Total Tayangan Halaman

Senin, 27 Juni 2011

Kangen Kamu, mah...



Menjadi mata adalah melihat tanpa suara mah
Menggambar kita dalam kalimat bukan berarti lupa pita suara
Hanya saja, satu bentuk cinta terlihat sering lupa.

Mah, mungkin aku lupa menengok nisanmu, tapi percaya..
Tengadah tangan disudut kamar tidak henti kuucapkan.
Walaupun itu tidak akan balas keringat gelisahmu saat beri nafas pertama.

Mah, aku ingat..
Kau selalu selubungi gerakku dengan gelak canda tawa
Kau selimuti pembaringanku dengan sentuhan hangat di dada, dan
Kau juga yang belaku dari otot Papah dengan raga.

Terimakasih mah...

Sekarang, aku harus selimuti diri sendiri.
Melangkah dan berlari untuk capai cita.
Hantam gerhana bulan yang memedar di atas kolam.
Teriak lantang tentang kesenjangan...
hingga mungkin aku lupa menjiarahimu.

Jangan marah mah...
Karena aku selalu kangen kamu.
Seperti kematian, itu abadi...

HEGEMONI


Antonio Gramsci (1891-1937)

Pandangan Gramsci tentang hegemoni berawal dari sebuah pertanyaan, yakni mengapa negeri-negeri kapitalis tidak juga runtuh? Pertanyaan ini dijawabnya dengan menunjukan bahwa dalam negeri-negeri kapitalis telah terbentuk hegemoni ideologi kelas penguasa dalam kehidupan masyarakat. Dengan begitu, Gramsci (juga Althusser) menempatkan negara dan perangkat negara sebagai satuan analisis yang berbeda, karena ia mengajukan konsep perangkat ideologis negara yang berfungsi sama dengan perangkat pemaksa (koersif), meski perangkat ideologis memunyai fungsi khas, yaitu melalui penerapan kekuasaan negara lewat pembujukan dan penyamaran.
Melalui struktur yang memobilisasi penguasaan secara halus, negara mereproduksi ketundukan warga terhadap satu gagasan tertentu, sehingga struktur ini membuat kerangka-kerangka yang dapat membatasi ruang pandang individu untuk mengenali dunia. Bagus Takwin mengatakan bahwa dunia seseorang manusia sejak semula adalah dunia terbingkai struktur yang tertanam dalam dirinya. Tumbuhlah ia menjadi manusia yang digerakan struktur, makin menjauh dari dirinya, tak disadari dan tak terhindari (Althusser, 2008: xvi). Dengan demikian, struktur mendorong lahirnya ideologi.
Ideologi dalam pengertian ini adalah segala yang sudah tertanam dalam diri individu sepanjang hidupnya; history turn into nature, produk sejarah yang seolah-olah menjelma sebagai sesuatu yang alamiah (Althusser, 2008: xvi). Oleh karena itu, hegemoni ini merujuk pada suatu ideologi yang sudah sedemikian dominan dan menyebar dalam suatu masyarakat. Dengan kata lain, ideologi membawa manusia bergerak dalam relasi yang tak nyata namun seolah nyata, menerima yang semu seperti nyata, yang fana sebagai abadi. Gramsci menjelaskan hegemoni sebagai berikut:

“...sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataaan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh citarasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral,” (Gramsci dalam Flick yang dikutip dari Takwin, 2009: 73).

Ideologi kelas penguasa ini merembes ke dalam segala aspek kehidupan dan menjadi semacam ‘akal sehat bersama’ yang menjadi patokan benar-salah, baik-buruk, dan indah-jelek. ‘Akal sehat bersama’ ini berguna dalam kehidupan praktis agar bertindak benar secara sosial dan menjadikan segala sesuatu sebagai wajar adanya. Namun, kesadaran bersama ini tentu tidak secara asali begitu atau begitu saja ada. Bagaimana hal itu bisa terwujud? Hegemoni kelas penguasa atas kesadaran kelas pekerja harus terwujud, karena kapitalisme wajib membentuk-ulang (mereproduksi) kondisi produksinya agar tetap berjalan langgeng. Tidak hanya membentuk-ulang sarana produksi dan bahan baku yang diperoleh lewat keterjalinan produksi dan distribusi komoditi dalam suatu kesatuan ekonomi-politik, tetapi juga membentuk-ulang tenaga kerja dari generasi ke generasi.
Meski sama-sama kekuatan produksi, tenaga kerja tentu berbeda dengan mesin, maka pembentukannya mesti memerhatikan aspek kesadaran. Kesadaran ini menjadi sarana manusia untuk memahami dan bertindak dalam dan terhadap lingkungannya sesuai dengan ‘akal sehat bersama’ yang berguna dalam kehidupan praktis agar bertindak benar secara sosial dan menjadikan segala sesuatu sebagai wajar adanya. Tetapi, kesadaran bersama ini tentu tidak lahir secara ilahiah, karena pembentukan dan pemeliharaan kesadaran ini dapat melalui lembaga-lembaga penular yang memobilisasi satu gagasan umum dari satu generasi ke generasi lainnya. Oleh Louis Althusser lembaga-lembaga ini disebutnya dengan Perangkat Negara Ideologis (ISA).[1]
Melalui hegemoni, negara memaksakan ideologinya kepada rakyat melalui kekuatan persuasif (media massa, pendidikan dan agama yang secara sengaja dikuasai negara). Negara merekayasa kesadaran rakyat sehingga, tanpa disadari, kesadaran itu mendukung kekuasaan negara dan bahkan individu-individu menemukan dirinya tidak mampu menyadari kepentingan mereka yang sesungguhnya. Artinya, mereka gagal melihat hubungan yang begitu dekat antara kurangnya pemenuhan kebutuhan manusiawi mereka, ketidakpuasan dan penderitaan di satu pihak dan tatanan sosial-ekonomi serta kondisi-kondisi material tempat mereka terlibat dalam dinamikanya di pihak lain. Misalnya, daripada merujuk sebab kemiskinannya pada praktik penghisapan kapitalis, seorang buruh lebih sering menunjuk pada takdir atau nasib sial.[2]
Gramsci yang berasal dari Partai Komunis Italia, mengungkapkan titik awal konsepnya tentang hegemoni sebagai suatu cara menjalankan kekuasaan suatu kelas atas kelas-kelas di bawahnya. Hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Pelibatan para intelektual dalam birokrasi pemerintah misalnya, serta intervensi melalui lembaga-lembaga pendidikan dan seni oleh negara adalah bentuk-bentuk upaya untuk melakukan hegemoni terhadap rakyat. Pada beberapa paragraf dalam karyanya, Prison Notebooks, Gramsci menggunakan kata “direzione” (kepemimpinan, pengarahan) secara bergantian dengan “egemonia” (hegemoni) dan berlawanan dengan “dominazione” (dominasi).  
Hegemoni juga dapat dimaknai sebagai pemenangan pemikiran kelas yang berkuasa lewat penguasaan basis-basis pikiran (kognitif), kemampuan kritis, dan kemampuan-kemampuan afektif (emosi, perasaan) masyarakat melalui konsensus yang menggiring kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam pola kerangka pikiran yang ditentukan lewat birokrasi. Hegemoni memiliki makna yang lebih luas dari ideologi. Di dalam hegemoni terkandung ideologi tetapi tidak hanya itu. Sebuah ideologi belum menjadi hegemoni jika efeknya hanya muncul pada satu kelompok tertentu saja. Ideologi kelas, misalnya, hanya berpengaruh terhadap satu kelas, sedangkan hegemoni memengaruhi keseluruhan masyarakat.
Gramsci meletakan pengertian hegemoni ini dalam konteks pelaksanaan politik dalam dua arti: pertama, dalam arti pelaksanaan politik yang melibatkan tindak kekerasan, penindasan dengan menggunakan senjata, penyiksaan fisik dan intimidasi tangan besi. Kedua, pelaksanaan politik yang tampil dalam upaya penguasaan intelektual dan moral. Dalam arti kedua ini, penguasaan melibatkan cara-cara kultural dan intelektual yang canggih untuk melumpuhkan kesadaran kritis rakyat yang dikuasai. Di sini digunakan kekuatan persuasif negara lewat berbagai institusi seperti media massa, pendidikan dan agama yang secara sengaja dikuasai oleh negara.
Ulasan Gramsci ini sedikit banyak senada dengan apa yang dikemukakan oleh Karl Marx. Marx menempatkan suprastruktur ideologis ini satu kamar dengan suprastruktur politis. Peran negara dengan segala perangkatnya adalah mewakili kepentingan kelas yang berkuasa atau golongan yang dominan. Perangkat negara mencakup organisasi pemerintahan, tentara, polisi, pengadilan, penjara, peraturan perundang-undangan dan sebagainya. semua perangkat ini ada sebagai pendukung berlanjutnya penegakan kepentingan kelas dominan dengan segala gagasannya. Misalnya (suprastruktur pemaksa), dalam suatu formasi sosial-ekonomi yang memerlukan berlanjutnya tatanan melalui tegaknya kepemilikan pribadi, negara akan mengesahkan peraturan yang keras terhadap setiap pencuri dan berkat suprastruktur yang ideologis, hal ini akan di“amin”ni oleh kebanyakan orang, baik kelas yang tersubordinasi maupun kelas yang dominan.
Terakhir, menurut Gramsci, untuk menghilangkan pengaruh hegemoni harus dilakukan ‘counterhegemony’ yaitu penyebaran yang melingkupi aspek sosial, budaya, politik, ekonomi serta menyentuh aspek kognitif tentang ketertindasan yang disebabkan oleh hegemoni. Counterhegemony harus disertai dengan kampanye politik dan program-program pengembalian kesadaran kaum tertindas. Pengembalian kesadaran ini yang akan dapat menghilangkan efek hegemoni (Takwin, 2009: 74).

*Catatan saku utk kelas LK, tp tdk sempat saya sampaikan. Saya simpan saja di sini...

[1] dalam pandangan Althusser, media berada di dalam struktur negara yang ideologis.
[2] Kondisi seperti ini disebut Marx sebagai kesadaran palsu.

Jumat, 03 Juni 2011

Inti Pemikiran Marx


  1. Sejarah, adalah bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Ia adalah proses dinamis (tidak ajeg), oleh karena itu dapat dimengerti.
  2.  Teori yang sistematis, karena dapat menerangkan keadaan dulu, sekarang dan yang akan datang.
  3. Materialisme historis:
    • Bahan mentah/ means of production
    •  Hubungan produksi
    • Daya produksi
    • Pertentangan kelas, memengaruhi perkembangan di dalam masyarakat. Olehnya corak produksi baru akan lahir (sejarah adalah konflik kelas).
  4. Pemapanan (sistem produksi dan reproduksi) oleh ideologi penguasa kepada masyarakat. Dengan begitu, “kesadaran bersama” adalah sebuah kontruksi kelas hegemoni.

TANGGAPAN ATAS “KOMUNISME”nya GM

Jatinangor, 31 Mei 2011

“KOMUNISME” dalam Catatan Pinggir, edisi 30 Januari 2011.

Sore itu, saya dan beberapa teman tengah berada di kampus, dalam satu bagian ruang di sana kami mengobrol ngalor-ngidul. Karena ngalor-ngidul-nya ini, tentu itu hanya pembicaraan warung kopi yang tak dapat mengubah apapun, bahkan saya lupa apa saja yang kita obrolkan ketika itu, hanya saja saya ingat bahwa kami sempat membicarakan Goenawan Mohammad yang hingga titik usia selalu menulis pada kolom halaman akhir sebelum sampul penutup dari majalah yang banyak dijadikan skripsi di jurusan saya. Selain jago menulis, GM pun terlihat piawai dalam memaknai. Oleh karena itu, tentu dia punya pemaknaan pribadi atas tulisannya “Catatan Pinggir” yang ditaruh pada halaman akhir itu. Apa itu merupakan ‘hidangan’ penutup? entahlah, namun jika demikian berarti tulisan itu tak lain adalah tulisan yang kadarnya lebih rendah ketimbang informasi utama, begitu.
             Dalam obrolan itu, saya sempat melontarkan pernyataan “kampring” untuk mengisyaratkan bahwa saya tidak suka dengan tulisan GM pada edisi 30 Januari 2011 yang diberinya judul “Komunisme.” Ketika itu, saya memang tidak membeberkan secara rinci mengenai alasan dari ketidaksukaan saya ini, namun di sini saya akan menjelaskannya.
            GM membuka dan menyelami judul “Komunisme” ini dengan sebuah kalimat tanya, “jika komunisme adalah masa lalu, ketakutan kepadanya setali tiga uang dengan nostalgia. Tapi haruskah ide ini hanya disikapi demikan, bila ia adalah impian yang tak pernah lapuk oleh cuaca yang berganti?,” tulisnya. Pertanyaan inipun ia jawab sendiri dengan penuturan khas yang (seringkali) bertolok dari lakon-lakon sastra. Kali ini GM bersembunyi dari balik pena Shakepeare, ia menggunakan Gonzalo (tokoh dalam The Tempest atau Prahara) sebagai seseorang yang merepresentasikan sebuah bayangan tentang masyarakat, alam yang menghasilkan apa saja bagi kebutuhan manusia dan orang tak berkekurangan dan belakangan, bayangan Gonzalo ini yang kemudian ia samakan dengan “komunisme”:   

            Di sana orang tak perlu bekerja, “all men (are) idle.” Tak ada perebutan. Tak ada sengketa. Tak ada pengadilan yang menengahi sengketa” “No name of magistrate.” dan dengan demikian tak perlu ada raja yang berdaulat yang menjaga agar peradilan efektif: “No sovereignty,” (GM, paragraf empat Komunisme, edisi 30 Januari 2011).

            Selintas, kutipan di atas mirip-mirip dengan konstruksi seseorang akan dunia setelah kematian, yang mengandaikan bahwa manusia tak perlu bekerja karena telah tersedia cangkir dan susu hangat ketika kamu menginginkannya. Namun, apa iya itu komunisme? Bukannya dunia itu tempatnya orang yang bekerja, karena sedari dulu hingga sekarang tidak ada sebuah produksi kehidupan material tanpa terkandung kerja manusia di dalamnya. Di sini, saya pikir pak tua yang satu ini keliru karena telah mengandaikan bahwa komunisme tidak mensyaratkan manusia yang bekerja.
             Di negeri manapun, kerja tidak akan lepas dari manusia. Alih-alih menyebut tidak ada kerja, maka tidak juga kita dapat mengartikan bahwa tidak ada kerja sama sekali di atas bumi. Hanya saja, kerja seperti apa yang tidak dapat lepas ini? apakah kerja melalui tanam paksa? atau kerja dalam balutan sistem pabrik dan industri modern di bawah kapitalisme? Saya pikir hal ini yang mesti dipertanyakaan dan dipersoalkan, bukan semata-mata mengiming-imingi manusia akan hidup bebas tanpa kerja. Karena perjuangan komunisme sedikit banyak adalah perjuangan kelas dalam sebuah hubungan produksi, serta persoalan kepemilikan di dalam masyarakat, dan juga kritik atas mobilisasi represivitas yuridis-politis dan penyebaran kesadaran bersama secara sosial dalam suprastruktur yang ikut berperan dalam memapankan cara produksi kehidupan material (basis).
            Bahkan pada paragraf selanjutnya GM seolah ingin menegaskan bahwa Karl Marx mengatakan seperti apa yang dikatakan Gonzalo, dengan kalimat: “Dalam kata-kata Marx dua abad kemudian, itulah masyarakat komunis, masyarakat di mana “negara”—sebuah instrumen pemaksa—tak dibutuhkan lagi, sebab tak ada lagi konflik di antara kelompok sosial.” Sayang sekali, dalam kalimat ini seolah-olah negaralah yang (di buat) salah, karena telah menyebabkan segala ketimpangan yang berdarah ini. Padahal, negara bukanlah penggerak utama sejarah. Negara sendiri hanya sebuah unsur dari suatu jenis masyarakat. Yang dimaksud dengan ‘suatu masyarakat tertentu’ adalah suatu organisasi kehidupan bersama di antara orang-orang dalam suatu babak sejarah. Dari sudut pandang ini, perombakan politis atas negara tidaklah tepat karena apa yang harus dirombak adalah tatanan sosial yang di atasnya negara sebagai sebuah lembaga sosial yang muncul sebagai akibat. Menurut Marx, negara sendiri bukanlah sumber ketidakadilan, tetapi sekedar hasil sampingan dari tatanan masyarakat yang terpilah ke dalam kelas-kelas yang tertata secara tidak adil (Mulyanto, 2011: 118-119).
            Tidak hanya itu, GM dalam paragraf lain menulis seperti ini, “Memang ada gagasan agar alat-alat produksi dikuasai bersama oleh masyarakat, hingga hasilnya tak terganggu krisis. Tapi haruskah untuk gemah ripah itu manusia mengikuti agresivitas kapitalisme.” Saya sebetulnya tidak mengerti maksud dari kalimat ini, sebuah pertanyaankah atau sebuah kritikan? tentu hanya GM yang bisa menjawab. Namun, kata ‘itu’ dalam petikan di atas seperti tertuju kepada atau menunjuk pada “alat-alat produksi” dalam kalimat sebelumnya yang mana berarti agresivitas kapitalisme ini tak lain dan tak bukan adalah mengenai alat-alat produksi. Oleh karena itu, saya pikir GM ingin menyalahi kalimat pertama (penguasaan alat-alat produksi oleh masyarakat) dengan kalimat ke dua (agresivitas kapitalisme).
            Entah apa yang dia pikirkan. Apa karena kapitalisme itu identik dengan penguasaan alat-alat produksi maka penguasaan alat-alat produksi oleh masyarakat dapat dikatakan serupa dengan kapitalisme? Tentu saja tidak pak GM. Karena saya pikir dalam mekanisme produksi apa pun, terciptanya alat-alat produksi merupakan suatu berkah. Seperti ketika manusia terdahulu menemukan mata tombak untuk melengkapi kelemahan fisiknya ketika bertahan hidup melawan binatang buas. Walaupun begitu, dalam kapitalisme hal ini memang sangat memengaruhi pengorganisasian tenaga kerja dan sekaligus membuat tenaga kerja semakin tereksploitasi; mesin yang semakin produktif akan menekan waktu kerja perlu namun akan menambah waktu kerja lebih, sehingga keuntungan lebih besar akan masuk kantong kapitalis. Oleh karena itu, hal ini bukan sekedar ada atau tidaknya alat-alat produksi tetapi lebih kepada hubungan antar kelas, kapitalis dan proletar; antara kepemilikan atas kekuatan produktif (SDM, SDA, perkakas kerja).  
            Lalu, dengan merujuk pada lakon Gonzalo, GM mengatakan bahwa kekuatan produktif adalah hanya alam. Pernyataan ini dapat dikatakan dengan banyak salah, mari kita katakan dengan lantang: “salah, salah, salah, salah dan salah.” Karena tidak hanya alam, manusia dengan keterampilannya dan perkakas kerja juga merupakan kekuatan produktif. Dan bukan manusia yang agresif yang menjadi pangkal kekejian, terhadap air, fauna, udara dan bahkan tubuhnya sendiri, juga orang lain, melainkan kapitalis. Dalam kalimatnya itu, GM seolah ingin mengidentifikasikan bahwa manusia hanya pasif, oleh karena itu tidak perlu dibicarakan ketika dieksploitasi; manusia itu agresif, oleh karena itu perlu diatur dengan tindakan yang keras; manusia itu keji kepada diri sendiri dan orang lain, oleh karena itu pantas menerima hukuman. Bahkan, GM menyebut bahwa manusia adalah yang hanya menampung kedermawanan bumi. Woi, manusia itu tidak pasif pak! Mereka adalah sang pemberi nilai, oleh karena itu pantas menuntut hak lebih atas nilai yang telah dicurahkannya.
            Tidak puas sembuyi dari balik Gonzalo, GM kemudian menggunakan satu tokoh lain dari Shakespeare: Lear. Dia menceritakan bahwa Lear adalah seorang raja yang meninggalkan takhtanya karena tahkta tersebut diperebutkan dengan bengis oleh putri-putrinya. Ia kemudian mengembara di tengah alam yang dingin, muram, hampa. Di situ, katanya, pengemis yang paling papa pun seakan-akan berlebih dan hidup manusia demikian murahnya. (...) Hidup murah di sini berarti hidup yang tak memerlukan banyak.. Melalui Lear juga ia menghimbau agar kekayaan yang berlimpah ruah itu didistribusikan, hingga tiap orang berkecukupan
            Melalui lakon di atas, entah pesan apa yang ingin disampaikan GM. Di samping tulisan GM secara keseluruhan terlalu manis dalam diksi yang menyebabkan tirai turun menutupi makna sebenarnya, pembahasannya pun terlalu sederhana dan sedikit dalam kuantitas (satu halaman, khas Catatan Pinggir) untuk dapat menjelaskan kompleksitas makna tentang komunisme, sehingga saya juga mungkin pembaca lain sedikit mengerutkan dahi untuk mengerti. Alangkah baiknya jika GM menuliskannya dengan lebih komprehensif (tidak dalam Catatatan Pinggir), lebih panjang, berhalaman-halaman untuk menghindari salah interpretasi, karena bahasa lahir membawa keterbatasannya untuk memaknai dunia. Namun, saya akan mencoba memaknainya dan memberi tanggapan atasnya.
            Menurut saya, GM ingin menghantarkan kesadaran pembaca agar tinggalkan suatu kekacauan yang ditimbulkan oleh soal kepemilikan – oleh pertentangan hak seseorang sebagai pemilik. Walaupun kita punya takhta, materi, rumah, dsb (yang kita peroleh dari kerja) kita mesti rela untuk meninggalkannya, karena orang sekaliber raja pun rela untuk meninggalkannya, apalagi kita kelas pekerja. Tinggalkan saja dan pergi ke kota lain untuk mencari penghidupan yang lebih murah, seperti yang digambarkan melalui kalimat “Di situ, pengemis yang paling papa pun seakan-akan berlebih dan hidup demikian murahnya.” Tetapi, tetap saja raja itu sebagai seorang yang “papa.” Tidak memiliki apapun, walaupun ia dapat membeli. Membeli barang-barang kebutuhan yang katanya murah; murah karena hukum persaingan antar kapitalis; murah karena penggandaan mesin paroduksi yang baru; murah karena meningkatkan waktu kerja labih bagi pekerja; murah karena pekerja dibayar murah. Apa GM lupa? mungkin ia berusaha melupakannya.
            Mengenai kalimat terakhir di atas yang menerangkan soal distribusi kekayaan, sebetulnya saya setuju, karena memang kekayaan adalah milik semua orang, oleh karenanya mesti dibagi rata. Namun, sayangnya ia tidak menyebut dari cara seperti apa dan bagaimana orang dapat memeroleh kekayaan yang berlebih itu. Bahkan, dirinya seperti yang ingin mewajarkan bahwa ketika orang belebih itu sudah memberi derma agar orang berkecukupan, maka tidak perlu dipertentangkan. Pak, tentu setiap kapitalis itu baik dan selalu memberi derma. Misalnya, jika Anda berkunjung ke rumah Bakrie tentu Anda akan disambut dengan ramah dan akan dipersilahkan untuk menyantap makanan yang tidak sekedar sebagai derma yang minimal. Tetapi, ini bukan soal pemberian derma kepada orang-orang tidak mampu, ini adalah soal eksploitasi kelas terhadap kelas lainnya dalam bangunan ekonomi (basis) yang tidak berkeadilan seperti yang dikatakan Karl Marx, bukan Lear maupun yang diimpikan Gonzalo.
            Terakhir, GM menutup “Komunisme” dengan kalimat “Jika itu adalah ide komunisme, ia memang lebih tua ketimbang Marx. Dan saya kira, tanpa Marx, seruan Lear dan impian Gonzalo akan berlanjut. Kadang-kadang dengan ketakutan. Kadang-kadang dengan nostalgia.” Kalimat penutup ini seperti yang ingin menghapus nama Marx yang telah menyurahkan segala daya dan pikiran untuk mengeritik dan memberi jawaban tentang kapitalisme. GM seolah ingin menyelaraskan seruan Lear dan harapan Gonzalo dengan gagasan sistematis atau ilmiah Karl Marx terhadap kapitalisme. Tentu hal ini memiliki kadar yang berbeda dan tidak dapat disamakan, karena gagasan Marx memiliki kadar lebih tinggi untuk dapat menerangkan keadaan dulu, sekarang dan akan datang dalam koridor akademis, bukan hanya sekedar lakon yang bergelimang manisnya diksi.  
Selain itu pak, tanpa Marx kita tidak akan dapat menilai bagaimana tatanan masyarakat sangat dipengaruhi basis dan juga suprastruktur yang membangun segala tameng untuk melanggengkan pijakan sistem ekonomi dominan. Tanpa Marx, mungkin para intelektual, cendekia, maupun rakyat jelata tidak dapat mengembangkan teori tentang masyarakat dan kebudayaan untuk dijadikan modal sebagai pisau analisa, sebagai laku yang bertanggungjawab terhadap sesama. Oleh karena itu, tarik kalimat penutup Anda pada Catatan Pinggir edisi 30 Januari 2011. Sekian.

Senin, 30 Mei 2011

Mushroom


Pantai Batu Karas, 27-28 Mei 2011

Dia datang secara misterius kawan..
Menghantar kesadaran dalam pijak semu
Menyembunyikan mata dibalik pelupuk, juga
Melelapkannya dalam pusaran buih
Memendam riuh dengan segala keanehan,
dalam kepala, tubuh dan kaki sesaat dirinya tercerna.

Uuuuhhh...
pasir terasa bergilir menggerayangi kaki
Seolah ingin menjerat,
membawa segala titik sadar pada laut terdalam
membawamu,
tenggelam..
tenggelam....
tenggelam......., dan
hilang.
Hilang seperti segenggam pasir dalam riuhnya ombak di bibir pantai
yang takan saling rekat, hilang berbutir, kembali secara asali
terombang-ambing dalam bentuk yang tak sama persis.

Sudahlah!
Akhiri dan kau muntahkan saja.
Berikan pada ombak agar menderu, dan 
menggelegar lebih kuat untuk memecah hingar bingar, 
hingga dunia kembali pada titik asal,
dalam titik material dan didikan pengalaman,
dalam sadar, ketika pulang.

Sepatu Cibaduyut, Dilema Antara Meningkatkan Mutu dan Image Murah


Laporan Damar Fery Ardiyan
dari Cibaduyut, Bandung

Bandung – Sebuah sepatu kulit pria berwarna coklat muda menarik perhatian Muhammad Azhari (26) saat berkunjung ke salah satu toko di sentra sepatu Cibaduyut, Bandung. Sepatu pantofel seharga Rp. 100.000 ini memiliki tampilan permukaan yang agak kasar ketimbang sepatu Cibaduyut lainnya, tetapi karena tekstur kulit sepatu seperti inilah yang tidak mengesankan ke-kolot-an menurut pemuda yang akrab dipanggil Abo ini. Namun baginya, sepatu tidak hanya menyoal penampilan, tetapi juga untuk melindungi produk lokal Bandung agar tidak kehilangan konsumennya di tengah persaingan pasar yang semakin menggeliat, sesaat keran perdagangan bebas diputar. “Saya suka sepatu buatan Cibaduyut, selain harganya terjangkau buat saya, untuk kualitas juga ngga kalah ko dengan sepatu lain yang harganya selangit,” katanya.
             Tentu saja, sepatu lokal buatan masyarakat Cibaduyut dapat di uji kualitasnya. Selain karena dikenal sejak lama, produk khas masyarakat Cibaduyut ini adalah produk hand made atau produk yang dibuat dengan tangan. Proses produksi seperti ini akan menghasilkan sepatu yang berkualitas, kuat, rapih dan awet karena memungkinkan pengerjaan yang lebih teliti ketimbang proses produksi lainnya yang selalu mewahidkan kuantitas. Oleh karena itu, sepatu Cibaduyut memiliki kekhasan ketimbang produk lain.
Selain itu, sepatu Cibaduyut juga sudah melanglang hingga ke luar kota. Bahkan, beberapa pengusaha sepatu di Sentra Sepatu Cibaduyut sempat menerima pesanan dari luar negeri walaupun melalui perantara. Hal ini diakui Maswati (42) yang mengatakan bahwa ada beberapa pengrajin sepatu di Cibaduyut yang menerima order untuk ekspor. “Kalau di sini, penjualan ke luar negeri itu biasanya melalui perantara, biasanya itu dari Bali. Nah, orang Bali inilah yang kemudian memasarkan produk Cibaduyut ke luar negeri,” kata perempuan berjilbab ini.
            Hanya saja, jika sudah dipasarkan ke luar kota, komoditi masyarakat Cibaduyut ini akan sulit untuk diidentifikasi sebagai sepatu Cibaduyut, karena tidak sedikit pengrajin yang membuat blank shoes atau sepatu tanpa identitas: nama pembuat (nama toko) dan daerah asal produksi, ketika menyepakati nota pemesanan. Jadi, jangan heran jika sepatu-sepatu yang menghiasi etalase toko modern, diantaranya berasal dari Sentra Sepatu Cibaduyut, Bandung ini. Walaupun begitu, Anda tidak perlu risau mengenai mutu sepatu yang diproduksi di Cibaduyut. Karena meski tak sepopuler Gucci dan Prada, sepatu dan sandal asli Cibaduyut dapat bersaing dari segi kualitas. Oleh karena itu, lokalitas pun tidak hanya punya nilai guna tetapi juga nilai jual dalam hubungan pertukaran dominan yang diperantarai oleh “uang.”
Berdasarkan data dinas Koperasi UKM dan Perindustrian Perdagangan kota Bandung pada 2010, jumlah pengrajin sepatu di Cibaduyut mencapai angka 3.008 pengrajin. Di antara jumlah pengrajin tersebut terselip satu nama, yakni Siti Sarinah (38) yang sepanjang hidupnya telah merasai riuh rendahnya geliat bisnis sepatu di Cibaduyut. Dari seorang ayah bernama Uwat Supriana, ia mengenal produksi nilai guna dan nilai tukar sepatu bagi kelangsungan hidup. Sambil mengenang ayahnya yang telah wafat, ia menceritakan kalau waktu kecil ia kerap ditugasi ayahnya untuk membuat lem dari bahan baku tepung aci yang dimasak dengan air. “Dulu mah buat lem sepatu itu dari aci yang dimasak dengan air kapur, diaduk-aduk terus hingga bapa bilang lem itu sudah jadi,” kenangnya seraya tertawa.
Siti Sarinah yang akrab dipanggil Ina ini adalah anak kelima dari duabelas bersaudara yang juga menekuni produksi sepatu dan sandal di Cibaduyut. Perempuan kelahiran Cibaduyut yang juga adalah ibu rumah tangga ini menerangkan kalau produksi sepatu dan sandal ini adalah keahlian turun-temurun dari orang tuanya. Sambil menunggu pembeli di toko sepatu Texas yang terletak di jalan Cibaduyut 95, Ana menceritakan sejarah awal yang menjadi tolok ukur bisnis keluarga ini bertahan hingga kini. “Awalnya bapa saya itu orang sini yang bekerja sebagai buruh sepatu pada orang Cina di sini. Karena bermodal pengalaman bekerja dengan orang-orang Cina inilah bapa saya kemudian memutuskan untuk memproduksi sepatu sendiri dan baru pada tahun 1973 toko Texas ini berdiri sebagai pertanda bapa saya sebagai pengrajin sepatu mandiri,” tutur Ina.
Cerita di atas pun dibenarkan oleh Onih (67) yang tak lain adalah isteri dari mendiang Uwat Supriana. Menurutnya, binis sepatu ini berawal dari kulit kambing pemberian. Ibu Onih menceritakan begini: “dulu bapa teh kerja di Tionghoa. Orang Tionghoa teh syukuran mencit embe (potong kambing), lalu diminta kulitnya sama bapa, dijemur ku bapa teh terus dibikin sepatu. Satu ekor kulit kambing teh bisa jadi tiga pasang sepatu boot dan kemudian dijual di kaki lima Bojonglowa. Udah tiga pasang teh laku, terus dibeliin lagi kulit jadi besok-besok bisa jual enam pasang, begitu seterusnya” kenang nenek dengan dialek sundanya yang khas. Tidak hanya itu, Onih pun menceritakan kalau suaminya ini dapat membuat segala jenis sepatu, baik sepatu lelaki dan sepatu perempuan, dari mulai bagian permukaan hingga bagian dasar sepatu.
Oleh karena itu, tak heran jika anak-anak dari pasangan Uwat dan Onih ikut menekuni usaha sepatu, sekaligus dapat memproduksi sepatu secara mandiri. Bahkan kata Ina, salah satu kakaknya dapat memproduksi ribuan sepatu dengan kualitas yang baik dan dapat bersaing di tingkat pasar lokal maupun internasional. Hanya saja, ia tidak menjual produknya ini di Cibaduyut. “Kakak saya itu produksinya banyak, punya pekerja banyak dan pemasukannya juga besar. Tetapi ia tidak jual di sini, ia langsung menjualnya melalui peng-order dari Cina dan merekalah yang kemudian menyebarkan produk yang dibuat oleh kakak saya itu ke pasar,” ujar perempuan yang sempat menjadi guru sekolah menengah ini. Walaupun begitu, ia sempat merasa kesal karena dari banyak peng-order itu tidak mau mengatakan kalau sepatu yang mereka jual itu diproduksi oleh orang-orang Cibaduyut. “Mereka itu rata-rata malu mengatakan kalau ini buatan Cibaduyut, saya sebelnya kaya gitu da. Banyak yang bermerek itu berasal dari sini,” ujar Ina dengan tegas.
Persoalan seperti ini mungkin disebabkan oleh image Cibaduyut sebagai sentra sepatu murah yang sudah tersiar jauh dan mengendap di dalam ingatan masyarakat, sehingga boleh jadi seorang pebisnis besar akan anti untuk mengatakan “made in Cibaduyut” bagi komoditi sepatunya yang sudah disebarkan ke pasaran, apalagi pasar lokal Bandung. Walaupun terkesan abstrak, image murah ini sedikit banyak akan memengaruhi harga jual dipasaran, khususnya untuk produk Cibaduyut yang dipasarkan di luar Cibaduyut. “Masyarakat itu taunya Cibaduyut sebagai toko sepatu murah, jadi ini berimplikasi bagi penjualan. Penjual pun tidak dapat menjual sepatu yang mahal, karena jika begitu siapa yang mau beli. Jual sandal seharga 15.000 saja masih ada yang nawar,” tutur Ina ketika ditemui pada Sabtu (21/5).
Di toko Texas, Cibaduyut milik keluarga Uwat Supriana, misalnya, sepatu untuk perempuan dihargai sekitar Rp. 65 ribu dan untuk lelaki dibandrol sebesar Rp. 90 ribu. “Harga ini harga bengkel ya, jadi belum tentu harganya segitu jika udah masuk toko,” kata Ina menambahkan. Tetapi menurutnya, sepatu seharga itu sudah menggunakan bahan kulit asli sebagai bahan dasarnya dan dia dapat memroduksi sekitar tujuh ratus pasang dalam seminggu yang dikerjakan oleh lima belas orang pekerja kurang lebih. Walaupun begitu, berdasarkan data dinas Koperasi UKM dan Perindustrian Perdagangan kota Bandung, tingkat produktifitas sentra Cibaduyut ini dari tahun ke tahun mengalami penurunan.
Tercatat dari empat kategori, yakni jumlah unit usaha, nilai investasi, kapasitas produksi dan jumlah tenaga kerja mengalami penurunan pada 2010. Pada 2009, tercatat jumlah unit usaha di Cibaduyut mencapai 643 unit, sedangkan pada 2010 turun sekitar 10.3% atau berjumlah 577 unit; nilai investasi yang sempat mencapai Rp. 20.064.448.000 pada 2009, kini turun menjadi Rp. 19.004.956.000 pada 2010; lalu untuk kapasitas produksi yang pada 2009 berjumlah 3.425.424 pasang dalam setahun, pada 2010 turun hingga 10.3% atau berjumlah 3.114.022 pasang; sedangkan untuk jumlah tenaga kerja pun mengalami penurunan yang pada 2009 mencapai 3309 pekerja, pada 2010 turun menjadi 3.008 pekerja. Menurut salah seorang pegawai pada bidang Industri Formal dinas Koperasi UKM dan Industi Perdagangan kota Bandung, Henny Rachmawati (54), penurunan unit dan jumlah pengrajin sepatu di Cibaduyut ini bukan disebabkan oleh persaingan dagang, melainkan karena adanya pembangunan perumahan disekitar Cibaduyut yang praktis akan menggeser wilayah produksi pengrajin. Namun, dirinya optimis kalau pada tahun-tahun mendatang sentra sepatu Cibaduyut ini akan lebih berkembang karena Sentra Sepatu Cibaduyut telah memunyai pasar sendiri, produksinya khas dan juga harganya yang cukup kompetitif.
Dalam mekanisme produksi komoditi, masyarakat tentu sadar dan paham kalau harga sangat dipengaruhi oleh ongkos produksi: biaya bahan baku, alat-alat produksi, upah pekerja dan lain sebagainya. Jadi, sepatu dan sandal murah belum tentu berasal dari bahan baku yang berkualitas. Pernyataan di atas diakui Ina, kalau dirinya sangat sulit untuk menggunakan bahan yang berkualitas baik, karena ongkos produksi akan sangat mahal dan tentu akan dikhawatirkan barang tidak laku dijual. Tetapi, Ina mengaku bahwa bisa saja menggunakan bahan baku yang baik, karena tidak sulit untuk mendapatkannya. “Pengrajin di Cibaduyut ini mampu kok untuk membuat sepatu dan sandal yang bermutu baik, hanya saja pembeli juga mesti maklum dengan harga sepatu yang akan lebih tinggi dari biasanya,” kata Ina menjelaskan.
Selain itu Ina pun mengatakan seperti ini, “orang-orang itu menjual sandal seperti ini lebih murah dengan harga 230/kodi, tetapi saya jual 270/kodi. Kenapa saya laku 270? Karena bahan berbeda, begitu kalau saya. Orang-orang itu mengambil bahan yang agak keras, yang murah seharga lima belas ribu permeter. Sedangkan saya ambil yang tiga puluh lima ribu permeter. Saya lebih baik begitu, karena akan lebih nyaman ketika dipakai. Hanya saja untuk bahan dalamannya, saya tetap ambil yang murah, karena kalau tidak begitu harga ngga ketarik. Jadi balik lagi, kalau tidak dapat dijual, untuk apa kita pajang yang bagus-bagus,” tambahnya sambil menunjukan sandal produksinya.
Praktik bisnis yang dilakukan Ina tentu dapat dikatakan wajar, karena untuk menciptakan harga yang lebih murah, pengrajin seperti Ina akan menekan ongkos produksi di sana-sini dan mereka tak segan menggelontorkan modal besar untuk memperbarui alat produksinya, agar harga dapat ditekan dan selaras dengan daya beli masyarakat terhadap sepatu dan sandal yang dihasilkan oleh pengrajin sekelasnya di Cibaduyut. Bahkan, menurut Ina, trend pasar yang cepat berubah membuat Ina dan juga pengrajin lainnya mesti peka terhadap perubahan ini. “Jadi jika ada model sepatu yang tengah ramai dipasaran,  saya akan bergegas untuk memproduksi atau membeli model yang sama untuk dijual kembali,” ungkap ibu yang memilki dua orang anak ini.
Ina menyebut hal ini dengan istilah “naluri pedagang.” Buat saya, istilah ini menjadi sesuatu yang agaknya hampir mendekati “lahiriah,” namun tentu tidak secara asali begitu.
Segala corak kegiatan bisnis, termasuk bisnis produksi sepatu tidak datang secara lahiriah. Sebab banyak faktor yang memengaruhi sekaligus menunjang kegiatan ini, hingga kegiatan perdagangan dapat dikatakan sebagai sesuatu yang “ada” dalam hubungan pertukaran barang dan uang dewasa ini. Dalam hal ini, salah satu yang dapat menunjang kegiatan produksi alas kaki di Cibaduyut adalah mengenai sejauh mana regulasi pemerintah daerah yang diwakili oleh Dinas Koperasi UKM dan Perindustrian Perdagangan, kota Bandung berjalan. Menurut Sekretaris Dinas, Meivy Adha Krisnan saat ini pemerintah kota Bandung tengah menjalankan suatu kebijakan yang dinamakan Revitalisasi Sentra, yang mana sentra sepatu Cibaduyut menjadi targetnya. “Kami itu tengah menjalankan revitalisasi atau mengusahakan untuk mengaktifkan kembali sentra-sentra yang ada di Bandung, termasuk juga sentra sepatu di Cibaduyut,” kata Meivy ketika ditemui dikantornya jalan Kawaluyaan no. 2 pada Jumat (20/5).
Salah satu peran pemerintah dalam hal ini adalah untuk memfasilitasi, seperti menghubungkan pengrajin yang kesulitan modal dengan para investor yang tertarik untuk menginvestasikan “darah segar” di industri ini. Selain itu, Meivy mengatakan bahwa peningkatan mutu komoditi dari sentra ini dapat melalui bimbingan teknis kepada sumber daya manusia agar dapat kompetitif. Seperti memberikan pelatihan manajemen, pemasaran, desain produk dan juga pengemasan agar sentra ini dapat bersaing dipasaran. Bahkan, pemerintah tak jarang untuk memfasilitasi pengrajin dan pedagang sepatu untuk mengikuti pameran produk, agar produk masyarakat Cibaduyut lebih populer di mata masyarakat. Terakhir tercatat, menurut dinas, produk Cibaduyut ini diikutsertakan pameran pada April 2011 di Jakarta.
Senada dengan fakta di atas, Ina sebagai salah satu pedagang di Cibaduyut mengaku kalau peran pemerintah untuk memfasilitasi pameran produk sudah bagus karena memberikan kesempatan kepada pengrajin dan pedagang untuk berkompetisi dan sama-sama menunjukan kualitas sepatu yang baik, sehingga potensial untuk dapat diterima masyarakat luas. Hanya saja, Ina dan keluarganya lebih memilih bantuan pemerintah berupa mekanisme perdagangan yang dapat melibatkan semua pengrajin di Cibaduyut, karena saat ini tidak semua pengrajin terjaring untuk ikut pameran produk, karena kurangnya modal misalnya.
Sedangkan dulu, menurutnya, pemerintah itu menenderkan peluang bisnis kepada sebanyak-banyaknya pengrajin. Seperti ketika pemerintah memunyai proyek pengadaan sepatu bagi pegawai negeri sipil, pemerintah akan memberikan proyek ini kepada semua pengrajin dan pembagian jumlah produk kepada setiap pengrajin ini akan disesuaikan dengan seberapa banyak pengrajin itu mampu memproduksi sepatu dalam rentang waktu yang sudah ditentukan pemerintah. Bahkan, untuk menyamakan mutu produk dari sepatu tersebut, pemerintah tak segan untuk memberikan bahan baku yang berkualitas sama kepada semua pengrajin. Dengan begitu, selain akan menghindari monopoli yang kerap dilakukan pemilik modal besar, mekanisme ini akan dapat mendongkrak ekonomi pengrajin-pengrajin kecil yang telah bertahun-tahun bertumpu dan menyembunyikan kekuatan produktifnya dibalik tembok toko-toko besar yang telah memadati sentra sepatu Cibaduyut yang telah menyejarah ini.
 Namun tampaknya, apa yang diharapkan Ina juga mungkin pengrajin dan pedagang lainnya di Sentra Sepatu Cibaduyut boleh jadi hanya menjadi harapan semu. Faktanya saat ini pemerintah tidak dapat mengulurkan tangan dengan memberikan bantuan langsung, seperti memberikan permodalan, pengadaan mesin-mesin produksi dan lain sebagainya. Hal ini ditegaskan oleh Kepala Bidang Industri Formal, Dinas Koperasi UKM dan Perindustrian dan Perdagangan, Hani Nurrosjani (41) yang mengatakan bahwa, “dinas itu tidak bisa memberikan bantuan langsung berupa permodalan dan pemberian mesin-mesin produksi kepada tiap pengrajin, tetapi kami dapat memberikan bimbingan teknis berupa pendidikan dan pelatihan misalnya. Seperti pada 18 Mei 2011 lalu dinas melalui bidang UKM mengadakan pendidikan dan pelatihan teknik pembuatan pola dasar sepatu,” kata perempuan berjilbab ini sambil menunjukan surat keterangan mengenai kegiatan tersebut.
 Akhirnya, bagaimanapun, Cibaduyut adalah aset besar bagi pemerintahan kota Bandung dan bahkan provinsi Jawa Barat. Oleh karenanya, geliat usaha sepatu yang proses produksinya khas dan berkembang secara turun-temurun ini dapat dipertahankan dengan segala daya upaya pemerintah, baik itu berupa pikiran maupun permodalan untuk mendukung proses produksi sepatu khas ini hingga meraih kejayaan dalam kualitas produk yang dapat benar-benar diakui dunia, sehingga monumen sepatu yang terletak di perempatan jalan Soekarno-Hatta dan Cibaduyut ini tidak hanya menjadi pertanda lokasi, tetapi menjadi penanda bagi sentra sepatu Cibaduyut yang telah menembus pasar dunia dengan kualitasnya yang khas itu.