok dengan kapitalisme Negara. Dengan kata lain, benih-benih dalam kapitalisme liberal sendiri yang mau tak mau pasti mengakibatkan timbulnya Negara otoriter atau fasisme. Kata Horkheimer, “fasisme tidak berlawanan dengan masyarakat borjuis, tapi dalam kondisi sejarah yang tertentu, ia merupakan bentuk yang paling cocok bagi masyarakat borjuis.”
            Di jaman kejayaan fasisme yang bergandengan dengan kapitalisme Negara membuat habis riwayat individu. Nilai-nilai seperti kebebasan, kebahagiaan pribadi larut dalam perencanaan yang total dan komprehensif. Kapitalisme Negara dengan bantuan teror politis yang dahsyat dari fasisme dapat mencengkam individu di bawah cakar kekuasaannya. Untuk memperteguh kekuasaannya, mereka menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru, menggiring masyarakat menuju ke konsumerisme, sementara individu tidak berkuasa apa-apa lagi.
            Dihadapkan pada kenyataan seperti itu, Horkheimer dan kawan-kawannya merasa yakin bahwa apa yang dikatakan Marx bahwa kelas proletariat akan dapat dijadikan harapan untuk mengjungkirkan sistem kapitalisme karena dampak dari kapitalisme ini menciderai kelas proletariat. Tetapi nyatanya, kelas proletariat ini tidak jadi memberontak, karena rezim fasisme Jerman dapat mencegah kemungkinan itu dengan melemahkan kesadaran proletariat dari unsur-unsur revolusionernya.
            Oleh karena itu, tidak mungkin analisa ekonomi seperti yang dibuat Marx akan memadai. Maka Sekolah franfurt beralih ke analisa ideologi yang meliputi kesadaran dan struktur prikis kaum proletar pada waktu itu.

3. Latar Belakang Teoritis
            Sejak semula Sekolah Frankfurt menjadikan marxisme sebagai titik tolak pemikirannya. Namun Sekolah Frankfurt juga meletakan dirinya dalam perspektif idealism Jerman, yang dirintis Immanuel Kant (kritisisme) dan memuncak pada ajaran Hegel (dialektika). Dan ketika Horkheimer menjabat direktur, ia memasukan ajaran Freud ke dalam pemikiran Sekolah Frankfurt. Meski hal tersebut dianggap melanggar keortodoksan marxisme, Horkheimer tetap beranggapan bahwa psikoanalisa Freud merupakan kebutuhan mendesak bagi teori kritis untuk menghadapi tantangan jaman modern di mana terjadi kapitalisme monopolis dan fasisme.

a.       Kritisisme Kant
Kant disebut sebagai filsuf kritis pertama oleh cedekiawan Sekolah Frankfurt, karena Kant tidak lagi mempersoalkan bagaimana merumuskan dan mensistematisir isi pengetahuan. Kant sendiri menamakan filsafatnya sebagai kritis, dalam arti bahwa akal budi harus menilai kemampuan dan keterbatasannya dan hanya lewat kemampuan dan keterbatasannya itu akal budi mengetahui sesuatu. Jadi, Kant berpaling dari mempersoalkan objek untuk mempersoalkan subjek.
Menurut Kant, objek pada dirinya sendiri tidak pernah dapat kita ketahui; objek itu benar-benar das ding an sich (sesuatu pada dirinya sendiri). Sesuatu itu kita pahami sesuai dengan syarat-syarat akal budi kita yang subjektif. Kant menyebut syarat-syarat itu sebagai kategori-kategori apriori. Dengan demikian kategori-kategori apriori itulah yang menentukan pengetahuan kita akan sesuatu, bukan isi objektif dari sesuatu tersebut (dalam Sindhunata, 1982: 31).
Sekolah Frankfurt menghargai Kant karena mereka menganggap Kant telah menemukan otonomi subjek dalam membentuk pengetahuannya. Di sinilah pengertian kritis yang pertama: “pengetahuan kita tidak ditentukan oleh objek, tetapi subjek yang menghasilkan pengetahuan itu.”

b. Dialektika Hegel
            Berpikir secara dialektik berarti (1) berpikir dalam totalitas. Totalitas ini bukan berarti semata-mata keseluruhan, di mana unsur-unsurnya yang bertentangan bediri sejajar. Tapi totalitas itu berarti keseluruhan yang mempunyai unsur-unsur yang saling bernegasi (mengingkari dan diingkari), saling berkontradiksi (melawan dan dilawan) dan saling bermediasi (memperantai dan diperantai).
            Dalam hubungan ini mesti dicatat bahwa pemikiran dialektis sama sekali lain dengan kompromi, justru karena pemikiran dialektis mempunyai kontradiksi, negasi dan mediasi sebagai ciri dan sifatnya. Kompromi dengan gampang dicapai dengan persetujuan, di mana unsur-unsurnya yang bertentangan dengan mudah diabaikan. Kompromi dengan demikian menjadi sekedar perpaduan. Malahan dalam arti tertentu kompromi bisa berarti saling meniadakan unsur-unsur yang bertentangan. Jalaslah, bahwa proses dialektis tidak dapat sekedar dirumuskan sebagai “thesis” – “antithesis” – “synthesis.”
            Selain itu, (2) seluruh proses dialektis itu sebenarnya merupakan “realitas yang sedang bekerja. ”Realitas yang sedang bekerja ini merupakan proses dari pernyataan diri akal budi manusia yang telah mencapai kesempurnaannya dalam Roh Absolut:

Buat Hegel, realitas itu bukan suatu yang statis, jadi, bulat, suatu “substansi,” melainkan berkembang, mengasingkan diri, menemukan diri kembali, menyadari diri melalui taraf-taraf dialektis yang semakin mendalam: realitas itu “subjek.” Di belakang realitas alam dan manusia dengan masyarakat dan pemikirannya berlangsung “proses” pernyataan diri roh alam semestanya (pernyataan Dr. Frans von Magnis dalam Shindunata, 1982: 35)

            Berpikir dialektis juga berarti (3) berpikir dalam perspektif empiris-historis dan (4) berpikir dalam kerangka kesatuan teori dan praxis. Pemikiran dialektis tidak mengandaikan adanya kesenjangan antara teori dan praksis, karena berpikir dialektis adalah sama dengan berpikir dalam kesatuan teori dan praksis. Menurut Hegel, teori macam itu harus berpangkal pada realitas, ia harus meliputi kesadaran kita tentang realitas, termasuk kemampuan kita untuk mengubah realitas.

c. Kritik ekonomi politik Karl Marx
            Marx ingin membangun suatu filsafat praksis yang benar-benar dapat menghasilkan kesadaran untuk merubah realitas, yang pada waktu itu sangat tidak berkenan, yakni masyarakat kapitalis berkelas dan bercirikan penghisapan. Untuk membangun filsafat praxis ini, Marx menggunakan metode dialektis Hegel, hanya metode ini diletakan dalam perspektif materialis (realitas ekonomi). Marx ingin mengarahkan teorinya ini untuk suatu praxis sosial yang revolusioner. Marx tidak lagi hanya ingin menerangkan atau memahami apakah keterasingan itu, tapi ia ingin menghapuskan keterasingan itu. Marx pun tidak hanya ingin memahami masyarakat berkelas di mana terjadi penghisapan dan ketidakadilan, tetapi ingin juga menghapuskannya.
            Dalam Das Capital, Marx memusatkan diri pada analisa ekonomi kapitalis dan dinamikanya. Sebagai ahli ekonomi, Marx menggambarkan hukum-hukum ekonomi kapitalisme dan berusaha untuk memperlihatkan bahwa cara produksi kapitalis dengan sendirinya akan membawa kapitalisme pada keruntuhannya (Sindhunata, 1982: 41). Penyelidikan Marx ini sebenarnya tidak dijalankannya dalam rangka ekonomis semata-mata, melainkan harus dipahami dalam rangka usaha untuk membuka syarat-syarat pembebasan manusia dari penindasan kekuatan-kekuatan ekonomi. Dan justru supaya pembebasan itu dapat dijalankan secara nyata, Marx mempelajari hukum-hukum kenyataan ekonomis. Maka, penyelidikan ekonomi Marx itu mempunyai makna emansipatoris.
            Menurut Marx, hakikat ekonomi kapitalisme adalah memburu profit sebanyak-banyaknya. Profit tersebut datang dari tukar menukar, tetapi Marx menegaskan bahwa profit itu pasti tidak diperoleh dengan cara tukar-menukar biasa, melainkan dengan cara penghisapan. Penghisapan yang khas dari kapitalisme adakah nilai lebih. Nilai lebih adalah nilai yang diberikan secara “terpaksa” oleh buruh melampaui apa yang de facto ia butuhkan. Selain nilai lebih, kritik Marx yang penting lagi yakni terhadap nilai tukar[1] dalam kapitalisme.
Dengan demikian, teori kritis Sekolah Frankfurt yang mewarisi pengertian kritis dari kritik ekonomi politik Marx memang bukanlah penyelesaian akhir tapi teori kritis macam itulah merupakan “suatu premis untuk tindakan yang benar.” Betapa kritik ekonomi Marx memengaruhi Sekolah Frankfurt dapat dilihat dari pernyataan Horkheimer tahun 1938, “perlawanan terhadap ideologi, jika tidak didasarkan pada analisa tentang ekonomi yang sedang mapan adalah kritik yang miskin (jelek), malahan tidak bisa disebut kritik dalam arti sesungguhnya.
                                        
d. Kritik ideologi lewat Freud
            Psikoanalisa Freud menjadi penting bagi Sekolah Frankfurt ketika Erich Fromm menjadi anggotanya pada tahun 1932. Dalam pelbagai kepalsuan ideologis yang terdapat dalam sistem kapitalisme, Fromm menganggap bahwa kesadaran langsung itu ditentukan oleh kenyataan. Bagi Fromm, ada missing link dalam kritik ideologi Marx. Maka psikoanalisislah yang kiranya dapat menerangkan dengan tepat hubungan antara basis (kehidupan material yang real) dan bangunan atas kesadaran manusia.
            Seperti diajarkan Freud, Fromm menunjukan bahwa dalam hidup psikis terdapat dua naluri dasar yang selalu berkonflik, yakni naluri seksual dan naluri mempertahankan diri. Naluri mempertahankan diri selalu minta dipuaskan secara langsung, misalnya rasa lapar hanya dapat dipuaskan dengan makanan. Sedangkan, naluri seksual dapat digantikan, disublimasikan dan dipuaskan dalam fantasi. Jadi, naluri seksual itu lebih luwes terhadap kondisi sosial yang tidak dapat memuaskan, sedangkan naluri mempertahankan diri sangat kaku terhadap lingkungannya. Maka, ideologi mesti ditinjau dalam hubungan dengan naluri seksual, karena ideologi adalah semacam fantasi yang dapat memuaskan naluri seksual itu.
            Buat Sekolah Frankfurt, usaha Fromm untuk mengintegrasikan psikoanalisa Freud dan ajaran Marx dari sudut teori tentang naluri itu memang merupakan sumbangan besar untuk memperkaya kritik ideologi mereka. Namun mereka beranggapan bahwa teori Freud tentang superegolah yang paling memberi kunci untuk menjalanan kritik ideologi.
            Menurut Fromm dalam Sindhunata (1982), teori Freud tentang superego memberi alasan jelas mengapa masyarakat dapat memanipulir naluri-naluri bawaan demi suatu identifikasi yang disodorkan masyarakat. Dengan teorinya tentang Kompleks Oedipus yang diterapkan kepada masyarakat secara lebis luas, Freud menerangkan bahwa “ego ideal” atau “superego” dapat berbentuk pribadi, kelompok yang mungkin saja dibenci dan dimusuhi secara aktif (seperti anak terhadap bapak dalam keluarga) tapi toh individu atau kelompok tertarik dan kagum padanya. Pada jaman ini ajaran Freud itu bisa berbunyi, kendati pengusaha itu dibenci dan tidak disukai, toh kelas yang ditindas oleh penguasa tetap tertarik secara emosional kepada penguasa tersebut. Superego tersebut bisa berbentuk rasionalisasi atau ideologi penguasa yang terus-menerus menentukan anggota masyarakat tapi anggota masyarakat tetap mematuhinya.
            Dengan demikian, Sekolah Frankfurt menurunkan pengertian kritisnya yang keempat dari teori superego Freud, yang dianggapnya cocok untuk menjalankan kritik ideologi. Bersama Freud, mereka yakin bahwa individu menderita di bawah perlbagai paksaan dan tekanan dalam bentuk “tingkah laku” dan “cara berikir” yang sudah ditentukan bukan oleh kemauannya. Individu sebagai subjek itu lalu memperdaya dirinya dalam segala macam tindakannya, lewat internalisasi, ia juga bersekongkol dengan pembatasan-pembatasan yang dipaksakan kepadanya. Sekolah Frankfurt ingin benar-benar memahami pelbagai ilusi itu, supaya individu dapat membebaskan dirinya dari konflik-konflik terinternalisir yang membutakan dirinya dan memincangkan tindakannya.   
 


4. Gagalnya Teori Tradisional dalam Pandangan Max Horkheimer
            Kenetralan teori tradisional sejiwa dengan cita-cita Descarte (1596-1650) sebagai perintis lahirnya teori tradisional. Filsafat Descartes berusaha mencapai proposisi-proposisi umum yang netral dengan cara kerja deduktif, seperti yang biasa dikerjakan oleh ahli ilmu pasti dalam mencapai rumusan-rumusan umumnya.
            Pengaruh Descartes meresapi pelbagai cabang ilmu pengetahuan, termasuk ilmu kemasyarakatan. Husserl dalam Sindhunata (1982) misalnya mendefinisikan teori ini sebagai “sebuah sistem tertutup dari proposisi-proposisi bagi suatu ilmu pengetahuan secara keseluruhan.”
            Dasar berpijak teori tradisional adalah ilmu pengetahuan. Ini Nampak dalam filsafat Descartes yang memakai cara kerja ilmu pasti atau positivisme yang membangun filsafatnya dengan cara kerja ilmu alam. Menurut positivism, ilmu pengetahuan mencukupi dirinya sendiri, berdikari dan bebas. Maka pada hematnya, masyarakat bisa dimajukan dan “diselamatkan” asal mau tunduk pada hukum dan metodologi ilmu pengetahuan alam. Teori tradisional juga tidak bermaksud memengaruhi fakta yang hadir di hadapannya. Ia memandang fakta secara objektif, artinya fakta sebagai fakta lahiriah apa adanya. Hal ini tampak dalam pendiriannya bahwa penelitian objektif tidak boleh dicampurkan dengan pengaruh nilai-nilai. Dengan kata lain, nilai-nilai itu mesti dipisahkan dengan penelitian.
Demikian ciri dan sifat teori tradisional. Ia netral terhadap fakta di luar dirinya. Ia berpijak hanya pada ilmu pengetahuan, dan ia memisahkan teori dan fakta karena memandang fakta hanya secara lahiriah. Berdasarkan tiga hal tersebut Horkheimer menuduh teori tradisional sebagai teori yang bersifat ideologis: (1) kenetralannya menjadi kedok pelestarian keadaan yang ada. Dengan hanya menganalisasa serta mengatur fakta secara teknis, teori tradisional tidak bertanya mengapa realitas samapai terjadi. Dengan kata lain ia menerima dan membenarkan realitas begitu saja; (2) teori tradisional berpikir secara “ahistoris.” Teori tradisional memutlakan ilmu pengetahuan sebagai satu-satunya unsur yang bisa memajukan dan “menyelamatkan” masyarakat. Dengan demikian, teori tradisional melupakan masyarakat dalam prosesnya yang “historis.” Kehidupan real tidak hanya tergantung pada ilmu pengetahuan tapi juga pada pelbagai sektor lain dalam masyarakat; (3) teori tradisional memisahkan teori dan praxis. Dengan memisahkan teori dan praxis, teori tradisional hanya memikirkan teori demi teori, maka ia menjadi ideologis karena fakta di luar dibiarkannya begitu saja. Berarti ia juga menerima dan membenarkan fakta atau realitas sebagai apa adanya. Ia tidak memikirkan bagaimana teorinya dapat menghasilkan kesadaran yang bakal bisa membuahkan tindakan untuk memengaruhi bahkan mengubah fakta atau realitas.
Dengan demikian, teori tradisional tidak mungkin menjadi teori emansipatoris!
Untuk itu, teori kritis lah yang berperan kritis untuk membebaskan masyarakat dari keadaanya yang irasional jaman ini. Teori kritis hendak menjadi teori emansipatoris. Horkheimer yakin bahwa teori kritis bakal berhasil menjadi teori emansipatoris karena sifat dan cirinya seperti yang akan dilihat di bawah ini.

1.      Teori kritis curiga dan kritis terhadap masyarakat. Jadi, mesti ada senjata-senjata tajam untuk membawa masyarakat menuju pembebasannya. Seperti yang ditunjukan Marx untuk mengkritisi nilai tukar dalam sistem kapitalisme.
2.      Teori kritis berpikir secara “historis.” Teori kritis sangat menghormati ilmu pengetahuan namun tidak mendewakannya seperti dilakukan teori tradisional. Teori kritis berpijak pada masyarakat dalam prosesnya yang historis, jadi masyarakat dalam totalitasnya.
3.      Teori kritis tidak memisahkan teori dan praxis. Teori kritis tidak pernah membiarkan fakta objektif berada di luar dirinya secara lahiriah. Teori kritis menganggap bahwa realitas objektif itu adalah produk yang berada dalam kontrol subjek. Jadi, teori itu bukan demi teori, teori itu mesti bisa memberi kesadaran untuk mengubah realitas.

Maka demikianlah keyakinan teori kritis. Semua keadaan dan masa depan sebenarnya tergantung pada manusia sendiri. Dengan wewenangnya, manusia dapat merancang sejarah yang diinginkannya, mengatur hubungan kerja yang semestinya, membentuk masyarakat sesuai dengan rasionalitasnya.


[1] Nilai tukar adalah nilai yang menghapuskan kekhasan, keistimewaan dan keunikan sesuatu benda atau hal, termasuk tiap-tiap kerja manusiawi yang unik dan khas pada dirinya sendiri, karena semuanya itu diukur dengan ukuran yang sama dan berlaku umum, yakni waktu kerja yang dituangkan. Berbeda dengan nilai tukar, nilai lebih adalah nilai yang menyebabkan sesuatu benda atau hal menjadi khas, unik, istimewa dan tak tergantikan serta mempunyai kegunaan sendiri yang tidak bisa disamaratakan dengan ukuran apa pun.