Total Tayangan Halaman

Senin, 27 Juni 2011

Kangen Kamu, mah...



Menjadi mata adalah melihat tanpa suara mah
Menggambar kita dalam kalimat bukan berarti lupa pita suara
Hanya saja, satu bentuk cinta terlihat sering lupa.

Mah, mungkin aku lupa menengok nisanmu, tapi percaya..
Tengadah tangan disudut kamar tidak henti kuucapkan.
Walaupun itu tidak akan balas keringat gelisahmu saat beri nafas pertama.

Mah, aku ingat..
Kau selalu selubungi gerakku dengan gelak canda tawa
Kau selimuti pembaringanku dengan sentuhan hangat di dada, dan
Kau juga yang belaku dari otot Papah dengan raga.

Terimakasih mah...

Sekarang, aku harus selimuti diri sendiri.
Melangkah dan berlari untuk capai cita.
Hantam gerhana bulan yang memedar di atas kolam.
Teriak lantang tentang kesenjangan...
hingga mungkin aku lupa menjiarahimu.

Jangan marah mah...
Karena aku selalu kangen kamu.
Seperti kematian, itu abadi...

HEGEMONI


Antonio Gramsci (1891-1937)

Pandangan Gramsci tentang hegemoni berawal dari sebuah pertanyaan, yakni mengapa negeri-negeri kapitalis tidak juga runtuh? Pertanyaan ini dijawabnya dengan menunjukan bahwa dalam negeri-negeri kapitalis telah terbentuk hegemoni ideologi kelas penguasa dalam kehidupan masyarakat. Dengan begitu, Gramsci (juga Althusser) menempatkan negara dan perangkat negara sebagai satuan analisis yang berbeda, karena ia mengajukan konsep perangkat ideologis negara yang berfungsi sama dengan perangkat pemaksa (koersif), meski perangkat ideologis memunyai fungsi khas, yaitu melalui penerapan kekuasaan negara lewat pembujukan dan penyamaran.
Melalui struktur yang memobilisasi penguasaan secara halus, negara mereproduksi ketundukan warga terhadap satu gagasan tertentu, sehingga struktur ini membuat kerangka-kerangka yang dapat membatasi ruang pandang individu untuk mengenali dunia. Bagus Takwin mengatakan bahwa dunia seseorang manusia sejak semula adalah dunia terbingkai struktur yang tertanam dalam dirinya. Tumbuhlah ia menjadi manusia yang digerakan struktur, makin menjauh dari dirinya, tak disadari dan tak terhindari (Althusser, 2008: xvi). Dengan demikian, struktur mendorong lahirnya ideologi.
Ideologi dalam pengertian ini adalah segala yang sudah tertanam dalam diri individu sepanjang hidupnya; history turn into nature, produk sejarah yang seolah-olah menjelma sebagai sesuatu yang alamiah (Althusser, 2008: xvi). Oleh karena itu, hegemoni ini merujuk pada suatu ideologi yang sudah sedemikian dominan dan menyebar dalam suatu masyarakat. Dengan kata lain, ideologi membawa manusia bergerak dalam relasi yang tak nyata namun seolah nyata, menerima yang semu seperti nyata, yang fana sebagai abadi. Gramsci menjelaskan hegemoni sebagai berikut:

“...sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataaan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh citarasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral,” (Gramsci dalam Flick yang dikutip dari Takwin, 2009: 73).

Ideologi kelas penguasa ini merembes ke dalam segala aspek kehidupan dan menjadi semacam ‘akal sehat bersama’ yang menjadi patokan benar-salah, baik-buruk, dan indah-jelek. ‘Akal sehat bersama’ ini berguna dalam kehidupan praktis agar bertindak benar secara sosial dan menjadikan segala sesuatu sebagai wajar adanya. Namun, kesadaran bersama ini tentu tidak secara asali begitu atau begitu saja ada. Bagaimana hal itu bisa terwujud? Hegemoni kelas penguasa atas kesadaran kelas pekerja harus terwujud, karena kapitalisme wajib membentuk-ulang (mereproduksi) kondisi produksinya agar tetap berjalan langgeng. Tidak hanya membentuk-ulang sarana produksi dan bahan baku yang diperoleh lewat keterjalinan produksi dan distribusi komoditi dalam suatu kesatuan ekonomi-politik, tetapi juga membentuk-ulang tenaga kerja dari generasi ke generasi.
Meski sama-sama kekuatan produksi, tenaga kerja tentu berbeda dengan mesin, maka pembentukannya mesti memerhatikan aspek kesadaran. Kesadaran ini menjadi sarana manusia untuk memahami dan bertindak dalam dan terhadap lingkungannya sesuai dengan ‘akal sehat bersama’ yang berguna dalam kehidupan praktis agar bertindak benar secara sosial dan menjadikan segala sesuatu sebagai wajar adanya. Tetapi, kesadaran bersama ini tentu tidak lahir secara ilahiah, karena pembentukan dan pemeliharaan kesadaran ini dapat melalui lembaga-lembaga penular yang memobilisasi satu gagasan umum dari satu generasi ke generasi lainnya. Oleh Louis Althusser lembaga-lembaga ini disebutnya dengan Perangkat Negara Ideologis (ISA).[1]
Melalui hegemoni, negara memaksakan ideologinya kepada rakyat melalui kekuatan persuasif (media massa, pendidikan dan agama yang secara sengaja dikuasai negara). Negara merekayasa kesadaran rakyat sehingga, tanpa disadari, kesadaran itu mendukung kekuasaan negara dan bahkan individu-individu menemukan dirinya tidak mampu menyadari kepentingan mereka yang sesungguhnya. Artinya, mereka gagal melihat hubungan yang begitu dekat antara kurangnya pemenuhan kebutuhan manusiawi mereka, ketidakpuasan dan penderitaan di satu pihak dan tatanan sosial-ekonomi serta kondisi-kondisi material tempat mereka terlibat dalam dinamikanya di pihak lain. Misalnya, daripada merujuk sebab kemiskinannya pada praktik penghisapan kapitalis, seorang buruh lebih sering menunjuk pada takdir atau nasib sial.[2]
Gramsci yang berasal dari Partai Komunis Italia, mengungkapkan titik awal konsepnya tentang hegemoni sebagai suatu cara menjalankan kekuasaan suatu kelas atas kelas-kelas di bawahnya. Hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Pelibatan para intelektual dalam birokrasi pemerintah misalnya, serta intervensi melalui lembaga-lembaga pendidikan dan seni oleh negara adalah bentuk-bentuk upaya untuk melakukan hegemoni terhadap rakyat. Pada beberapa paragraf dalam karyanya, Prison Notebooks, Gramsci menggunakan kata “direzione” (kepemimpinan, pengarahan) secara bergantian dengan “egemonia” (hegemoni) dan berlawanan dengan “dominazione” (dominasi).  
Hegemoni juga dapat dimaknai sebagai pemenangan pemikiran kelas yang berkuasa lewat penguasaan basis-basis pikiran (kognitif), kemampuan kritis, dan kemampuan-kemampuan afektif (emosi, perasaan) masyarakat melalui konsensus yang menggiring kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam pola kerangka pikiran yang ditentukan lewat birokrasi. Hegemoni memiliki makna yang lebih luas dari ideologi. Di dalam hegemoni terkandung ideologi tetapi tidak hanya itu. Sebuah ideologi belum menjadi hegemoni jika efeknya hanya muncul pada satu kelompok tertentu saja. Ideologi kelas, misalnya, hanya berpengaruh terhadap satu kelas, sedangkan hegemoni memengaruhi keseluruhan masyarakat.
Gramsci meletakan pengertian hegemoni ini dalam konteks pelaksanaan politik dalam dua arti: pertama, dalam arti pelaksanaan politik yang melibatkan tindak kekerasan, penindasan dengan menggunakan senjata, penyiksaan fisik dan intimidasi tangan besi. Kedua, pelaksanaan politik yang tampil dalam upaya penguasaan intelektual dan moral. Dalam arti kedua ini, penguasaan melibatkan cara-cara kultural dan intelektual yang canggih untuk melumpuhkan kesadaran kritis rakyat yang dikuasai. Di sini digunakan kekuatan persuasif negara lewat berbagai institusi seperti media massa, pendidikan dan agama yang secara sengaja dikuasai oleh negara.
Ulasan Gramsci ini sedikit banyak senada dengan apa yang dikemukakan oleh Karl Marx. Marx menempatkan suprastruktur ideologis ini satu kamar dengan suprastruktur politis. Peran negara dengan segala perangkatnya adalah mewakili kepentingan kelas yang berkuasa atau golongan yang dominan. Perangkat negara mencakup organisasi pemerintahan, tentara, polisi, pengadilan, penjara, peraturan perundang-undangan dan sebagainya. semua perangkat ini ada sebagai pendukung berlanjutnya penegakan kepentingan kelas dominan dengan segala gagasannya. Misalnya (suprastruktur pemaksa), dalam suatu formasi sosial-ekonomi yang memerlukan berlanjutnya tatanan melalui tegaknya kepemilikan pribadi, negara akan mengesahkan peraturan yang keras terhadap setiap pencuri dan berkat suprastruktur yang ideologis, hal ini akan di“amin”ni oleh kebanyakan orang, baik kelas yang tersubordinasi maupun kelas yang dominan.
Terakhir, menurut Gramsci, untuk menghilangkan pengaruh hegemoni harus dilakukan ‘counterhegemony’ yaitu penyebaran yang melingkupi aspek sosial, budaya, politik, ekonomi serta menyentuh aspek kognitif tentang ketertindasan yang disebabkan oleh hegemoni. Counterhegemony harus disertai dengan kampanye politik dan program-program pengembalian kesadaran kaum tertindas. Pengembalian kesadaran ini yang akan dapat menghilangkan efek hegemoni (Takwin, 2009: 74).

*Catatan saku utk kelas LK, tp tdk sempat saya sampaikan. Saya simpan saja di sini...

[1] dalam pandangan Althusser, media berada di dalam struktur negara yang ideologis.
[2] Kondisi seperti ini disebut Marx sebagai kesadaran palsu.

Jumat, 03 Juni 2011

Inti Pemikiran Marx


  1. Sejarah, adalah bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Ia adalah proses dinamis (tidak ajeg), oleh karena itu dapat dimengerti.
  2.  Teori yang sistematis, karena dapat menerangkan keadaan dulu, sekarang dan yang akan datang.
  3. Materialisme historis:
    • Bahan mentah/ means of production
    •  Hubungan produksi
    • Daya produksi
    • Pertentangan kelas, memengaruhi perkembangan di dalam masyarakat. Olehnya corak produksi baru akan lahir (sejarah adalah konflik kelas).
  4. Pemapanan (sistem produksi dan reproduksi) oleh ideologi penguasa kepada masyarakat. Dengan begitu, “kesadaran bersama” adalah sebuah kontruksi kelas hegemoni.

TANGGAPAN ATAS “KOMUNISME”nya GM

Jatinangor, 31 Mei 2011

“KOMUNISME” dalam Catatan Pinggir, edisi 30 Januari 2011.

Sore itu, saya dan beberapa teman tengah berada di kampus, dalam satu bagian ruang di sana kami mengobrol ngalor-ngidul. Karena ngalor-ngidul-nya ini, tentu itu hanya pembicaraan warung kopi yang tak dapat mengubah apapun, bahkan saya lupa apa saja yang kita obrolkan ketika itu, hanya saja saya ingat bahwa kami sempat membicarakan Goenawan Mohammad yang hingga titik usia selalu menulis pada kolom halaman akhir sebelum sampul penutup dari majalah yang banyak dijadikan skripsi di jurusan saya. Selain jago menulis, GM pun terlihat piawai dalam memaknai. Oleh karena itu, tentu dia punya pemaknaan pribadi atas tulisannya “Catatan Pinggir” yang ditaruh pada halaman akhir itu. Apa itu merupakan ‘hidangan’ penutup? entahlah, namun jika demikian berarti tulisan itu tak lain adalah tulisan yang kadarnya lebih rendah ketimbang informasi utama, begitu.
             Dalam obrolan itu, saya sempat melontarkan pernyataan “kampring” untuk mengisyaratkan bahwa saya tidak suka dengan tulisan GM pada edisi 30 Januari 2011 yang diberinya judul “Komunisme.” Ketika itu, saya memang tidak membeberkan secara rinci mengenai alasan dari ketidaksukaan saya ini, namun di sini saya akan menjelaskannya.
            GM membuka dan menyelami judul “Komunisme” ini dengan sebuah kalimat tanya, “jika komunisme adalah masa lalu, ketakutan kepadanya setali tiga uang dengan nostalgia. Tapi haruskah ide ini hanya disikapi demikan, bila ia adalah impian yang tak pernah lapuk oleh cuaca yang berganti?,” tulisnya. Pertanyaan inipun ia jawab sendiri dengan penuturan khas yang (seringkali) bertolok dari lakon-lakon sastra. Kali ini GM bersembunyi dari balik pena Shakepeare, ia menggunakan Gonzalo (tokoh dalam The Tempest atau Prahara) sebagai seseorang yang merepresentasikan sebuah bayangan tentang masyarakat, alam yang menghasilkan apa saja bagi kebutuhan manusia dan orang tak berkekurangan dan belakangan, bayangan Gonzalo ini yang kemudian ia samakan dengan “komunisme”:   

            Di sana orang tak perlu bekerja, “all men (are) idle.” Tak ada perebutan. Tak ada sengketa. Tak ada pengadilan yang menengahi sengketa” “No name of magistrate.” dan dengan demikian tak perlu ada raja yang berdaulat yang menjaga agar peradilan efektif: “No sovereignty,” (GM, paragraf empat Komunisme, edisi 30 Januari 2011).

            Selintas, kutipan di atas mirip-mirip dengan konstruksi seseorang akan dunia setelah kematian, yang mengandaikan bahwa manusia tak perlu bekerja karena telah tersedia cangkir dan susu hangat ketika kamu menginginkannya. Namun, apa iya itu komunisme? Bukannya dunia itu tempatnya orang yang bekerja, karena sedari dulu hingga sekarang tidak ada sebuah produksi kehidupan material tanpa terkandung kerja manusia di dalamnya. Di sini, saya pikir pak tua yang satu ini keliru karena telah mengandaikan bahwa komunisme tidak mensyaratkan manusia yang bekerja.
             Di negeri manapun, kerja tidak akan lepas dari manusia. Alih-alih menyebut tidak ada kerja, maka tidak juga kita dapat mengartikan bahwa tidak ada kerja sama sekali di atas bumi. Hanya saja, kerja seperti apa yang tidak dapat lepas ini? apakah kerja melalui tanam paksa? atau kerja dalam balutan sistem pabrik dan industri modern di bawah kapitalisme? Saya pikir hal ini yang mesti dipertanyakaan dan dipersoalkan, bukan semata-mata mengiming-imingi manusia akan hidup bebas tanpa kerja. Karena perjuangan komunisme sedikit banyak adalah perjuangan kelas dalam sebuah hubungan produksi, serta persoalan kepemilikan di dalam masyarakat, dan juga kritik atas mobilisasi represivitas yuridis-politis dan penyebaran kesadaran bersama secara sosial dalam suprastruktur yang ikut berperan dalam memapankan cara produksi kehidupan material (basis).
            Bahkan pada paragraf selanjutnya GM seolah ingin menegaskan bahwa Karl Marx mengatakan seperti apa yang dikatakan Gonzalo, dengan kalimat: “Dalam kata-kata Marx dua abad kemudian, itulah masyarakat komunis, masyarakat di mana “negara”—sebuah instrumen pemaksa—tak dibutuhkan lagi, sebab tak ada lagi konflik di antara kelompok sosial.” Sayang sekali, dalam kalimat ini seolah-olah negaralah yang (di buat) salah, karena telah menyebabkan segala ketimpangan yang berdarah ini. Padahal, negara bukanlah penggerak utama sejarah. Negara sendiri hanya sebuah unsur dari suatu jenis masyarakat. Yang dimaksud dengan ‘suatu masyarakat tertentu’ adalah suatu organisasi kehidupan bersama di antara orang-orang dalam suatu babak sejarah. Dari sudut pandang ini, perombakan politis atas negara tidaklah tepat karena apa yang harus dirombak adalah tatanan sosial yang di atasnya negara sebagai sebuah lembaga sosial yang muncul sebagai akibat. Menurut Marx, negara sendiri bukanlah sumber ketidakadilan, tetapi sekedar hasil sampingan dari tatanan masyarakat yang terpilah ke dalam kelas-kelas yang tertata secara tidak adil (Mulyanto, 2011: 118-119).
            Tidak hanya itu, GM dalam paragraf lain menulis seperti ini, “Memang ada gagasan agar alat-alat produksi dikuasai bersama oleh masyarakat, hingga hasilnya tak terganggu krisis. Tapi haruskah untuk gemah ripah itu manusia mengikuti agresivitas kapitalisme.” Saya sebetulnya tidak mengerti maksud dari kalimat ini, sebuah pertanyaankah atau sebuah kritikan? tentu hanya GM yang bisa menjawab. Namun, kata ‘itu’ dalam petikan di atas seperti tertuju kepada atau menunjuk pada “alat-alat produksi” dalam kalimat sebelumnya yang mana berarti agresivitas kapitalisme ini tak lain dan tak bukan adalah mengenai alat-alat produksi. Oleh karena itu, saya pikir GM ingin menyalahi kalimat pertama (penguasaan alat-alat produksi oleh masyarakat) dengan kalimat ke dua (agresivitas kapitalisme).
            Entah apa yang dia pikirkan. Apa karena kapitalisme itu identik dengan penguasaan alat-alat produksi maka penguasaan alat-alat produksi oleh masyarakat dapat dikatakan serupa dengan kapitalisme? Tentu saja tidak pak GM. Karena saya pikir dalam mekanisme produksi apa pun, terciptanya alat-alat produksi merupakan suatu berkah. Seperti ketika manusia terdahulu menemukan mata tombak untuk melengkapi kelemahan fisiknya ketika bertahan hidup melawan binatang buas. Walaupun begitu, dalam kapitalisme hal ini memang sangat memengaruhi pengorganisasian tenaga kerja dan sekaligus membuat tenaga kerja semakin tereksploitasi; mesin yang semakin produktif akan menekan waktu kerja perlu namun akan menambah waktu kerja lebih, sehingga keuntungan lebih besar akan masuk kantong kapitalis. Oleh karena itu, hal ini bukan sekedar ada atau tidaknya alat-alat produksi tetapi lebih kepada hubungan antar kelas, kapitalis dan proletar; antara kepemilikan atas kekuatan produktif (SDM, SDA, perkakas kerja).  
            Lalu, dengan merujuk pada lakon Gonzalo, GM mengatakan bahwa kekuatan produktif adalah hanya alam. Pernyataan ini dapat dikatakan dengan banyak salah, mari kita katakan dengan lantang: “salah, salah, salah, salah dan salah.” Karena tidak hanya alam, manusia dengan keterampilannya dan perkakas kerja juga merupakan kekuatan produktif. Dan bukan manusia yang agresif yang menjadi pangkal kekejian, terhadap air, fauna, udara dan bahkan tubuhnya sendiri, juga orang lain, melainkan kapitalis. Dalam kalimatnya itu, GM seolah ingin mengidentifikasikan bahwa manusia hanya pasif, oleh karena itu tidak perlu dibicarakan ketika dieksploitasi; manusia itu agresif, oleh karena itu perlu diatur dengan tindakan yang keras; manusia itu keji kepada diri sendiri dan orang lain, oleh karena itu pantas menerima hukuman. Bahkan, GM menyebut bahwa manusia adalah yang hanya menampung kedermawanan bumi. Woi, manusia itu tidak pasif pak! Mereka adalah sang pemberi nilai, oleh karena itu pantas menuntut hak lebih atas nilai yang telah dicurahkannya.
            Tidak puas sembuyi dari balik Gonzalo, GM kemudian menggunakan satu tokoh lain dari Shakespeare: Lear. Dia menceritakan bahwa Lear adalah seorang raja yang meninggalkan takhtanya karena tahkta tersebut diperebutkan dengan bengis oleh putri-putrinya. Ia kemudian mengembara di tengah alam yang dingin, muram, hampa. Di situ, katanya, pengemis yang paling papa pun seakan-akan berlebih dan hidup manusia demikian murahnya. (...) Hidup murah di sini berarti hidup yang tak memerlukan banyak.. Melalui Lear juga ia menghimbau agar kekayaan yang berlimpah ruah itu didistribusikan, hingga tiap orang berkecukupan
            Melalui lakon di atas, entah pesan apa yang ingin disampaikan GM. Di samping tulisan GM secara keseluruhan terlalu manis dalam diksi yang menyebabkan tirai turun menutupi makna sebenarnya, pembahasannya pun terlalu sederhana dan sedikit dalam kuantitas (satu halaman, khas Catatan Pinggir) untuk dapat menjelaskan kompleksitas makna tentang komunisme, sehingga saya juga mungkin pembaca lain sedikit mengerutkan dahi untuk mengerti. Alangkah baiknya jika GM menuliskannya dengan lebih komprehensif (tidak dalam Catatatan Pinggir), lebih panjang, berhalaman-halaman untuk menghindari salah interpretasi, karena bahasa lahir membawa keterbatasannya untuk memaknai dunia. Namun, saya akan mencoba memaknainya dan memberi tanggapan atasnya.
            Menurut saya, GM ingin menghantarkan kesadaran pembaca agar tinggalkan suatu kekacauan yang ditimbulkan oleh soal kepemilikan – oleh pertentangan hak seseorang sebagai pemilik. Walaupun kita punya takhta, materi, rumah, dsb (yang kita peroleh dari kerja) kita mesti rela untuk meninggalkannya, karena orang sekaliber raja pun rela untuk meninggalkannya, apalagi kita kelas pekerja. Tinggalkan saja dan pergi ke kota lain untuk mencari penghidupan yang lebih murah, seperti yang digambarkan melalui kalimat “Di situ, pengemis yang paling papa pun seakan-akan berlebih dan hidup demikian murahnya.” Tetapi, tetap saja raja itu sebagai seorang yang “papa.” Tidak memiliki apapun, walaupun ia dapat membeli. Membeli barang-barang kebutuhan yang katanya murah; murah karena hukum persaingan antar kapitalis; murah karena penggandaan mesin paroduksi yang baru; murah karena meningkatkan waktu kerja labih bagi pekerja; murah karena pekerja dibayar murah. Apa GM lupa? mungkin ia berusaha melupakannya.
            Mengenai kalimat terakhir di atas yang menerangkan soal distribusi kekayaan, sebetulnya saya setuju, karena memang kekayaan adalah milik semua orang, oleh karenanya mesti dibagi rata. Namun, sayangnya ia tidak menyebut dari cara seperti apa dan bagaimana orang dapat memeroleh kekayaan yang berlebih itu. Bahkan, dirinya seperti yang ingin mewajarkan bahwa ketika orang belebih itu sudah memberi derma agar orang berkecukupan, maka tidak perlu dipertentangkan. Pak, tentu setiap kapitalis itu baik dan selalu memberi derma. Misalnya, jika Anda berkunjung ke rumah Bakrie tentu Anda akan disambut dengan ramah dan akan dipersilahkan untuk menyantap makanan yang tidak sekedar sebagai derma yang minimal. Tetapi, ini bukan soal pemberian derma kepada orang-orang tidak mampu, ini adalah soal eksploitasi kelas terhadap kelas lainnya dalam bangunan ekonomi (basis) yang tidak berkeadilan seperti yang dikatakan Karl Marx, bukan Lear maupun yang diimpikan Gonzalo.
            Terakhir, GM menutup “Komunisme” dengan kalimat “Jika itu adalah ide komunisme, ia memang lebih tua ketimbang Marx. Dan saya kira, tanpa Marx, seruan Lear dan impian Gonzalo akan berlanjut. Kadang-kadang dengan ketakutan. Kadang-kadang dengan nostalgia.” Kalimat penutup ini seperti yang ingin menghapus nama Marx yang telah menyurahkan segala daya dan pikiran untuk mengeritik dan memberi jawaban tentang kapitalisme. GM seolah ingin menyelaraskan seruan Lear dan harapan Gonzalo dengan gagasan sistematis atau ilmiah Karl Marx terhadap kapitalisme. Tentu hal ini memiliki kadar yang berbeda dan tidak dapat disamakan, karena gagasan Marx memiliki kadar lebih tinggi untuk dapat menerangkan keadaan dulu, sekarang dan akan datang dalam koridor akademis, bukan hanya sekedar lakon yang bergelimang manisnya diksi.  
Selain itu pak, tanpa Marx kita tidak akan dapat menilai bagaimana tatanan masyarakat sangat dipengaruhi basis dan juga suprastruktur yang membangun segala tameng untuk melanggengkan pijakan sistem ekonomi dominan. Tanpa Marx, mungkin para intelektual, cendekia, maupun rakyat jelata tidak dapat mengembangkan teori tentang masyarakat dan kebudayaan untuk dijadikan modal sebagai pisau analisa, sebagai laku yang bertanggungjawab terhadap sesama. Oleh karena itu, tarik kalimat penutup Anda pada Catatan Pinggir edisi 30 Januari 2011. Sekian.