Antonio Gramsci (1891-1937)
Pandangan Gramsci tentang hegemoni berawal dari sebuah pertanyaan, yakni mengapa negeri-negeri kapitalis tidak juga runtuh? Pertanyaan ini dijawabnya dengan menunjukan bahwa dalam negeri-negeri kapitalis telah terbentuk hegemoni ideologi kelas penguasa dalam kehidupan masyarakat. Dengan begitu, Gramsci (juga Althusser) menempatkan negara dan perangkat negara sebagai satuan analisis yang berbeda, karena ia mengajukan konsep perangkat ideologis negara yang berfungsi sama dengan perangkat pemaksa (koersif), meski perangkat ideologis memunyai fungsi khas, yaitu melalui penerapan kekuasaan negara lewat pembujukan dan penyamaran.
Melalui struktur yang memobilisasi penguasaan secara halus, negara mereproduksi ketundukan warga terhadap satu gagasan tertentu, sehingga struktur ini membuat kerangka-kerangka yang dapat membatasi ruang pandang individu untuk mengenali dunia. Bagus Takwin mengatakan bahwa dunia seseorang manusia sejak semula adalah dunia terbingkai struktur yang tertanam dalam dirinya. Tumbuhlah ia menjadi manusia yang digerakan struktur, makin menjauh dari dirinya, tak disadari dan tak terhindari (Althusser, 2008: xvi). Dengan demikian, struktur mendorong lahirnya ideologi.
Ideologi dalam pengertian ini adalah segala yang sudah tertanam dalam diri individu sepanjang hidupnya; history turn into nature, produk sejarah yang seolah-olah menjelma sebagai sesuatu yang alamiah (Althusser, 2008: xvi). Oleh karena itu, hegemoni ini merujuk pada suatu ideologi yang sudah sedemikian dominan dan menyebar dalam suatu masyarakat. Dengan kata lain, ideologi membawa manusia bergerak dalam relasi yang tak nyata namun seolah nyata, menerima yang semu seperti nyata, yang fana sebagai abadi. Gramsci menjelaskan hegemoni sebagai berikut:
“...sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataaan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh citarasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral,” (Gramsci dalam Flick yang dikutip dari Takwin, 2009: 73).
Ideologi kelas penguasa ini merembes ke dalam segala aspek kehidupan dan menjadi semacam ‘akal sehat bersama’ yang menjadi patokan benar-salah, baik-buruk, dan indah-jelek. ‘Akal sehat bersama’ ini berguna dalam kehidupan praktis agar bertindak benar secara sosial dan menjadikan segala sesuatu sebagai wajar adanya. Namun, kesadaran bersama ini tentu tidak secara asali begitu atau begitu saja ada. Bagaimana hal itu bisa terwujud? Hegemoni kelas penguasa atas kesadaran kelas pekerja harus terwujud, karena kapitalisme wajib membentuk-ulang (mereproduksi) kondisi produksinya agar tetap berjalan langgeng. Tidak hanya membentuk-ulang sarana produksi dan bahan baku yang diperoleh lewat keterjalinan produksi dan distribusi komoditi dalam suatu kesatuan ekonomi-politik, tetapi juga membentuk-ulang tenaga kerja dari generasi ke generasi.
Meski sama-sama kekuatan produksi, tenaga kerja tentu berbeda dengan mesin, maka pembentukannya mesti memerhatikan aspek kesadaran. Kesadaran ini menjadi sarana manusia untuk memahami dan bertindak dalam dan terhadap lingkungannya sesuai dengan ‘akal sehat bersama’ yang berguna dalam kehidupan praktis agar bertindak benar secara sosial dan menjadikan segala sesuatu sebagai wajar adanya. Tetapi, kesadaran bersama ini tentu tidak lahir secara ilahiah, karena pembentukan dan pemeliharaan kesadaran ini dapat melalui lembaga-lembaga penular yang memobilisasi satu gagasan umum dari satu generasi ke generasi lainnya. Oleh Louis Althusser lembaga-lembaga ini disebutnya dengan Perangkat Negara Ideologis (ISA).[1]
Melalui hegemoni, negara memaksakan ideologinya kepada rakyat melalui kekuatan persuasif (media massa, pendidikan dan agama yang secara sengaja dikuasai negara). Negara merekayasa kesadaran rakyat sehingga, tanpa disadari, kesadaran itu mendukung kekuasaan negara dan bahkan individu-individu menemukan dirinya tidak mampu menyadari kepentingan mereka yang sesungguhnya. Artinya, mereka gagal melihat hubungan yang begitu dekat antara kurangnya pemenuhan kebutuhan manusiawi mereka, ketidakpuasan dan penderitaan di satu pihak dan tatanan sosial-ekonomi serta kondisi-kondisi material tempat mereka terlibat dalam dinamikanya di pihak lain. Misalnya, daripada merujuk sebab kemiskinannya pada praktik penghisapan kapitalis, seorang buruh lebih sering menunjuk pada takdir atau nasib sial.[2]
Gramsci yang berasal dari Partai Komunis Italia, mengungkapkan titik awal konsepnya tentang hegemoni sebagai suatu cara menjalankan kekuasaan suatu kelas atas kelas-kelas di bawahnya. Hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Pelibatan para intelektual dalam birokrasi pemerintah misalnya, serta intervensi melalui lembaga-lembaga pendidikan dan seni oleh negara adalah bentuk-bentuk upaya untuk melakukan hegemoni terhadap rakyat. Pada beberapa paragraf dalam karyanya, Prison Notebooks, Gramsci menggunakan kata “direzione” (kepemimpinan, pengarahan) secara bergantian dengan “egemonia” (hegemoni) dan berlawanan dengan “dominazione” (dominasi).
Hegemoni juga dapat dimaknai sebagai pemenangan pemikiran kelas yang berkuasa lewat penguasaan basis-basis pikiran (kognitif), kemampuan kritis, dan kemampuan-kemampuan afektif (emosi, perasaan) masyarakat melalui konsensus yang menggiring kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam pola kerangka pikiran yang ditentukan lewat birokrasi. Hegemoni memiliki makna yang lebih luas dari ideologi. Di dalam hegemoni terkandung ideologi tetapi tidak hanya itu. Sebuah ideologi belum menjadi hegemoni jika efeknya hanya muncul pada satu kelompok tertentu saja. Ideologi kelas, misalnya, hanya berpengaruh terhadap satu kelas, sedangkan hegemoni memengaruhi keseluruhan masyarakat.
Gramsci meletakan pengertian hegemoni ini dalam konteks pelaksanaan politik dalam dua arti: pertama, dalam arti pelaksanaan politik yang melibatkan tindak kekerasan, penindasan dengan menggunakan senjata, penyiksaan fisik dan intimidasi tangan besi. Kedua, pelaksanaan politik yang tampil dalam upaya penguasaan intelektual dan moral. Dalam arti kedua ini, penguasaan melibatkan cara-cara kultural dan intelektual yang canggih untuk melumpuhkan kesadaran kritis rakyat yang dikuasai. Di sini digunakan kekuatan persuasif negara lewat berbagai institusi seperti media massa, pendidikan dan agama yang secara sengaja dikuasai oleh negara.
Ulasan Gramsci ini sedikit banyak senada dengan apa yang dikemukakan oleh Karl Marx. Marx menempatkan suprastruktur ideologis ini satu kamar dengan suprastruktur politis. Peran negara dengan segala perangkatnya adalah mewakili kepentingan kelas yang berkuasa atau golongan yang dominan. Perangkat negara mencakup organisasi pemerintahan, tentara, polisi, pengadilan, penjara, peraturan perundang-undangan dan sebagainya. semua perangkat ini ada sebagai pendukung berlanjutnya penegakan kepentingan kelas dominan dengan segala gagasannya. Misalnya (suprastruktur pemaksa), dalam suatu formasi sosial-ekonomi yang memerlukan berlanjutnya tatanan melalui tegaknya kepemilikan pribadi, negara akan mengesahkan peraturan yang keras terhadap setiap pencuri dan berkat suprastruktur yang ideologis, hal ini akan di“amin”ni oleh kebanyakan orang, baik kelas yang tersubordinasi maupun kelas yang dominan.
Terakhir, menurut Gramsci, untuk menghilangkan pengaruh hegemoni harus dilakukan ‘counterhegemony’ yaitu penyebaran yang melingkupi aspek sosial, budaya, politik, ekonomi serta menyentuh aspek kognitif tentang ketertindasan yang disebabkan oleh hegemoni. Counterhegemony harus disertai dengan kampanye politik dan program-program pengembalian kesadaran kaum tertindas. Pengembalian kesadaran ini yang akan dapat menghilangkan efek hegemoni (Takwin, 2009: 74).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar