Laporan Damar Fery Ardiyan
dari Cibaduyut, Bandung
Bandung – Sebuah sepatu kulit pria berwarna coklat muda menarik perhatian Muhammad Azhari (26) saat berkunjung ke salah satu toko di sentra sepatu Cibaduyut, Bandung. Sepatu pantofel seharga Rp. 100.000 ini memiliki tampilan permukaan yang agak kasar ketimbang sepatu Cibaduyut lainnya, tetapi karena tekstur kulit sepatu seperti inilah yang tidak mengesankan ke-kolot-an menurut pemuda yang akrab dipanggil Abo ini. Namun baginya, sepatu tidak hanya menyoal penampilan, tetapi juga untuk melindungi produk lokal Bandung agar tidak kehilangan konsumennya di tengah persaingan pasar yang semakin menggeliat, sesaat keran perdagangan bebas diputar. “Saya suka sepatu buatan Cibaduyut, selain harganya terjangkau buat saya, untuk kualitas juga ngga kalah ko dengan sepatu lain yang harganya selangit,” katanya.
Tentu saja, sepatu lokal buatan masyarakat Cibaduyut dapat di uji kualitasnya. Selain karena dikenal sejak lama, produk khas masyarakat Cibaduyut ini adalah produk hand made atau produk yang dibuat dengan tangan. Proses produksi seperti ini akan menghasilkan sepatu yang berkualitas, kuat, rapih dan awet karena memungkinkan pengerjaan yang lebih teliti ketimbang proses produksi lainnya yang selalu mewahidkan kuantitas. Oleh karena itu, sepatu Cibaduyut memiliki kekhasan ketimbang produk lain.
Selain itu, sepatu Cibaduyut juga sudah melanglang hingga ke luar kota. Bahkan, beberapa pengusaha sepatu di Sentra Sepatu Cibaduyut sempat menerima pesanan dari luar negeri walaupun melalui perantara. Hal ini diakui Maswati (42) yang mengatakan bahwa ada beberapa pengrajin sepatu di Cibaduyut yang menerima order untuk ekspor. “Kalau di sini, penjualan ke luar negeri itu biasanya melalui perantara, biasanya itu dari Bali. Nah, orang Bali inilah yang kemudian memasarkan produk Cibaduyut ke luar negeri,” kata perempuan berjilbab ini.
Hanya saja, jika sudah dipasarkan ke luar kota, komoditi masyarakat Cibaduyut ini akan sulit untuk diidentifikasi sebagai sepatu Cibaduyut, karena tidak sedikit pengrajin yang membuat blank shoes atau sepatu tanpa identitas: nama pembuat (nama toko) dan daerah asal produksi, ketika menyepakati nota pemesanan. Jadi, jangan heran jika sepatu-sepatu yang menghiasi etalase toko modern, diantaranya berasal dari Sentra Sepatu Cibaduyut, Bandung ini. Walaupun begitu, Anda tidak perlu risau mengenai mutu sepatu yang diproduksi di Cibaduyut. Karena meski tak sepopuler Gucci dan Prada, sepatu dan sandal asli Cibaduyut dapat bersaing dari segi kualitas. Oleh karena itu, lokalitas pun tidak hanya punya nilai guna tetapi juga nilai jual dalam hubungan pertukaran dominan yang diperantarai oleh “uang.”
Berdasarkan data dinas Koperasi UKM dan Perindustrian Perdagangan kota Bandung pada 2010, jumlah pengrajin sepatu di Cibaduyut mencapai angka 3.008 pengrajin. Di antara jumlah pengrajin tersebut terselip satu nama, yakni Siti Sarinah (38) yang sepanjang hidupnya telah merasai riuh rendahnya geliat bisnis sepatu di Cibaduyut. Dari seorang ayah bernama Uwat Supriana, ia mengenal produksi nilai guna dan nilai tukar sepatu bagi kelangsungan hidup. Sambil mengenang ayahnya yang telah wafat, ia menceritakan kalau waktu kecil ia kerap ditugasi ayahnya untuk membuat lem dari bahan baku tepung aci yang dimasak dengan air. “Dulu mah buat lem sepatu itu dari aci yang dimasak dengan air kapur, diaduk-aduk terus hingga bapa bilang lem itu sudah jadi,” kenangnya seraya tertawa.
Siti Sarinah yang akrab dipanggil Ina ini adalah anak kelima dari duabelas bersaudara yang juga menekuni produksi sepatu dan sandal di Cibaduyut. Perempuan kelahiran Cibaduyut yang juga adalah ibu rumah tangga ini menerangkan kalau produksi sepatu dan sandal ini adalah keahlian turun-temurun dari orang tuanya. Sambil menunggu pembeli di toko sepatu Texas yang terletak di jalan Cibaduyut 95, Ana menceritakan sejarah awal yang menjadi tolok ukur bisnis keluarga ini bertahan hingga kini. “Awalnya bapa saya itu orang sini yang bekerja sebagai buruh sepatu pada orang Cina di sini. Karena bermodal pengalaman bekerja dengan orang-orang Cina inilah bapa saya kemudian memutuskan untuk memproduksi sepatu sendiri dan baru pada tahun 1973 toko Texas ini berdiri sebagai pertanda bapa saya sebagai pengrajin sepatu mandiri,” tutur Ina.
Cerita di atas pun dibenarkan oleh Onih (67) yang tak lain adalah isteri dari mendiang Uwat Supriana. Menurutnya, binis sepatu ini berawal dari kulit kambing pemberian. Ibu Onih menceritakan begini: “dulu bapa teh kerja di Tionghoa. Orang Tionghoa teh syukuran mencit embe (potong kambing), lalu diminta kulitnya sama bapa, dijemur ku bapa teh terus dibikin sepatu. Satu ekor kulit kambing teh bisa jadi tiga pasang sepatu boot dan kemudian dijual di kaki lima Bojonglowa. Udah tiga pasang teh laku, terus dibeliin lagi kulit jadi besok-besok bisa jual enam pasang, begitu seterusnya” kenang nenek dengan dialek sundanya yang khas. Tidak hanya itu, Onih pun menceritakan kalau suaminya ini dapat membuat segala jenis sepatu, baik sepatu lelaki dan sepatu perempuan, dari mulai bagian permukaan hingga bagian dasar sepatu.
Oleh karena itu, tak heran jika anak-anak dari pasangan Uwat dan Onih ikut menekuni usaha sepatu, sekaligus dapat memproduksi sepatu secara mandiri. Bahkan kata Ina, salah satu kakaknya dapat memproduksi ribuan sepatu dengan kualitas yang baik dan dapat bersaing di tingkat pasar lokal maupun internasional. Hanya saja, ia tidak menjual produknya ini di Cibaduyut. “Kakak saya itu produksinya banyak, punya pekerja banyak dan pemasukannya juga besar. Tetapi ia tidak jual di sini, ia langsung menjualnya melalui peng-order dari Cina dan merekalah yang kemudian menyebarkan produk yang dibuat oleh kakak saya itu ke pasar,” ujar perempuan yang sempat menjadi guru sekolah menengah ini. Walaupun begitu, ia sempat merasa kesal karena dari banyak peng-order itu tidak mau mengatakan kalau sepatu yang mereka jual itu diproduksi oleh orang-orang Cibaduyut. “Mereka itu rata-rata malu mengatakan kalau ini buatan Cibaduyut, saya sebelnya kaya gitu da. Banyak yang bermerek itu berasal dari sini,” ujar Ina dengan tegas.
Persoalan seperti ini mungkin disebabkan oleh image Cibaduyut sebagai sentra sepatu murah yang sudah tersiar jauh dan mengendap di dalam ingatan masyarakat, sehingga boleh jadi seorang pebisnis besar akan anti untuk mengatakan “made in Cibaduyut” bagi komoditi sepatunya yang sudah disebarkan ke pasaran, apalagi pasar lokal Bandung. Walaupun terkesan abstrak, image murah ini sedikit banyak akan memengaruhi harga jual dipasaran, khususnya untuk produk Cibaduyut yang dipasarkan di luar Cibaduyut. “Masyarakat itu taunya Cibaduyut sebagai toko sepatu murah, jadi ini berimplikasi bagi penjualan. Penjual pun tidak dapat menjual sepatu yang mahal, karena jika begitu siapa yang mau beli. Jual sandal seharga 15.000 saja masih ada yang nawar,” tutur Ina ketika ditemui pada Sabtu (21/5).
Di toko Texas, Cibaduyut milik keluarga Uwat Supriana, misalnya, sepatu untuk perempuan dihargai sekitar Rp. 65 ribu dan untuk lelaki dibandrol sebesar Rp. 90 ribu. “Harga ini harga bengkel ya, jadi belum tentu harganya segitu jika udah masuk toko,” kata Ina menambahkan. Tetapi menurutnya, sepatu seharga itu sudah menggunakan bahan kulit asli sebagai bahan dasarnya dan dia dapat memroduksi sekitar tujuh ratus pasang dalam seminggu yang dikerjakan oleh lima belas orang pekerja kurang lebih. Walaupun begitu, berdasarkan data dinas Koperasi UKM dan Perindustrian Perdagangan kota Bandung, tingkat produktifitas sentra Cibaduyut ini dari tahun ke tahun mengalami penurunan.
Tercatat dari empat kategori, yakni jumlah unit usaha, nilai investasi, kapasitas produksi dan jumlah tenaga kerja mengalami penurunan pada 2010. Pada 2009, tercatat jumlah unit usaha di Cibaduyut mencapai 643 unit, sedangkan pada 2010 turun sekitar 10.3% atau berjumlah 577 unit; nilai investasi yang sempat mencapai Rp. 20.064.448.000 pada 2009, kini turun menjadi Rp. 19.004.956.000 pada 2010; lalu untuk kapasitas produksi yang pada 2009 berjumlah 3.425.424 pasang dalam setahun, pada 2010 turun hingga 10.3% atau berjumlah 3.114.022 pasang; sedangkan untuk jumlah tenaga kerja pun mengalami penurunan yang pada 2009 mencapai 3309 pekerja, pada 2010 turun menjadi 3.008 pekerja. Menurut salah seorang pegawai pada bidang Industri Formal dinas Koperasi UKM dan Industi Perdagangan kota Bandung, Henny Rachmawati (54), penurunan unit dan jumlah pengrajin sepatu di Cibaduyut ini bukan disebabkan oleh persaingan dagang, melainkan karena adanya pembangunan perumahan disekitar Cibaduyut yang praktis akan menggeser wilayah produksi pengrajin. Namun, dirinya optimis kalau pada tahun-tahun mendatang sentra sepatu Cibaduyut ini akan lebih berkembang karena Sentra Sepatu Cibaduyut telah memunyai pasar sendiri, produksinya khas dan juga harganya yang cukup kompetitif.
Dalam mekanisme produksi komoditi, masyarakat tentu sadar dan paham kalau harga sangat dipengaruhi oleh ongkos produksi: biaya bahan baku, alat-alat produksi, upah pekerja dan lain sebagainya. Jadi, sepatu dan sandal murah belum tentu berasal dari bahan baku yang berkualitas. Pernyataan di atas diakui Ina, kalau dirinya sangat sulit untuk menggunakan bahan yang berkualitas baik, karena ongkos produksi akan sangat mahal dan tentu akan dikhawatirkan barang tidak laku dijual. Tetapi, Ina mengaku bahwa bisa saja menggunakan bahan baku yang baik, karena tidak sulit untuk mendapatkannya. “Pengrajin di Cibaduyut ini mampu kok untuk membuat sepatu dan sandal yang bermutu baik, hanya saja pembeli juga mesti maklum dengan harga sepatu yang akan lebih tinggi dari biasanya,” kata Ina menjelaskan.
Selain itu Ina pun mengatakan seperti ini, “orang-orang itu menjual sandal seperti ini lebih murah dengan harga 230/kodi, tetapi saya jual 270/kodi. Kenapa saya laku 270? Karena bahan berbeda, begitu kalau saya. Orang-orang itu mengambil bahan yang agak keras, yang murah seharga lima belas ribu permeter. Sedangkan saya ambil yang tiga puluh lima ribu permeter. Saya lebih baik begitu, karena akan lebih nyaman ketika dipakai. Hanya saja untuk bahan dalamannya, saya tetap ambil yang murah, karena kalau tidak begitu harga ngga ketarik. Jadi balik lagi, kalau tidak dapat dijual, untuk apa kita pajang yang bagus-bagus,” tambahnya sambil menunjukan sandal produksinya.
Praktik bisnis yang dilakukan Ina tentu dapat dikatakan wajar, karena untuk menciptakan harga yang lebih murah, pengrajin seperti Ina akan menekan ongkos produksi di sana-sini dan mereka tak segan menggelontorkan modal besar untuk memperbarui alat produksinya, agar harga dapat ditekan dan selaras dengan daya beli masyarakat terhadap sepatu dan sandal yang dihasilkan oleh pengrajin sekelasnya di Cibaduyut. Bahkan, menurut Ina, trend pasar yang cepat berubah membuat Ina dan juga pengrajin lainnya mesti peka terhadap perubahan ini. “Jadi jika ada model sepatu yang tengah ramai dipasaran, saya akan bergegas untuk memproduksi atau membeli model yang sama untuk dijual kembali,” ungkap ibu yang memilki dua orang anak ini.
Ina menyebut hal ini dengan istilah “naluri pedagang.” Buat saya, istilah ini menjadi sesuatu yang agaknya hampir mendekati “lahiriah,” namun tentu tidak secara asali begitu.
Segala corak kegiatan bisnis, termasuk bisnis produksi sepatu tidak datang secara lahiriah. Sebab banyak faktor yang memengaruhi sekaligus menunjang kegiatan ini, hingga kegiatan perdagangan dapat dikatakan sebagai sesuatu yang “ada” dalam hubungan pertukaran barang dan uang dewasa ini. Dalam hal ini, salah satu yang dapat menunjang kegiatan produksi alas kaki di Cibaduyut adalah mengenai sejauh mana regulasi pemerintah daerah yang diwakili oleh Dinas Koperasi UKM dan Perindustrian Perdagangan, kota Bandung berjalan. Menurut Sekretaris Dinas, Meivy Adha Krisnan saat ini pemerintah kota Bandung tengah menjalankan suatu kebijakan yang dinamakan Revitalisasi Sentra, yang mana sentra sepatu Cibaduyut menjadi targetnya. “Kami itu tengah menjalankan revitalisasi atau mengusahakan untuk mengaktifkan kembali sentra-sentra yang ada di Bandung, termasuk juga sentra sepatu di Cibaduyut,” kata Meivy ketika ditemui dikantornya jalan Kawaluyaan no. 2 pada Jumat (20/5).
Salah satu peran pemerintah dalam hal ini adalah untuk memfasilitasi, seperti menghubungkan pengrajin yang kesulitan modal dengan para investor yang tertarik untuk menginvestasikan “darah segar” di industri ini. Selain itu, Meivy mengatakan bahwa peningkatan mutu komoditi dari sentra ini dapat melalui bimbingan teknis kepada sumber daya manusia agar dapat kompetitif. Seperti memberikan pelatihan manajemen, pemasaran, desain produk dan juga pengemasan agar sentra ini dapat bersaing dipasaran. Bahkan, pemerintah tak jarang untuk memfasilitasi pengrajin dan pedagang sepatu untuk mengikuti pameran produk, agar produk masyarakat Cibaduyut lebih populer di mata masyarakat. Terakhir tercatat, menurut dinas, produk Cibaduyut ini diikutsertakan pameran pada April 2011 di Jakarta.
Senada dengan fakta di atas, Ina sebagai salah satu pedagang di Cibaduyut mengaku kalau peran pemerintah untuk memfasilitasi pameran produk sudah bagus karena memberikan kesempatan kepada pengrajin dan pedagang untuk berkompetisi dan sama-sama menunjukan kualitas sepatu yang baik, sehingga potensial untuk dapat diterima masyarakat luas. Hanya saja, Ina dan keluarganya lebih memilih bantuan pemerintah berupa mekanisme perdagangan yang dapat melibatkan semua pengrajin di Cibaduyut, karena saat ini tidak semua pengrajin terjaring untuk ikut pameran produk, karena kurangnya modal misalnya.
Sedangkan dulu, menurutnya, pemerintah itu menenderkan peluang bisnis kepada sebanyak-banyaknya pengrajin. Seperti ketika pemerintah memunyai proyek pengadaan sepatu bagi pegawai negeri sipil, pemerintah akan memberikan proyek ini kepada semua pengrajin dan pembagian jumlah produk kepada setiap pengrajin ini akan disesuaikan dengan seberapa banyak pengrajin itu mampu memproduksi sepatu dalam rentang waktu yang sudah ditentukan pemerintah. Bahkan, untuk menyamakan mutu produk dari sepatu tersebut, pemerintah tak segan untuk memberikan bahan baku yang berkualitas sama kepada semua pengrajin. Dengan begitu, selain akan menghindari monopoli yang kerap dilakukan pemilik modal besar, mekanisme ini akan dapat mendongkrak ekonomi pengrajin-pengrajin kecil yang telah bertahun-tahun bertumpu dan menyembunyikan kekuatan produktifnya dibalik tembok toko-toko besar yang telah memadati sentra sepatu Cibaduyut yang telah menyejarah ini.
Namun tampaknya, apa yang diharapkan Ina juga mungkin pengrajin dan pedagang lainnya di Sentra Sepatu Cibaduyut boleh jadi hanya menjadi harapan semu. Faktanya saat ini pemerintah tidak dapat mengulurkan tangan dengan memberikan bantuan langsung, seperti memberikan permodalan, pengadaan mesin-mesin produksi dan lain sebagainya. Hal ini ditegaskan oleh Kepala Bidang Industri Formal, Dinas Koperasi UKM dan Perindustrian dan Perdagangan, Hani Nurrosjani (41) yang mengatakan bahwa, “dinas itu tidak bisa memberikan bantuan langsung berupa permodalan dan pemberian mesin-mesin produksi kepada tiap pengrajin, tetapi kami dapat memberikan bimbingan teknis berupa pendidikan dan pelatihan misalnya. Seperti pada 18 Mei 2011 lalu dinas melalui bidang UKM mengadakan pendidikan dan pelatihan teknik pembuatan pola dasar sepatu,” kata perempuan berjilbab ini sambil menunjukan surat keterangan mengenai kegiatan tersebut.
Akhirnya, bagaimanapun, Cibaduyut adalah aset besar bagi pemerintahan kota Bandung dan bahkan provinsi Jawa Barat. Oleh karenanya, geliat usaha sepatu yang proses produksinya khas dan berkembang secara turun-temurun ini dapat dipertahankan dengan segala daya upaya pemerintah, baik itu berupa pikiran maupun permodalan untuk mendukung proses produksi sepatu khas ini hingga meraih kejayaan dalam kualitas produk yang dapat benar-benar diakui dunia, sehingga monumen sepatu yang terletak di perempatan jalan Soekarno-Hatta dan Cibaduyut ini tidak hanya menjadi pertanda lokasi, tetapi menjadi penanda bagi sentra sepatu Cibaduyut yang telah menembus pasar dunia dengan kualitasnya yang khas itu.